Ibu Yang Berduka


"Mother in Mourning" (www.granzstudios.com)

bertanya aku, ke leher jenjangmukah bakal
kuroncekan melati, seperti mimpi setiap kanak-kanak
di kojarsena-nya dulu?
pernah kau sebimbang ini, disebabkan api berpesta
di ladang tebu kita? maka dengan setangan leher,
kanak-kanak hanya mampu meronce air-matanya.
satu-satu.

kulihatibupertiwisedangbersusahhatiairmatanyaberlinang…

-Tulus Raharjo, "O, Ibu Yang Menangis"

Kucing Tabung

Maksud saya kira-kira semacam bayi tabung, walau tepatnya sih klon kucing. Berita yang sedang marak hari ini, di samping persiapan Natal yang gila-gilaan, adalah seekor anak kucing hasil kloning berumur 9 minggu yang diberi nama Little Nicky, mengikuti nama "induk"-nya Nicky. Little Nicky diserahkan kepada Julie, seorang wanita asal Texas, yang membayar USD 50 ribu untuk biaya "pembuatan"-nya. Julie memang pemilik Nicky yang asli, yang mati waktu berumur 17 tahun, dan rupanya wanita itu sukar mengatasi rasa kehilangannya.

Coba lihat Little Nicky. Isn't she cute?



Menurut saya sih, lebih cantik Little Nicky dari induknya. (Di mana-mana memang kucing kecil lebih lucu dari kucing dewasa).



Hm, uang mungkin bisa membeli dan menghidupkan kenangan. Namun prospek mengkloning mahkluk dari sel epitel almarhum binatang peliharaan kita buat saya agak menggetarkan. Saya teringat fiksi-horror "Pet Sematary", dan saya kira kesedihan yang mendalam memang bisa mendorong orang tua (atau dalam kasus ini, pemilik) melakukan apa saja untuk memperoleh kembali anak (dan peliharaan) kesayangannya.

Ilmu pengetahuan barangkali dapat membawa kembali sosok fisik hewan, atau satu saat kelak -- bila Tuhan mengijinkan - manusia, yang kita inginkan. Tapi saya tidak tahu apakah dengan demikian kita dapat memperoleh kebahagiaan lagi. Katakanlah dalam 10-20 tahun mendatang kita boleh dan bisa melakukan proses kloning manusia, mungkin anak kita. Siapa dapat menjamin bahwa hasil kloning itu dapat memberikan kesenangan pada kita, setara dengan yang dapat dari sosok aslinya?

Prospek yang lebih menyeramkan buat saya adalah kemungkinan kita men-Tuhankan diri sendiri. Bukan saya sok religius. Saya membayangkan bahwa kalau kita, manusia, sudah berhasil mengklon manusia, kita akan kurang menghargai nyawa sesama kita. Dan itu membuat kita sama sakitnya dengan para pembunuh berantai.

My sofa and I

Sofas have always been an important part of my relaxing times. To be exact, of my whole family's. In fact, back in Jakarta there had always been fights among family members over occupancy of the couch and/or the loveseat . I often argued with my sister on who would inherit that particular oh-so-cozy couch in the living room. Gladly, though my sister got married first, she didn't get a chance to take it. It is so strategically located in front of TV, so one can imagine the comfort it provides when you lay your tired body on it, with the remote control in your hand. I think it has some possession power, because despite having TVs in their own bedrooms, my parents and my sister kept going back to THAT TV. (I'm the one who usually had to move out if I wanted to see other program).

Finally, I have my own couch. My very own couch. It's big, brown (nicely coordinated with my apartment's colors), and very, very comfy.



Getting this sofa is another story. I bought it in IKEA, the furniture brand I can afford. I didn't know that buying furniture in an IKEA store is like doing your grocery shopping. You get a cart and bring the item to the cash register. When I pushed the cart with my sofa on it, I cracked up. I thought it was so funny.

Now, back to this lovely couch. Although it officially belongs to me, the only times I could claim full ownership on it are, like, from 10 pm-7 am. Yup, while everyone else is already dreaming. So I sleep on the couch more than I do on my bed.




Selamat Menyongsong Natal




Walaupun masih dua minggu menjelang hari Natal, saya rasa tidak ada salahnya menyampaikan ucapan "selamat menyongsong Natal" kepada teman-teman yang merayakannya (termasuk pada diri saya sendiri, hehehe...). Soalnya mungkin saja justru waktu Natal saya tidak akan sempat menuliskan apa-apa di blog ini, karena waktu dan pikiran tersita pada hal-hal lain.

Ada satu lagu Natal yang tidak terlalu populer, tapi selalu saya sukai. Saya dengar pertama kali dari pita milik orang tua, dengan kotak kaset yang bagian belakangnya masih berwarna hitam. (Kebayang kan jadulnya???). Sampai Natal 2003, kaset itu masih sering kami putar, walau usianya lebih tua dari keponakan saya yang terbesar, yang sudah diwisuda tahun lalu. Selain melodinya, ada sebagian syairnya yang menjadi favorit saya,

... For the real meaning of Christmas
Is the giving of love everywhere...

