Dalam rentang usia belasan

Gara-gara beberapa waktu lalu saya bercerita kepada bapak ini mengenai lirik lagu seorang penyanyi remaja di masa saya, ehm, remaja juga, saya tergugah untuk menuliskannya kembali di blog saya. Selain karena semangat nostalgia kejayaan era itu, juga karena kata-kata dalam lagu ini yang menggelitik. Kebetulan dulu saya penggemar penyanyi yang membawakannya, Debbie Gibson, yang juga sang pencipta lagu. (Untunglah saya tidak terseret dalam arus gerakan mengumpulkan topi yang menjadi ciri khasnya!). Tapi tentunya waktu itu saya tidak begitu memahami makna lagu ini, dan akhir-akhir ini saja, setelah saya menyanyikannya kembali, saya baru tersadar bahwa lagu tersebut benar-benar menggambarkan karakter cinta remaja (Hushah! Cinta remaja! Aduhh...) yang impulsif dan mungkin patetik.

If I were an only child
I would be a lonely child
but baby we've got nothing to lose
I'm standing tall in my own shoes
I'll take this chance
I'll make this choice
I'll right this wrong
I'll raise my voice
if it means
We'll be together
for a while

I have never had a doubt
But for you I'll take time out
I'll push his love far away from me
and then I'll be completely free
I'll give up my security
for just the possibility
that we could be together
for a while

If you said "Jump!" I'd say "How high?"
If you said "Run!" I'd run and fly
Just for the chance
Just for the moment
Should the moment pass us by
and if you ask once I'll tell you twice
I'll ignore the world's advice
if we could be together
for a while

I am taken by your strength
I've thought about it at great length
I thought that I was happy now
but there are things that I found out
Happiness means greater things
I'll sit here 'til that telephone rings
then we could be together
for a while

Wait'll I tell my guy (wait'll I tell)
Wait'll I tell my other friends
They'll all think I'm crazy-
and ya know what?
That depends...
'cause I'm crazy in love
with you
and everyone's best won't do
They'll say my hopes
will not come true
But I'm taking the chance
Because you only live once-
Only live once (only live once)

There are no guarantees
but if it means
there's even a possibility
then I'll give up whatever it takes
I know I've made some mistakes before
It may be just another closed door
But we could be together
for a while

(We Could Be Together - Debbie Gibson)



Setelah bertahun-tahun melewati masa itu, saya kini bisa tersenyum-senyum membaca syair di atas, dan mengingat-ingat dengan geli diri saya sendiri pada usia belasan tahun. Dengan segala rasa tidak percaya diri, ingin bergabung dengan kelompok populer tapi takut tidak diterima (dan tidak bisa mengikuti gaya hidup mereka), menulis buku harian berlembar-lembar mengenai pria muda tertentu sembari berdebar-debar tiap melewati rumahnya, hahahah... Tak pelak lagi, ketertarikan pada lawan jenis dengan segala kompleksitasnya adalah salah satu penanda keremajaan.

Kompleksitas. Remaja.

Beberapa tahun yang lalu, majalah Femina memuat kisah mengenai dua orang remaja Amerika yang bunuh diri karena merasa hubungan mereka ditentang orang tua masing-masing. Peristiwa Romeo dan Juliet abad 20 itu sempat menimbulkan polemik, khususnya mengenai peran keluarga (khususnya barangkali metode membesarkan anak) dan sistem pendidikan AS yang dinilai kurang memberikan bimbingan bagi remaja dalam mengantar mereka ke masa dewasa. Kalau saya tidak salah ingat, sang remaja perempuan kebetulan berasal dari keluarga yang kurang harmonis, dan ia mencoba mencari "pegangan" pada hubungannya dengan kekasihnya. Sang remaja pria sebenarnya memiliki keluarga yang relatif stabil dengan peran ayah yang cukup dominan, sebagaimana biasanya pada keluarga imigran Meksiko di AS. Hubungan mereka yang menunjukkan interdependensi emosional yang terlalu kuat rupanya mengkhawatirkan orang tua masing-masing, yang kemudian mulai bernada keras terhadap hubungan itu.

Seingat saya, sebelum melakukan tindakan itu, mereka meninggalkan surat untuk keluarga mereka, yang kalau tidak salah isinya adalah mereka merasa tidak sanggup berpisah. Surat yang ditulis sang remaja pria, sekali lagi kalau saya tidak salah, menyiratkan rasa "kepahlawanan": ia merasa bertanggung jawab atas "hidup" dan "nasib" kekasihnya.

