Katakan dengan Friendster

Saya memang suka iseng, ingin tahu urusan orang. Apalagi yang dibeberkan di publik, lewat jalur cyber, misalnya. Buat saya, kalau sudah digelar di ruang maya terbuka, tentunya yang bersangkutan tidak merasa keberatan urusan pribadinya diintip.

Bermula dari foto orang berciuman. Ya, sepasang dewasa muda Indonesia, berciuman. Sudah banyak foto semacam itu dipasang di Friendster? Memang. Yang lebih juga banyak kok. Tapi tetap saja menarik perhatian toh?

Karena pihak-pihak yang menjadi obyek foto ("subyek" mungkin lebih tepat yah) juga tidak membatasi akses ke profil Friendster-nya, jadilah saya menikmati 50 (betul, lima puluh) gambar yang mereka terakan di masing-masing account mereka. Selain foto-foto, komentar yang ditulis dengan cukup berani (berani ukuran saya dong!) untuk masing-masing foto membuat saya malah mengikuti perkembangan hubungan mereka selanjutnya. Persisnya: tiap kali membuka halaman Friendster saya sendiri, saya pasti masuk ke halaman mereka juga. Mencari-cari kalau ada foto dan komentar baru, atau testimonial baru. Walau mata saya hampir kelilipan membaca rangkaian kalimat singkat dengan campuran huruf besar dan kecil khas ABG. Kurang mau tahu bagaimana lagi, coba! Apalagi cara kedua anak muda itu membuat profil dan mengatur foto-foto mereka sangat merangsang imajinasi saya, hehehe...

Setelah beberapa lama rupanya hubungan mereka memburuk, tampak dari pesan-pesan yang ditulis melalui testimonial. Mula-mula dengan nada marah, kemudian dengan manis. (Tapi mengherankan juga ya, yang bernada marah itu kok dimuat?). Diikuti dengan perubahan status: dari "married" ke "it's complicated" atau "single".

(Hm, sampai sekarang saya masih belum memahami filosofi penggunaan status "married" kalau sebenarnya belum. Kan ada pilihan "in a relationship"? Belum lagi menggunakan panggilan "papa"-"mama"... aduuuhhhhhh!)

Lucunya, setelah perubahan status itu masing-masing masih mengirimkan testimonial, yang menurut saya bisa diberikan langsung kepada yang bersangkutan lewat SMS. Kenapa harus diberitahukan ke publik juga sih?

Jadi ternyata, walaupun senang mengikuti kisah mereka, kedua anak muda sudah berhasil membuat saya puyeng.

Kalau dilihat dari substansi maupun tatanan terbaru profil Friendster mereka, mereka sudah benar-benar putus. Dengan pahit, tampaknya. Seperti tercermin dari shoutout mereka.

Friendster memang sering menjadi media penyampaian pesan, baik bagi jejaring teman maupun bagi seorang khusus. Baca saja isian shoutout, atau "Who I Want To Meet", yang kadang-kadang -- kalau dilihat kalimatnya -- lebih tepat disebut "Who I Don't Want to Meet".

Saya ingat, waktu masih ber-PJJ (mengikuti istilahnya Okke), saya kerap menegur sang (mantan) pacar jauh itu kalau dia terkesan terlalu menyentil seseorang lewat halaman Friendsternya. Saya pikir tidak ada gunanya, malah bisa-bisa itu dianggap tahap awal pembunuhan karakter, hehehhee.. *iya, iya, ini memang berlebihan!* Malah buat saya yang seperti itu kok agak terlalu - eh - kekanak-kanakan untuk umur kami, hehehe... Untung biasanya yang ditegur mau dan langsung mengkoreksi tulisannya.

Sebenarnya tulisan ini tidak sekedar untuk menyampaikan bahwa dari Friendster kita selalu bisa menemukan hal-hal menarik tentang orang lain. Tapi juga memperlihatkan bagaimana suka ingin tahunya saya, usilnya saya, dan bagaimana tingginya daya khayal saya, hehehhee... Pengalaman lalu sudah membuktikan hal itu kok! :)

A planet or not a planet, that is the question

It may sound ridiculous, but I'm actually sad that Pluto has just lost its 'planet' status. Currently, and temporarily, international astronomers will call it a 'dwarf planet' until an agreement is reached on how it should be categorized. They have further developed a sub-category, 'trans-Neptunian object', for those space things orbiting around Planet Neptune, which will include Pluto and another round object now known as 'Xena'.