Mustinya ditambah lagi dengan "everytime", "for everyone", untuk menyempurnakan arti Natal.

Pada waktu Natal, ucapan yang kerap terdengar di mana-mana, dalam berbagai khotbah pendeta, pastur, patriarkh, adalah: "damai di bumi." Karena terlalu sering, ucapan itu jadi seperti berita kriminal: mendebarkan, tapi tidak membekas, dan cepat terlupakan, kecuali kalau kita sendiri yang menjadi korban kejahatan. Anak-anak kecil yang berperan sebagai malaikat pun mungkin hanya ingat kalimat itu setahun sekali, menjelang pertunjukan drama Natal.

Padahal dalam situasi sekarang kalimat itu harusnya sangat relevan. Perang terbuka. "Either you are with us, or you are against us." Keyakinan bahwa pembunuhan terang-terangan merupakan pernyataan dan kewajiban religius. Columbine. Ketakutan yang terus, dan sengaja, dipupuk.

Seandainya -- seperti di film-film sci-fi -- makhluk luar bumi memang bermaksud menaklukkan planet ini, mereka tidak butuh senjata canggih. Tunggu saja beberapa tahun lagi (mungkin bagi mereka beberapa tahun sama dengan beberapa hari, atau jam!), pastikan bahwa semua usaha meredakan perselisihan gagal, manusia akan musnah sendiri. Tapi terus terang, saya pribadi meragukan apa mereka masih menginginkan bumi yang praktis sudah habis terjarah, hehehehe...

Wah, saya makin ngawur. Yo wis, pokoke: Selamat Menyongsong Natal. Damai di bumi deh!

Christmas.. without Christ?

I found this article in Washington Times very interesting, so I decided to put it in my blog. This blog is not for commercial purpose, anyway...

------------

U.S. communities fail to keep 'Christ' in Christmas
By Jennifer Harper
THE WASHINGTON TIMES


Published December 9, 2004

Is America ready for C-----mas?

Christmas has been sanitized in schools and public squares, in malls and parades where Santa's OK, Jesus Christ is not. "Jingle Bells" rocks, but forget about "Silent Night." Some hope to assure the nation that it's all right to say "Merry Christmas." Champions of creches, live Nativity scenes, Christmas trees, greeting cards and salutations offer compelling evidence that December 25 is still a religious holiday -- not a violation of separation of church and state.

They are ready to rumble.

"Those who think that the censoring of Christmas is a blue-state phenomenon need to consider what happened today in the Wichita [Kansas] Eagle," said William Donahue of the New York-based Catholic League for Religious and Civil Rights.

The Kansas newspaper ran a correction, he said, for mistakenly referring to a "Christmas Tree" rather than a "Community Tree" at the Wichita Winterfest celebration. "It's time practicing Christians demanded to know from these speech-code fascists precisely who it is they think they are protecting from dropping the dreaded 'C-word' " Mr. Donahue said yesterday.

Some are particularly irked by public bans on Christmas carols. "The fact is, 96 percent of us celebrate Christmas. For a small minority to force their way and their will on the public majority is unconscionable," said Greg Scott of the Arizona-based Alliance Defense Fund (ADF). "People are tired of efforts to sanitize religious expression. This policy against even instrumental Christmas music in schools violates common sense and is neither necessary nor constitutional," Mr. Scott added.

Sworn to protect "religious liberty," the ADF has issued a seven-point legal primer citing court decisions made from 1963 to 2004 that neutralize the notion that the U.S. Constitution requires government officials to eliminate public mention of Christmas. They've sent their findings to more than 5,000 schools nationwide and enlisted about 800 pro-Christian lawyers to stand by, should lawsuits emerge.

"The bottom line: It's okay to say 'Merry Christmas,' regardless of the legal threats from the American Civil Liberties Union and its allies," the ADF states. The Virginia-based Rutherford Institute, which also advocates religious freedom, issued a step-by-step guide to help the public understand the legalities of Christmas.

"Whether through ignorance or fear, Americans are painfully misguided about the recognition of religious holidays," said John W. Whitehead, the group's president. "There is an irrational bias against anything remotely religious unless it's sanitized and secularized, and unfortunately, far too many parents, students and teachers erroneously believe they cannot do anything."

Much has annoyed defenders of Christmas in the past two weeks.

Denver, for example, refused to allow a Christian church float in the city's holiday parade, because "direct religious themes" were not allowed. Homosexual American Indians, Chinese lion dancers and German folk dancers, however, were welcome.

The mayor of Somerville, Mass., issued a formal apology this week to anyone offended by a press release "mistakenly" issued from his office that called the town "holiday party" a "Christmas party."

School districts in Florida and New Jersey have banned Christmas carols altogether, and an "all-inclusive" holiday song program at a Chicago-area elementary school included Jewish and Jamaican songs, but no Christmas carols.

Meanwhile, a Kirkland, Wash., high-school principal nixed a production of "A Christmas Carol" because of Tiny Tim's prayer, "God bless us everyone," while neighboring libraries banned Christmas trees.

