The Big Four

Though it may sound like one of Madame Christie's book title, it's actually the estafet stick I got from Silverlines. (Pssst.. I have to confess, I've been longing for somebody to tag me this, hehehe... so thank you, gal!)

Four jobs I've had:
1. Document translator (when I was at uni! But I could only earn enough money to buy a cloth or two, or have McDonald's burgers or chickens for the whole month, hehehe..).
2. Stock market analyst (hahahaha... it sounds cool but in reality it sucks! At least it sucked me!).
3. Marketing executive in a shipping company.
4. Civil servant.

Four movies I could watch over and over:
1. Legally Blonde!
2. Garfield: The Movie
3. Stand by Me (this one always manages to make me sobbing - a very rare case!)
4. Lilo and Stitch.
Judging from my favorite flicks above, one may question my mental capacity :p.

Four places I have lived in:
1. Jakarta.
2. Surabaya, of course (I practically grew up there, I call it my hometown).
3. Manado.
4. Washington, D.C.
I spent my first three years of life in Ambon, so I've actually lived in 5 different cities.

Four TV shows I love or loved:
1. Jay Leno's late show.
2. Conan O'Brien's late show.
3. The Grey's Anatomy.
4. Bajaj Bajuri (it's local Indonesian, it doesn't exist anymore, it's HIP!).

Four places I have been on vacation:
1. Bali.
2. Yogyakarta.
3. Philadelphia.
4. New York.

Four favorite dishes:
1. Nasi goreng ikan asin.
2. Soto ayam Ambengan.
3. Indomie goreng!
4. Almost any Italian course.

Four websites I visit daily (What? Not including emails?):
1. My blog.
2. My Friendster page.
3. My office's website
4. Detikcom (for the news AND the gossips :p).

Four places I would rather be right now:
1. Home (with its comfy couch).
2. Macchu Picchu (dreaming, dreaming...).
3. Rome (yes, meeting a very dear friend there...).
4. Anywhere, as long as I'm with my sister.

Four bloggers I'm tagging:
1. Apey.
2. Sondi.
3. Eda Nana.
4. Mita.

Okol and Silverlines: see? I've done your homework! :)

Biro Jodoh Anonymous (2)

Bila akhirnya saya setuju menggelar kopi darat dengan pihak-pihak tertentu yang muncul dari "aktivitas sosial" orang tua saya itu, biasanya karena faktor-faktor berikut:

1. Yang bersangkutan mempunyai suara bariton keren ala penyiar radio, membuat saya mengkhayalkan penampilan yang bersangkutan (biasanya sih penampilan model pria, hahaha...).
2. Yang bersangkutan enak diajak ngobrol dan selalu nyambung.
3. Yang bersangkutan memiliki keahlian merayu namun tidak gombal, dan saya sedang desperate, perlu teman jalan.

Ingat nasihat agar jangan menilai buku dari sampulnya? Nah, pengalaman kopi darat saya sedikit banyak membuktikan kebenaran advis tersebut. Kalau wajah dan penampilan tidak menentukan segalanya, apalagi SUARA.

Pria #1

Suaranya keren, berat, topik yang diangkat sangat menarik dan kalimat-kalimatnya teratur tapi tidak membosankan sama sekali. Dia jelas orang yang pintar memancing pembicaraan. Telepon perkenalan pertama berakhir sejam kemudian dan meninggalkan senyum di bibir saya, serta harapan agar dia menelepon kembali.

Telepon kedua, ketiga, dan keempat yang semuanya minimal berlangsung sejam, membuat saya setuju dia main ke rumah. Saya berdebar-debar menunggu pertemuan pertama kami, dan bingung mencari busana yang pas.

Dan ternyata penampilannya tidak seperti bayangan saya. Dia memang tinggi, jauh lebih tinggi dari saya, tapi sampai di sana. Yang lain-lainnya... yah, pendek kata dia tidak seperti Christian Sugianto lah, hehehehe...

Toh saya sangat menikmati waktu-waktu bersamanya, terutama obrolan kami yang selalu nyambung. Kami pergi keluar beberapa kali, masih berbicara di telepon berjam-jam. Saya tidak ingat siapa yang memulai, tapi entah kenapa setelah beberapa saat intensitas kontak kami menurun drastis. Sejak berangkat ke DC saya tidak pernah memperoleh kabar darinya lagi, walaupun masih sekali-sekali berkirim-kiriman email dengan sepupunya, yang kebetulan saya kenal. Herannya, saya juga tidak beminat menanyakan kabarnya!

