Pejabat Yang Rendah Hati

Selama dua hari ini ceritanya saya diinstruksikan pimpinan untuk "ngintili" Ibu Meutia Hatta yang sedang berada di DC untuk konferensi internasional mengenai perempuan, atas undangan State Department. Saking terkesannya, saya menuruti keinginan hati untuk membuat isian blog tentang beliau.

Jauh dari anggapan umum mengenai seorang pejabat Indonesia, Ibu Meutia halus tutur katanya dan sangat rendah hati. Beliau tidak menolak kegiatan protokoler, walau kelihatannya merasa agak risih. Padahal bukan baru-baru ini saja beliau menjadi birokrat, sebelumnya beliau sudah menjadi pejabat di Departemen Budpar maupun Departemen Diknas. Terus terang ya, ada dua golongan pejabat (termasuk anggota DPR!) yang kerap membuat pusing staf kantor-kantor perwakilan negara: golongan yang menuntut fasilitas macam-macam, dan golongan yang seenaknya melanggar aturan protokoler. Yang terakhir ini mungkin punya pemikiran heroisme sempit: merasa menunjukkan kepopulisan dengan perilaku demikian. Padahal ujung-ujungnya hanya menyusahkan orang-orang yang harus melayani mereka.

Terus terang lagi, kerap kali yang membuat masalah jadi rumit bukan menteri atau pejabat negara lain, tapi para wakil rakyat tercinta. Mungkin karena merasa lebih tinggi daripada rakyat jelata yang direpresentasikannya. Yang betul-betul pejabat (eh, memangnya anggota DPR bukan pejabat ya?) sering lebih sopan dan bertata-krama. Contohnya, beberapa waktu lalu ketika sama-sama menghadiri sebuah acara, Pak Herwidayatmo -- mantan Ketua Bapepam yang sekarang menjadi salah satu Direktur Eksekutif World Bank-- dengan santun mengambil dan menggantungkan mantel-mantel kami di lemari penyimpanan mantel. Padahal sudah ada petugas khusus untuk itu, yang memang tampaknya sedang repot. Sementara saya ingat pernah beberapa kali mengikuti acara internasional bersama-sama sekelompok anggota DPR, yang kelihatannya berpandangan bahwa para anggota delegasi lain -- terutama dari departemen saya -- adalah pelayan yang bisa disuruh-suruh seenaknya. Saya sempat bertanya-tanya apakah departemen saya memang sedemikian egaliternya, sehingga rasanya kok menteri saya sekalipun tidak sedemikian "diraja"-nya terhadap para anak buahnya.

Wah, jadi curhat. Kembali ke Ibu Meutia deh. Saya kagum bahwa beliau masih sempat membuat sendiri pidato-pidato dan pernyataan-pernyataan yang harus disampaikan beliau di berbagai fora. Beliau juga tidak menuntut berbagai fasilitas; sebaliknya beliau berulang-ulang menyampaikan terima kasih atas "kebaikan" kantor ini membantu beliau dalam persiapan mengikuti konferensi itu. Saya senang mendengarkan cara beliau memaparkan program kantornya dengan tenang tapi ada siratan semangat. Mungkin karena beliau juga seorang pengajar, sehingga kemampuan mengkomunikasikan sesuatu sudah cukup terasah. (Di samping memang saya tertarik dengan isu-isu yang digelar kantor beliau, khususnya soal gender mainstreaming).

Seharusnya lebih banyak lagi pejabat seperti beliau. Di kantor saya sih sudah banyak. Entah di departemen lain. Memang, orang pintar minum *beep!*

2 comments:

Pojok Hablay said...

teringat ngurusin para pejabat disini ini, mo yang pusat mo yang ampe ke pelosok, duh, bo! sama aja deh kelakuannya. betul betul musti diservice abis! sampe sampe urusan kecil tetek bengek kecil yang gak perlu dan sangat personal pun minta diurusin. ggrrrrhhh. pasang senyum sampe begok, dan kadang kerjaan utama gak mereka peduliin demi kenyamanan diri

caranita said...

emang. makanya gw terkesan banget dengan ibu ini.