But even the astronomers disagree on whether "downgrading" Pluto's status is an appropriate policy. Some argue that researches in astronomy are expensive hence they will need public support -- and kicking out Pluto from this "Group of 9" may not be a popular step. After all, we are all so accustomed to having Pluto as our equal neighbor. But, on the other hand, retaining Pluto's status can lead to confusion among scientists, and some other newly found objects which have larger size than Pluto, 'Xena' and 'Ceres', shall be included in the Group of Planets.

In short, the options would be whether we will lose a member, or have additional new members.

Despite my grief for 'losing' Pluto, I think it is a bit disturbing that science, natural science, can be politicized like this (oooh.. money, money, money!). People will eventually get used to eight planets instead of nine, and we will always be fond of Pluto regardless its new status.

I just wonder: what if some creatures in other galaxy -- say the Andromeda -- decide that Pluto or Xena actually belongs to that galaxy, not to our beloved Milky Way?

Well, should such above scenario occur, perhaps the conflicting countries will finally unite to keep Pluto within our galaxy's "boundaries" from those aliens who are trying to invade our spatial territory! Remember that old political adage: "internal cohesion through external conflict"?

Peace, in the end, will prevail on Planet Earth.

And comes the era of Inter-Galactical War.

But at least there is a chance for a peace on Earth. Er... no?

PS:
My source for this particular post, which will provide more details about the story of Pluto, could be found
here.

Catatan (Terlambat) untuk Ulang Tahun: Kerja Sama

Untunglah negara kita dan kantor saya ulang tahunnya berdekatan, sehingga kalau tahu-tahu saya kesambet ingin membuat catatan singkat (walaupun terlambat) yang terkait, bisa dilakukan sekaligus!... Tentunya kalau saya mau!

Saya baru saja mencetuskan ke Jeng ini bahwa mereka yang tidak merdeka di Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia adalah para panitia Peringatan Hari Kemerdekaan. Ya termasuk saya hehehe... Saya tidak perlu berpanjang lebar soal itu, nanti isinya keluh kesah semua. Dan sudah cukup keluh kesah yang tidak penting di negeri ini. Apalagi kalau cuma menambah beban mental dan kepala puyeng, yang hanya akan menaikkan peringkat sinetron dengan skenario ngawur dan tidak masuk akal!

Yang mau saya bilang tadinya adalah: saya tidak sempat membuat catatan yang sifatnya refleksi atau apalah yang hebat-hebat sehubungan dengan peringatan deklarasi kemerdekaan kita, karena waktu tersita cukup banyak oleh berbagai acara di sini. (Rasanya kok ada tuntutan "moral" karena status selaku keparat pemerintah itu ya, hehehe...). Tapi untungnya masih sempat -- tepatnya: disempat-sempatkan -- untuk berkeliling ke blog-blog lain.

Dan sejuknya hati saya membaca tulisan-tulisan seperti ini dan ini. Lebih senang lagi membaca komentar-komentar terhadap kedua blogpost, yang rata-rata mengamini bahwa perbaikan negeri kita harus segera dimulai dari diri sendiri, dan STOP MENCACI (melulu).

Jangan salah, saya bukannya menolak kritikan. Yah, walaupun sejujurnya, siapa sih yang benar-benar senang dikritik? Tapi sentilan memang harus ada untuk memastikan bahwa langkah-langkah yang saya -- dan teman-teman sesama "keparat" -- lakukan masih berada di jalur yang semestinya. Hehehe... kalimat ini pasti terasa ironis di tengah-tengah tudingan (dan kondisi) bahwa yang namanya birokrasi dan keparat pemerintah itu ya.. benar-benar "KEPARAT!" (ps: sengaja menggunakan huruf kapital dan tanda seru, untuk menambah efek dramatis).