Pria #2

Suaranya tidak sekeren Pria #1, tapi enak diajak mengobrol. Kesan saya: pintar, idealis, tidak pongah, humoris. Tipe-tipe orang yang bisa mengikat perhatian saya. Sebagaimana dengan Pria #1, akhirnya saya setuju bertemu dengannya, kali ini di sebuah pusat perbelanjaan.

Terlepas dari fisiknya -- yang, sekali lagi, tidak seperti model -- hal yang membuat minat saya menurun adalah: dia datang sambil mengenakan seragam instansinya. Waduh, saya akui, saya benar-benar picik dalam hal ini. Apa yang saya harapkan, lah kita janjian makan siang bersama kok. Masak dia harus ganti baju dulu sebelum ketemu saya?

Tapi saya orang yang selalu berusaha memberikan "kesempatan kedua". Lagipula saya benar-benar lapar waktu itu, sehingga saya kira saya bisa memusatkan perhatian saya pada makanan, hehehe...

Untunglah Pria #2 ini sesupel gaya bicaranya di telepon, sampai saya hampir tidak sadar bahwa saya harus kembali ke kantor. Saya mengagumi idealismenya dan gagasan-gagasannya untuk melakukan perbaikan-perbaikan di instansinya, yang menurut saya tepat, realistis, dan praktis.
Pria #2 jelas-jelas menaruh perhatian pada saya *ehm*, dengan cara yang menurut saya cukup elegan. Dia rajin mengingatkan saya untuk tidak lupa makan siang melalui sms, tapi tidak menelepon terlalu sering, paling-paling dua atau tiga hari sekali. Itupun tidak pernah terlalu lama, dan ketika saya mulai menanggapi ceritanya dengan nada malas-malasan dia segera mengakhiri teleponnya.

Sekali dia meminta saya menemaninya ke pesta perkawinan anak teman kantornya. Saya sempat ragu sebelum menyetujui permintaannya. Saya kemudian agak menyesali hal tersebut, karena di sana banyak pria muda ganteng bertebaran! Pemandangannya memang menyegarkan, tapi Pria #2 membuntuti saya terus, berkata-kata dengan suara pelan sampai saya harus mendekatkan kepala untuk mendengarnya, hehehe.. Walaupun dalam hati menggerutu tapi saya harus menghormatinya dong, sebagai 'teman kencan' saya malam itu. Sialnya lagi, saya bertemu dengan seorang sepupu saya, yang kebetulan teman dekat pengantin pria! (Untunglah dalam pertemuan-pertemuan keluarga setelah itu, sepupu saya tidak pernah menyebut-nyebut Pria #2, setidaknya di depan anggota keluarga besar kami yang lain).

Pria #2 memang orang yang sangat baik. Saya cukup terharu ketika ia memberikan saya buku "Sayap-Sayap Patah"-nya Kahlil Gibran untuk hadiah Hari Valentine. (Topik ini kemudian menjadi pokok olok-olokan adik saya selama dua minggu sesudahnya :p). Sayangnya saya kok tidak bisa menumbuhkan perasaan lebih dari teman kepadanya.

Pria #3

Pria #3 anak teman ayah saya, tapi dulu-dulunya ayah saya tidak pernah terpikir untuk menjadikan salah seorang temannya sebagai calon besan, hihihihi... Saya terus terang tidak ingat bagaimana tahu-tahu ayah saya memunculkan namanya. Dan saya yakin ayah saya juga tidak tahu, hihihi..

Pria ini cukup enak diajak bicara dan teman jalan yang menyenangkan. Kami keluar beberapa kali, dan hampir selalu pulang larut, untuk kemudian menyambung obrolan di teras rumah saya yang tidak berpagar itu. (Disaksikan satpam kompleks yang lalu lalang.. hayah!).

Sebenarnya hubungan saya dengan Pria #3 punya potensi untuk berlanjut, kalau saja saya tidak melihat ada Alkitab di mobilnya. Saat itu saya sedang memiliki tingkat sekularitas yang sangat tinggi, dan agak-agak khawatir berhubungan dengan orang-orang yang sangat 'agamais', takut bercermin melihat dosa-dosa saya :D.

Tapi saya melihat potensi hubungannya dengan... teman baik saya. Saya mengambil inisiatif untuk memperkenalkannya dengan sahabat saya. Saya promosikan dia pada sohib saya itu. Walaupun oke-oke saja dengan hal itu teman saya sempat mempertanyakan kenapa saya kok seperti mendorongnya bertemu dengan mantan teman kencan saya.