Ken Schramm, a commentator with an ABC television affiliate in Seattle, dismissed it all as "P.C. smothering" yesterday.

Down in Kentucky, local officials rejected the offer of Grace Baptist Church to stage a live Nativity scene in a public square.

Such actions have not fazed the Chicago-based God Squad, a group of carpenters and volunteers who have built a giant Nativity scene at Daley Center Plaza in downtown Chicago every year since 1987, despite outcries from the ACLU, the American Jewish Congress and American Atheists.

"Our Founding Fathers didn't intend to take religion out of the state. They took state out of religion," organizer Jim Finnegan told reporters when this year's construction began shortly after Thanksgiving.

The Nativity is still there.

Copyright © 2004 News World Communications, Inc. All rights reserved.

------------------------------------

I am still trying to figure out the connection between the revival of "moral values" that are said to have helped Bush won the election and the reluctance to all religious expressions.

... thinking.... thinking... thinking....

Note of a Redliner

Istilah "redliner" muncul dalam benak saya pagi ini waktu saya melamun di metro dalam perjalanan ke kantor. Sistem metro Washington DC terdiri atas lima jalur yang menghubungkan beberapa titik di DC dengan kota-kota lain di sekitarnya. Masing-masing jalur ditandai dengan warna merah, hijau, biru, kuning dan jingga. Karena rumah dan kantor saya berada pada jalur merah, saya membaptis diri saya sendiri sebagai seorang "redliner".



Metro sangat penting bagi para commuter di area DC dan dua negara bagian yang mengapitnya, Virginia dan Maryland, karena tidak semua orang mampu memiliki mobil. "Mampu memiliki" di sini tidak sekedar merujuk pada daya beli barang itu per se, tapi mencakup aspek-aspek lainnya: ongkos pemeliharaan sesudahnya (termasuk asuransi yang minimal seribuan dollar setahun, belum lagi ongkos perbengkelan yang bisa membuat kita sakit hati dan terkenang-kenang pada tanah air), penyewaan garasi atau lahan parkir mobil kalau kebetulan kita tinggal di apartemen, dan tagihan parkir di tempat-tempat umum yang sebaiknya tidak diberitahukan kepada para tukang parkir di Jakarta, karena sejamnya bisa mencapai 27 dollar! Memang, ongkos parkir ini bervariasi, karena ada juga yang "hanya" mencapai sedollar sejam, tapi itu hanya bila:
1. Atas berkat Tuhan Yang Maha Kuasa.
2. Akhir minggu dan hari libur.
3. Berada nun jauh di pinggiran kota.

Kemarin, waktu saya bercakap-cakap dengan teman-teman kantor, beberapa mengeluhkan kerusakan-kerusakan yang kerap terjadi pada metro akhir-akhir ini. Terutama pada jalur merah, yang akhir-akhir ini sering terhambat karena masalah teknis (saya sendiri pernah mengalaminya). Hal ini cukup meresahkan, karena jalur merah adalah jalur yang paling panjang dan ramai, dan merupakan satu-satunya jalur yang melewati Dupont Circle, pusat bisnis dan kawasan tempat banyak kedutaan besar berada.

Saya tidak tahu apakah metro dapat menjadi isu nasional. Mungkin saja, kalau sewaktu-waktu ada orang merusak jalur biru yang melewati Pentagon dan Foggy Bottom (tempat State Department), atau sekaligus jalur biru dan jalur merah. Nah, itu baru berita. Tapi saya tidak mendorong loh.

Rumah Yang Manis, Rumah Yang Manis...

... Damai, damailah di dalamnyaaaaa...
Aku inginkan kehangatanmuuuu...
Aku ingin ketenanganmuuuuuu....

Ingat lagu yang diciptakan Elsa Sigar waktu dia masih berumur 12 tahun ini? Sehingga kala itu dia menjadi peserta termuda yang masuk final... sebentar.. festival apa lah, Lomba Cipta Lagu Nasional atau apa... awal '80-an.

Saya ingat lagu itu ketika untuk pertama kalinya saya benar-benar memasuki "rumah" saya sendiri. Bukan rumah orang tua, saudara, apalagi teman. Biarpun statusnya menyewa, luasnya cuma 900 kaki persegi (cuma lebih sedikitlah dari tipe 21), tanpa taman pula, di tingkat 10 (berarti kalau ada kebakaran bakal pegal lari-lari ke bawah, dan ada kemungkinan tersandung, jatuh, lecet, terkilir), tapi - sekali lagi - rumah SAYA.

Yang lebih menyenangkan adalah bahwa setelah tiga puluh tahun lebih hidup di dunia, akhirnya saya bisa mengambil alih peran orang tua sebagai pencari nafkah keluarga, walaupun mungkin untuk beberapa bulan saja. Buat saya membanggakan. Biarpun bermilyar orang lain sudah melakukan hal serupa. Termasuk teman-teman dekat saya.

Permisi, saya mau menikmati dulu kebanggaan saya....