Namun di pihak lain, boleh dong saya berlega hati bahwa kemajuan negara ini dipandang sebagai tanggung jawab BERSAMA, tidak sekedar sekelompok orang yang punya NIP dan terdaftar di BKN. Bahwa ikut turun tangan langsung, sumbang pikiran dan TENAGA, adalah kontribusi penting dalam upaya perbaikan yang hasilnya toh akan dinikmati bersama juga. Memang, kalau mau menggunakan pendekatan pars pro toto yang paling digemari di Indonesia, bisa saja dengan seenaknya saya bilang: "Ah, dasar orang Indonesia memang bangsa pemikir. Lebih suka menyumbangkan pikiran daripada tenaga (alias aktivitas aktual)." Padahal saya tahu banyak yang benar-benar terlibat dalam kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan harkat hidup mereka yang kurang mampu. Dan dengan bilang begitu, saya sama saja dengan pihak-pihak yang selalu bicara soal kebrengsekan pemerintah secara umum dan menutup mata terhadap "oknum-oknum" (duh, sudah lama sekali tidak memakai istilah ini ya) di dalamnya yang benar-benar memiliki dan menerapkan idealismenya.

Lalu apa kaitannya dengan HUT instansi saya?

Kaitannya terletak pada penilaian mengenai kinerja instansi saya seperti yang bisa dibaca pada artikel ini. Sekali lagi, jangan salah, pendapat apapun dalam hal itu tentunya perlu benar-benar diperhatikan untuk berbenah diri. Tapi ada saja yang terkesan memberikan komentar seenaknya. Buat saya lucu juga bahwa tokoh dalam artikel tadi membuat penilaian kinerja Deplu berdasarkan, antara lain, bagaimana Deplu "melawan propaganda pencitraan Negara Barat yang melihat berbagai ormas Islam yang diberi label sebagai teroris".

Dengan segala hormat, saya kira sewajarnya setiap lembaga milik pemerintah yang berdiri di atas semua golongan bekerja tidak semata-mata untuk kepentingan satu kelompok tertentu, baik mayoritas maupun minoritas. Yang diperjuangkan lembaga pemerintah, apalagi di forum internasional, adalah kepentingan negara (baca: negara = pemerintah + rakyat, BUKAN hanya pemerintah). Sehingga barangkali lebih tepat kalau uraian bapak pakar tadi ditambahkan kalimat, "... karena asosiasi 'terorisme' dengan 'Islam' hanya akan merugikan kepentingan negara kita yang mayoritas penduduknya beragama Islam dalam konteks hubungan dengan negara lain."

Nah, sekiranya kita menggunakan proposisi bapak pakar kita itu tentang pencitraan yang diinginkan untuk Islam (seperti: "Islam dan demokrasi dapat berjalan seiring"), maka segala usaha yang dilakukan Deplu untuk membentuk citra tersebut selayaknyalah didukung oleh contoh-contoh konkrit dan faktual dari negeri sendiri. Misalnya, pluralisme, keterbukaan terhadap pandangan yang berbeda tanpa harus tergoyahkan dari imannya. Apa yang pernah dituliskan El Rony buat saya adalah contoh yang spektakuler.

Kaitan lain dengan instansi saya adalah soal "diplomasi publik" dan "track II diplomacy". Sederhananya: bagaimana unsur-unsur non korps diplomatik terlibat dalam kegiatan promosi negara. Dan dalam posting ini, unsur non korps diplomatik tentunya masyarakat Indonesia yang tinggal di luar negeri, khususnya di negara tempat saya tinggal.

Hampir dua tahun saya berada di negara ini, dengan komunitas Indonesia di wilayah akreditasi kantor saya yang cukup vokal. Sebagian di antara mereka bahkan membentuk "KBRI Watch" yang gaungnya sampai ke Jakarta dan punya pengaruh pada proses pengambilan keputusan di pusat!

Lepas dari berbagai kritik maupun masukan yang mereka berikan, ada satu hal yang menarik buat saya: banyak yang masih "tergantung" pada KBRI. Ingin mengadakan suatu kegiatan tapi tidak punya dana? Minta saja ke KBRI. Mau pinjam alat atau ruangan? Hubungi KBRI. Sedang ada program dan butuh bantuan tenaga? Pimpinan KBRI akan menugaskan staf-stafnya untuk membantu. Dan dalam sebuah sarasehan yang diselenggarakan beberapa waktu lalu, salah satu butir kesimpulan argumen para pembicara (yang notabene dari masyarakat juga) adalah: KBRI masih perlu "mengayomi" dan memberdayakan masyarakat Indonesia.