Ternyata saya benar. Hubungan Pria #3 dan teman saya berlanjut sampai tahap pacaran. Saya senang sekali waktu tahu itu, apalagi karena Pria #3 adalah pacar pertama teman saya. Sayangnya belakangan baru saya mendapati bahwa sifat Pria #3 tidak terlalu baik. Mulanya dari ayah saya yang menyampaikan bahwa ia baru menghadiri pernikahan Pria #3. Bagaimana tidak terkejut, setahu saya dia pacaran dengan sahabat saya! Ketika saya verifikasi ke sobat saya, ia bercerita bahwa mereka telah putus beberapa bulan sebelumnya, karena ibu Pria #3 kurang menyukainya (dengan alasan yang tidak jelas juga, karena -- menurut sobat saya -- sang Ibu selama ini bersikap baik-baik saja terhadapnya, dan Pria #3 juga tidak pernah menerangkan apa yang tidak disukai ibunya). Sobat saya sama kagetnya mendengar pernikahan Pria #3 dari saya.

Syukurlah orang-orang seperti Pria #3 segera berlalu dari kehidupan saya dan sobat saya! Sekarang sahabat saya itu telah memperoleh suami yang jauh lebih baik dari Pria #3... dan saya masih bersenang-senang kesana kemari, hahahaha...

KINI...

Ayah dan ibu saya tidak lagi berusaha membuka lahan perjodohan untuk saya, dan sudah hampir tidak pernah mengangkat isu tersebut. Percakapan saya dengan ayah tercinta untuk mengucapkan selamat ulang tahun padanya berakhir dengan pesannya: "Jangan lupa mencari calon suami, Nak." Saya hanya cengar-cengir, yang tentu tidak bisa dilihat olehnya.

Ibu saya? Terakhir bertukar kata dengannya, ibu saya bercerita bahwa beliau selalu memanjatkan doa khusus untuk saya. "Agar enteng jodoh?" sahut saya cepat.

"Bukan," jawab beliau. "Kalau itu sih mama tidak pikirkan lagi. Mama mendoakan supaya kamu selalu berada di jalan yang lurus."

Hayaaaaaahhhhh... mam.. tobaaaaaaaaatttttt!!! Dan mbok ya jangan menyerah gitu dong, mam! Hihihi....

Biro Jodoh Anonymous (1)

Tulisan Rio yang bikin saya ketawa guling-guling ini mengingatkan saya, seperti saya katakan dalam komentar saya, pada masa-masa kegelapan ketika muncul berbagai sms maupun telepon dari orang yang tidak saya kenal. Melalui sms ada yang bilang: "Halo, apa kabar?", atau "Boleh kenalan?", dan lain-lain semacamnya. Sedangkan penelepon misterius umumnya akan memulai dengan sapaan serupa atau: "Hai L, saya X, saya dapat nomor kamu dari..." Nah, di sinilah misteri tersebut terkuak.

Saya sempat bingung bagaimana saya bisa begitu bekennya, sampai pernah muncul pikiran buruk karena terlalu GR: jangan-jangan ada orang yang sakit hati karena saya tolak *huahahahaha...* lalu menyebarkan nomor telepon saya di internet? (Eh, jaman sekarang apa saja mungkin loh!).

Untungnya dalam waktu singkat, terungkaplah sindikat perjodohan saya.

Sejak mendekati usia kepala tiga tanpa terlihat tanda-tanda kehadiran calon suami yang cukup menjanjikan di mata orang tua maupun orang-orang tua (alias om, tante, nenek, kakek, dan seterusnya), orang tua saya mulai berperan sebagai katalisator proses kimiawi paling tua di dunia ini. Tidak cukup dengan sindiran, pertanyaan langsung, maupun menjadikan topik ini pokok doa utama dalam acara kebaktian pagi rutin keluarga kami -- yang terkadang rasanya seperti sindiran juga buat saya, hahaha... -- ayah dan ibu mulai berkomplot dengan para sejawatnya untuk mencari prospek-prospek "Sang Pria" untuk saya.

Berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya, di mana saya bakal marah besar kalau tahu ada upaya-upaya "pihak ketiga" mendatangkan pria dalam kehidupan saya, orang tua saya bersikap lebih hati-hati. Mereka bertanya dulu apakah saya bersedia berkenalan dengan si Anu, putera/keponakan/anak teman/tetangga dari seorang teman/sepupu/kenalan/jenis-jenis saudara lain mereka. Dan apakah saya bersedia ditelepon oleh yang bersangkutan.