Mau tidak mau saya membandingkan dengan komunitas Indonesia yang berada di Atlanta atau Los Angeles, yang sudah boleh dikatakan mandiri. Acara-acara yang dilakukan untuk mempromosikan kebudayaan, misalnya, didanai secara mandiri oleh para anggota kelompoknya, entah melalui pengumpulan sumbangan atau sumber-sumber lain. Bahkan di Atlanta komunitas Indonesia cukup dekat dengan pemda setempat, sehingga dapat membentuk interest group, walaupun mungkin belum sampai menjadi pressure group -- tapi ini saya rasa soal waktu. Di Los Angeles, walaupun ada Konsulat Jenderal RI, masyarakatlah yang aktif menyelenggarakan berbagai kegiatan, termasuk dalam rangka Perayaan Hari Kemerdekaan. Walaupun KJRI menyumbangkan sejumlah dana (yang tidak terlalu besar) dan tenaga, tapi kebutuhan finansial lain dicukupkan dengan mencari sponsor.

Komunitas India melakukan upaya bersama untuk mendanai kegiatan lobby ke para anggota Kongres dan administrasi. Hasilnya? Kesepakatan strategic partnership antara AS dan India. Tidak seperti Indonesia yang memang sedang menjadi sasaran diplomasi publik administrasi Bush, nilai penting India tidak terletak pada peta perang global melawan "terorisme", sehingga masuknya India dalam salah satu skala prioritas kebijakan luar negeri administrasi Bush bagi saya justru prestasi tersendiri.

Di pusat pemerintahan negara adidaya ini, kita perlu masyarakat Indonesia yang cukup kuat. Kita perlu orang-orang, "oknum" yang bisa memobilisasi semua sumber daya yang tersedia untuk mendukung pemajuan kepentingan kita, di samping memberikan masukan dan.. yah, kritikan demi menjaga kinerja para keparatnya. Kapan ya?

Bukan Pekerjaan Semusim

Sudah beberapa lama ini saya agak rajin mengisi bulletin board Friendster, terutama kalau ada yang menurut saya menarik -- sesuai dengan suasana hati saya. Yang jelas saya tidak suka rangkaian pertanyaan konyol (menurut saya tentunya), yang biasanya dimulai dengan: Sekarang lagi ngapain? Aaarggghhh!!! Kalau ketemu bulletin seperti itu, langsung saja saya tinggalkan.

Dari sekian sedikit bulletin yang ikut saya pasang, ada satu pertanyaan yang sampai sekarang masih berkesan untuk saya:

Lagu apa yang membuatmu sedih?

Saya menulis jawaban saya untuk pertanyaan tersebut: "Wake Me Up When September Ends"-nya Green Day.

Hari-hari menjelang berakhirnya hubungan saya dengan seorang pria tertentu, Wake Me Up When September Ends menjadi lagu pribadi saya. Ketika berbagai pertanyaan yang tak terjawab menyelimuti menit demi menit yang saya lalui (sebenarnya sih sekarang jawabannya juga belum ada, tapi tidak berdampak lagi, hehehe..-red.) lagu Green Day ini mendramatisir situasi yang saya hadapi, seperti sariawan bekas gigitan yang tergigit lagi.

Selewat beberapa bulan masa penyesuaian status baru yang cukup melelahkan, pertemanan saya dengan pria itu memulih. Dalam artian: saya bisa berkarib dengannya tanpa menaruh berbagai harapan yang tak perlu, dan karenanya dapat menghindari gejolak emosi yang tidak penting pula.

Namun tiap kali saya mendengar Wake Me Up When September Ends, gurat kelabu masih membayangi batin saya.

Saya teringat cerita seorang teman bertahun-tahun lalu, mengenai pertengkarannya dengan sahabatnya karena sang sahabat menolak bekerja sama dengannya dalam suatu skenario yang terkait dengan pacar teman saya saat itu.

Kata teman saya, "Saya tidak ingat lagi persisnya apa yang menjadi inti kemarahan saya saat itu. Tapi saya bisa ingat sakit hati yang timbul karena sikap teman saya. Saya masih bisa merasakan sakit hati saya."