Dalam hal ini, saya boleh bilang bahwa seiring dengan bertambahnya umur, saya lebih bijaksana *tsah!*. Saya iyakan saja, toh tidak ada ruginya menambah kenalan baru.

Yang tidak saya perkirakan adalah ayah-ibu saya memberikan nomor telepon selular saya kepada pria yang akan diperkenalkan ke saya itu. Saya pikir mereka akan menyarankan supaya telepon perkenalan diarahkan ke rumah, karena sudah pasti saya tidak suka diganggu di kantor (kecuali kalau yang mengganggu teman-teman sendiri, atau pacar, hihihhi...). Dan karena boleh dikata saya tidak pernah sampai di rumah sebelum pukul sembilan malam, telepon-telepon itu kemungkinan baru akan dilakukan pada akhir minggu. Itu juga kalau saya tidak sedang keluar dengan adik tercinta atau teman-teman.

Namun saya kira tindakan orang tua saya sudah tepat. Saluran selular tentunya memberikan saya kebebasan untuk menentukan apakah saya akan menerima atau mengabaikan telepon dari si balon (alias bakal calon) itu.

Model menghubungkan seperti ini tidak hanya dilakukan oleh orang tua, tapi juga teman-teman. Bedanya, upaya teman umumnya akan disambut dengan senang hati. Iya kan? Karena sudah terbentuk stereotip bahwa "teman dari teman" mempunyai probabilitas kecocokan dengan selera kita yang lebih tinggi dibandingkan calon yang disodorkan orang tua. Padahal belum tentu juga, ya?

Kenyataannya memang belum ada upaya perjodohan dari orang tua maupun keluarga yang lain yang sukses bagi saya. Setelah telepon pertama maupun kedua, sering tidak ada kelanjutannya. Entah saya yang tidak tertarik dengan bahan pembicaraannya sehingga cenderung menghindar, entah pihak sebelah sana yang tidak pernah menelepon kembali.

Oalaaaaaaaahhhh... Miss Endonesaaaaahhh!!!

In only a few minutes, Nadine Candrawinata has successfully pushed aside Zinedine Zidane, got into the limelight of Indonesia's gossipsphere and became the very core attention of the archipelago's 230 million people (both there and abroad), its countless infotainment programs and newspapers' commentaries.

I don't need to make further description, of course, as I know that almost all of you -- if not ALL -- are very aware of the Miss Universe pre-competition interview incident. I would, however, like to share my five cents here.

First, English is not our mother tongue, so arguably the idea of a non-English speaking Miss Indonesia is acceptable.

Yes, I did write "arguably", because, as a friend said, being a young, modern, URBAN girl, Nadine should've been familiar with the language. It's everywhere, from the Hollywood movies to chicklits to blogs. Heck, she must've been singing and memorizing American popular song lyrics too! Sadly, like to many Indonesians, all these don't automatically guarantee her fluency in English.

Which is why her biggest mistake would be trying too hard to speak in English, while she could've used an interpreter's service. Minor grammatical errors here and there are forgivable, but she completely reversed the actual meaning of the sentences. Not to mention referring Indonesia as "a big city"! No wonder it takes the dilligence of an ant to explain about Indonesia to American people -- even an Indonesian native can't tell a "country" from a "city"!

Second, the esssential issue here is actually the way Miss Indonesia delivers her views about things that really matter to her. Yes, Nadine did tell that she wants to work to fight against children's poverty, discrimination of women, etc. So she dreams of working with UNICEF -- which somehow makes me curious whether Angeline Jolie had inspired her. Who knows, probably the next thing we see is she adopting an unfortunate toddler from a poor family in Menteng Pulo, hehehe... Well, apart from the noble aspiration itself, I am a bit disturbed that she hasn't been... er.. quite articulate in elaborating (if you could call it "elaborate" anyway) her answers. And what was it about those gigglings and stuff??? Yeah, we can understand that she might have been nervous, but at least she could try to look SERIOUS.

Truthfully, after Indira Sudiro (who happened to be our first Putri Indonesia, if I'm not mistaken), I couldn't see a really qualified Miss Indonesia - not even our beloved MP Angelina Sondakh. OK, make an exception to -- you may not agree with me, but I think she IS intelligent -- Alya Rohali. Come to think of it, if you notice, the Jakarta's Nones seem waaaaaaaaaayyyyyy more qualified. Alya was certainly an Abnon alumnus, as well as some other beautiful-smart women we know like Vivi Aleyda Yahya, and so on. By the way, when I say "qualified", it refers to the supposedly "Brain-Beauty-Behavior" principle of Misses Universe. One may contend that the brain factor has never really been considered in this pageant competition, but I always find the Misses World and Universe are generally smart women, especially those from India.

But Putri Indonesia... sheesh.. A friend advised that the recruitment process for the candidates has been messed up since the very beginning. In my opinion, it's not messed up. It's deliberately arranged that way, based on a very economical, pragmatical thinking. You see, a Putri Indonesia should sign a contract to be a spokesperson for the sponsor company for -- CMIIW -- a year. The company doesn't need a smart women to model their products; they just need a beautiful lady. Yes, of course they'll have to invest some money in the pageant license etc., but the publication they get from doing the event surely exceeds their expenses, hehehe...

There's another thing. I googled Nadine's name and found some interesting things. Her "official" biography stated that she speaks fluent Indonesian, English, and German. We already know about her English. Given her half-German background, one may assume that she speaks German like a native. Well, another site says that she "had done some courses in the Goethe Institute".

Hehehe.. can we sue the company for a public deception? *winks*

Zidane edyaaaannn...!!! (posting tanpa jaim)

Saya sebut posting tanpa jaim karena sekali ini saya enggak akan berusaha menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Pokoknya apa yang terpikir, itu yang saya tuliskan.

Saya pernah bilang bahwa saya bukan penggemar sepakbola sejati. Tapi Piala Dunia boleh beda dong. Biarpun saya tetap tidak mengerti kenapa 22 pria dengan badan oke dan pantat menggemaskan (karena kencang tentunya!) harus berlari ke sana kemari mengejar sebuah bola - untuk kemudian ditendang kembali! - saya merasa sayang kalau harus melewatkan perhelatan akbar yang hanya 4 tahun sekali ini. Dan sebagaimana semua bukan penggemar di seluruh dunia, yang wajib ditonton tentunya adalah babak FINALnya.

Dan begitulah, saya menjagokan tim Les Bleus, semata-mata karena saya - terus terang - menyangsikan tim Italia, atau setidaknya menganggap masuknya mereka ke babak final semata-mata karena faktor keberuntungan. Toh saya juga sempat terpikir: bagus juga kalau Italia tampil sebagai perebut Piala Dunia 2006. Selain rasanya sudah lama sekali saya tidak mendengar tentang kedigdayaan tim Italia (kita gak bicara soal kualitas personal pemainnya ya, yang mungkin gak diragukan lagi, tapi Italia sebagai TIM), saya juga sempat sebel sama Perancis karena mengalahkan Brazil, tim favorit saya.

Lantaran keponakan tercinta langsung memilih Italia (saya curiga alasannya karena penampilan para pemain Italia yang cenderung lebih fashionable, hehehe..) saya pun "mendukung" Perancis. Cukup seru loh, dukungan saya, pakai teriak-teriak segala tiap kali Perancis nyaris menambah angka setelah kedudukan 1-1 stagnan selama kedua babak utama dan masuk babak tambahan 15 menit. Maklumlah, namanya juga penonton sepakbola 4-tahunan :p. Italia ternyata cukup ofensif, dan kok pandangan awam saya melihat Perancis agak-agak kewalahan, walaupun tetap bisa menahan Italia.

Lalu terjadilah insiden itu, hanya beberapa menit sebelum babak tambahan kedua berakhir. Yap, disaksikan kira-kira 3 miliar penduduk dunia (gak tau deh bener enggaknya, tapi saya yakin perkiraan ini cukup mendekati angka aktualnya, hahaha..), Zidane menubrukkan kepalanya ke dada Materazzi, dan dihadiahi kartu merah oleh wasit. Jujur saja, saya kaget melihatnya, tapi lebih kaget lagi setelah dia benar-benar harus keluar gelanggang. Zinedine Zidane? ZIDANE???? Oh nooooo.... not Zidane! Duh, langsung sakit perut saya.

Sepanjang hampir 120 menit saya dengan tegang memperhatikan berbagai gerak tendangan dan guliran dan entah apalah jurus-jurus yang dipakai para pesepak bola ini. Dan saya jatuh cinta pada Zidane yang berhasil menampilkan gaya kalem, yang digila-gilai wanita pada umumnya.