Orang boleh mengucapkan semboyan: memaafkan tapi tidak melupakan. Namun memaafkan sebenarnya berarti melupakan. Melupakan semua rasa sakit, kekecewaan, kepedihan yang diakibatkan oleh orang lain. Memaafkan tapi tidak melupakan? Bohong.

Berikan pada Kaisar hak miliknya

Lalu kata Yesus kepada mereka: "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar Dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah!" (Markus 12:17).

Bukan, ini bukan ulasan agamis (meskipun mengutip isi Alkitab), apalagi tentang pajak (karena bagian ini bercerita mengenai jawaban Yesus kepada golongan Saduki yang mempertanyakan pendapat Yesus tentang kewajiban orang-orang Yahudi membayar cukai kepada penguasa Roma).

Tulisan ini terkait dengan kericuhan -- ijinkan saya menyebut demikian -- setelah sebuah blog friendster kedapatan menjiplak habis-habisan tulisan seorang celeblogger, ditambah sejumlah kecil post dari beberapa blogger lain. Benar juga kata seorang komentator: blog friendster itu bisa dianggap mirror site blog beken tersebut, hehehehe...

Karena kebetulan blog ini mendapat "kehormatan" menjadi satu dari beberapa blog yang isinya dikutip total (termasuk semua komentarnya!) oleh anggota friendster yang sepertinya rupawan itu, boleh dong saya ikut angkat bicara.

Pertama-tama, soal reaksi saya ketika mengetahui hal itu.

Maaf seribu maaf, saya kok tidak bisa berang, apalagi berangasan. Saya malah takjub, kok ya ada yang mau-maunya mengutip tulisan saya yang biasa-biasa saja itu. Saya geli karena yang bersangkutan memuat semua komentar terhadap tulisan dimaksud, dengan sedikit perubahan nama untuk menyesuaikan dengan "jatidiri" yang bersangkutan.

Saya bahkan merasa sedikit tersanjung, terlebih karena menyadari saya bukan tergolong celeblogger seperti Jeng Okke *pura-pura merendahkan diri sambil berharap-harap cemas ada yang memuji, hahahhaha...*.

Di pihak lain, peristiwa ini membuat saya berpikir-pikir tentang pengakuan atas sebuah karya cipta, apapun bentuknya.

Tentu, sayapun ingin produk saya diakui.

Namun harus diakui, sulit untuk mengklaim hal tersebut di ranah publik seperti blog dan cyber-media lain. Saya sendiri sering mengambil gambar, ikon, atau tulisan dari situs lain dan menempatkannya entah di blog saya ini atau di halaman friendster saya.

Mengikuti jalan pikiran Mas Tyo (saya menolak menyebutnya paman, supaya yang bersangkutan dan tentunya saya merasa selalu muda, hahahaha...), kalau saya benar-benar berpegang pada kesahihan sebuah karya cipta, selayaknyalah saya mengikuti prosedurnya: meminta ijin kepada pemiliknya yang sah, membayar royalti jika diharuskan, dan seterusnya.

Kenyataannya toh saya memuat lirik sebuah lagu, misalnya, tanpa pernah merasa harus menyurati penciptanya. Banyak gambar saya unggah di blog ini di luar pengetahuan pemiliknya, atau setidaknya pemilik situs yang gambarnya saya comot.

Oke, mungkin itu problem saya.

Sekarang, bagaimana dengan berbagai kata-kata bijak yang diteruskan dari satu email ke email lain? Tentu kita tidak asing lagi dengan serangkaian nasihat seperti "ketika satu pintu tertutup maka pintu lain terbuka", atau cerita-cerita untuk bahan renungan yang barangkali diambil dari Chicken Soup For The Soul dan semacamnya, yang kerap beredar di beragam milis. Kalau boleh jujur, kita hampir tidak pernah mempertanyakan siapa penciptanya kan? Dalam hal ini, jangankan royalti, pengakuan pun tidak kita pedulikan.

Apa yang dilakukan Monica Wijaya memang salah dan ngawur, dan Okke berhak untuk marah karena hampir semua konten blog friendster Monica berasal dari blog sepatu merahnya. Tapi barangkali peristiwa ini bisa mendorong kita untuk memikirkan bagaimana membuat koridor-koridor yang (dianggap) penting dan memuaskan kita semua di ranah maya.