[Oya, OOT nih.. para pria, ketahuilah, kaum perempuan bisa jatuh bangun pada lelaki-lelaki yang tergolong CCB alias Cuek-Cuek Bangsat. The bad boys yang suka tampak acuh karena pede banget. Karena itu, walaupun dalam hati agak-agak self conscious dengan penampilan sendiri, berpura-puralah dan BERSIKAPLAH bahwa kalian sudah pantas masuk daftar The 50 Most Beautiful People. Bukan dengan keganjenan ya, tapi justru dengan gaya cuek itu. Mengumbar soal bagaimana kalian dikejar-kejar para wanita, atau bagaimana kalian sangat berhasil di kantor, biasanya hanya bikin eneg. Percayalah!]

Oke, kembali ke Zidane. Gaya bermain dan berperilakunya pada final ini (karena saya kan enggak melihat pertandingan-pertandingan sebelumnya) mendorong saya memasukkan dia sebagai salah satu pria CCB juga, bukan sekedar Cuek-Cuek Bangsat, tapi Cool-Cool Berwibawa. Para pria boleh mencemooh, tapi bukan saya sendiri loh yang berpandangan begitu! Kesimpulan yang rada ngawur dan emang tergeneralisasi ini saya ambil dari hasil conference via Yahoo Messenger maupun SMS dengan kawan-kawan wanita di berbagai penjuru dunia, hehehhe...

Karena itulah saya sedih dan kecewa dengan peristiwa Materazzi itu. Saya gak tahu persis apa yang mendorong Zidane melakukannya, saya sih cuma melihat Materazzi menekan dada Zidane. Rasa-rasanya kalau sekedar itu, Zidane gak akan naik darah. Tapi entahlah. Ada juga yang curiga bahwa Matterazzi membisikkan sesuatu yang membuat Zidane kehilangan kendali. Apapun masalahnya, pemain sekelas Zidane menurut saya gak selaiknya cepat terpancing.

Sebenarnya kalau dipikir-pikir lagi (edan! Ngapain juga dipikirin ya?), keluarnya Zidane gak terlalu berpengaruh pada hasil akhir pertandingan. Toh kedudukan tetap 1-1, dan justru melencengnya tendangan Trezeguet yang menentukan kemenangan Italia. Namun barangkali dampaknya terletak pada menurunnya spirit para pemain Perancis setelah motor tim mereka harus keluar. Terus terang, saya juga sebenarnya pengen nangis Bombay melihat Zidane keluar lapangan dengan kepala tertunduk. Tapi ya rasanya malu aja sama keponakan, mosok rek soal itu aja harus meraung-raung, lah wong saya ikut taruhan juga enggak kok.

Huhuhu... Zidane, Zidane... Saya memang tetap cinta kamu kok, tapi sayang sekali, pertandingan farewellmu ini ditandai dengan hal yang tidak enak blas. Sayang, sayang.

Tambahan:
Eh, ternyata Zizou tetap dinobatkan sebagai pemain terbaik versi FIFA. Horeeeeeeeee...!!!! Mwah mwah untuk Zizou!

Pemandangan Terindah

Teman saya duduk di bangku semen. Orang-orang lalu lalang di depannya.

Rambutnya kusut. Raut dan matanya kelelahan.

Anak-anaknya berlari mendekatinya sambil menyerukan panggilan mereka. Cesia, si bungsu yang cantik berumur dua tahun, langsung melingkarkan lengan-lengannya yang mungil ke leher ayahnya. Rama yang baru masuk TK ribut bercerita (tapi entah tentang apa).
Ibu mereka mendorong kereta Cesia dengan ekspresi khawatir, mungkin takut akan menerima ledakan amarah suaminya.

Sudah sejam lebih kami terpisah di antara kerumunan manusia yang bergegas pulang usai menyaksikan perayaan kembang api Hari Kemerdekaan negara ini. Sejam yang mencemaskan. Melelahkan.

Makhluk-makhluk ini memang seolah tidak kehabisan energi dengan bermain sendiri untuk mengusir kejenuhan mereka. Tapi pekikan gembira mereka ketika bertemu ayahnya kembali menyadarkan saya bahwa mereka sempat merasa kehilangan orang tercinta mereka itu.

Dan pemandangan itu, dua insan mungil yang bergayut di tubuh teman saya, teman saya memeluk mereka erat-erat dengan kelegaan meluap, menjadi salah satu pemandangan terindah yang pernah saya lihat.