Nah, uraian ini sebenarnya tidak ditujukan pada siapa-siapa. Lebih semacam refleksi bagi diri saya sendiri. O ya, perbuatan Jeng Monica itu juga akhirnya menjadi peringatan bagi saya untuk mencantumkan link sebuah haiku yang dibuat oleh Eda Cantik dan Pintar yang saya muat di friendster saya (walaupun sebelumnya saya sudah minta ijinnya). Jadi toh saya agak berterima kasih pada Monica untuk hal itu.

Mumpung dimulai dari ayat Alkitab *halah!*, saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan ayat lain.

Dan ketika mereka terus-menerus bertanya kepada-Nya, Ia pun bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka: "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu." (Yohanes 8:7).

Sekali lagi, ini hanya refleksi diri sendiri.

Buat Rey

Duh, akhirnya kamu benar-benar pulang juga ya.

Waktu saya dengar bahwa kamu sudah menerima pemanggilan secara resmi beberapa bulan lalu (yang kamu sampaikan ke saya via telepon disertai embel-embel: "Aku mau kamu tahu dari aku..") saya sempat terhenyak. Dan menghitung-hitung lama waktu yang tersisa untuk bersama-sama mewujudkan berbagai rencana dan impian kita. Kursus dansa. Perjalanan ke Alaska. Piknik ke taman hiburan dengan berbagai wahana atraksi yang mendebarkan jantung. (Pssst.. kamu suka ya! Padahal - walaupun badan saya besar begini - saya takut pada ketinggian loh!).

Ternyata toh, sampai ketika saya memandang punggungmu yang menjauh menuju tempat burung besi raksasa yang akan membawamu kembali ke rumah, di antara orang-orang yang kamu cintai, tidak satu pun hal itu yang terlaksana.

Tapi saya bersyukur, bahwa dalam beberapa bulan ini saya diberi kesempatan untuk mengenalmu lebih dekat. Saya menemukan bahwa kamu adalah pribadi yang sangat hangat, penuh perhatian, dengan rasa humor tinggi yang mungkin sulit dilihat mereka yang baru pertama kali bertukar sapa denganmu.

Saya juga senang bahwa dalam bulan-bulan terakhir tugasmu di sini, banyak hal yang membahagiakanmu (walaupun diselingi semua kegiatan membungkus barang, menyelesaikan pekerjaan kantor dan tetek-bengek lain yang menyebalkan dan tidak terlalu tetek-bengek). Dan betapa tenteram saya menyaksikan wajahmu yang biasa teduh menenangkan, menjadi bersinar oleh refleksi rasa yang menguasai dirimu.

Walaupun banyak teman-teman kita di sekitar yang lain, Rey, tetap saja ada kekosongan yang belum terisi. Ah, kamu akan tetap menjadi bagian hidup saya. Juga semua hal yang telah kita lakukan bareng: melangkah ke kedai kopi waralaba tiap sore dan memesan hal yang sama (sampai yang melayani kita di sana sudah hapal!), kadang hanya sepesinggahan, kadang kita menghabiskan sejam lebih sambil bercakap-cakap; pesiar ke Shennandoah, menikmati pemandangan daun-daun musim gugur beragam warna, sambil berpikir bagaimana membuat alasan yang masuk akal mengenai kenapa saat itu -- Lebaran hari pertama! -- kita tidak berkunjung ke rumah atasan kita; memasuki setiap toko Ann Taylor yang tampak oleh kita; berlatih di pusat kebugaran gedung apartemen kita dan bersama-sama menghitung setiap masukan maupun keluaran kalori dari tubuh kita (yang hanya bertahan dua minggu karena kita selalu menemukan alasan untuk makan enak)... terlalu banyak untuk diingat satu persatu.

Saya yakin di manapun kamu berada, kamu akan selalu membawa keteduhan itu, yang memancar keluar dari kecantikan batinmu. Saya pasti memanjatkan doa untukmu, sebagaimana saya tahu kamu melakukannya juga untuk saya dan semua orang yang kamu kenal.

Dan saya tidak akan mengucapkan selamat jalan. Sampai ketemu lagi, Rey.