Ah. Kepahlawanan. Kemandirian. Kedewasaan. Versus: ketakutan. Bayang-bayang masa depan yang tidak seperti keinginannya. Benar-benar ciri khas remaja. Keingintahuan. Dan ketergesaan.

Saya kira hampir semua orang sependapat bahwa masa remaja adalah masa kritis, masa kita mencoba memahami diri sendiri, mendapati bahwa dunia ternyata lebih rumit dari yang kita perkirakan sebelumnya dan merasa bahwa tuntutan atas kita seperti tahu-tahu datang bertubi-tubi. Kita seolah-olah keluar dari rumah kaca yang selama ini melindungi kita. Kita merasa gamang, tapi kita tidak mau mengakuinya dan kita malah mencari afirmasi dari pihak-pihak lain mengenai kedewasaan kita dan kemampuan kita memecahkan masalah. Dan perkembangan tubuh kita sangat mempengaruhi kadar emosi kita, sehingga kita cenderung menanggapi segala sesuatu secara berlebihan.

Saya tidak sedang menggeneralisir. Memang, tidak semua remaja seperti itu. Banyak di antaranya yang relatif matang mendahului usianya: entah karena pengalaman, situasi, atau bahkan pengajaran. Namun saya rasa kita tidak bisa memungkiri bahwa sedikit banyak ciri-ciri di atas masih akan kita temukan pada orang-orang muda usia ini, meskipun mungkin dalam kadar yang lebih sedikit.

Kita yang telah melalui tahap itu dengan selamat kerap lalai untuk memperhatikan mereka yang sedang berada di dalamnya. Dengan berlalunya waktu, kita justru menirukan (hampir) mentah-mentah sikap yang dulu membuat kita - sebagai remaja- menjauhi orang-orang yang lebih tua, yang semestinya bisa menjadi sumber pengetahuan mereka mengenai bagaimana menjalani masa transisi ini dengan sebaik-baiknya. Mungkin kita, tanpa sadar, mengeluarkan kata-kata yang menggurui, menuduh, atau malah menganggap enteng. Berapa kali kita, misalnya, menjawab: "Alah, yang begini saja kamu pikirin. Nanti juga beres!", sementara yang sedang kita hadapi adalah wajah yang cemas karena merasa poninya terlalu pendek. Yah, kita bisa saja merasa geli sekaligus jengkel karena mereka mengambil waktu kita yang sempit untuk hal-hal yang "kecil", tapi kita lupa bahwa kita juga pernah melihat hal-hal remeh itu sebagai sesuatu yang "besar". Dan sebelum kita sadar, segalanya sudah terlambat.

Padahal barangkali dengan menelusuri kembali apa yang pernah kita rasakan, dan bersikap terbuka terhadap mereka, kita akan bisa mencegah perginya jiwa-jiwa belia secara sia-sia. Sayangnya, kita terlalu sibuk dengan diri kita sendiri.

Catatan:

Musik video lagu di atas akhirnya saya temukan juga, dan sengaja saya pasang karena semangat, lagi-lagi, nostalgia masa kejayaan dan kenajongan, hehehe... Ya ampun! Perhatikan kostum dan geraknya. Quite unbelievable that it was considered cool at that time!

About Process...

I found a picture of your smiling face
Bringing old memories that I had locked away
The burden of anger from a heart filled with pain
Was finally lifted and I smile at you again

If time is a healer
Then all hearts that break
Are put back together again
'Cause love heals the wound it makes

I spoke such harsh words before goodbye
Well I wanted to hurt you for the tears you made
(You made me cry)
All my hopes and dreams, well they started vanishing
Those tender hurt feelings became a dangerous thing

If time is a healer
Then all hearts that break
Are put back together again
'Cause love heals the wound it makes

All of the years we spent together
Well they're part of my life forever
I hold the joy with the pain
And the truth is I miss you, my friend

Well, time is a healer
Then all hearts that break
Are put back together again
'Cause love heals the wound it makes

(Time is A Healer - Eva Cassidy)

Healing may feel like a hundred year process. In the painful stage, you might do foolish things, say stupid words, which you will most probably regret later. But you learn a lot of valuable lessons during the journey, and in the end it will bring about the most precious gift: a stronger you, and hopefully a better and wiser you. When the day comes, you may look back and feel grateful, or even honored, that you have to take the rough path before you arrive at your final destination. Because, otherwise, you may not be able to appreciate what you get at last.

Indikator ekonomi: kesurupan?

Membaca situs dan mendengarkan program berita lewat streaming hari ini membuat saya terpingkal-pingkal sendiri. Rupanya terjadi beberapa peristiwa kesurupan, khususnya di Jawa Timur (apa di Surabaya ya? Kota kecintaan saya itu). Ada yang menimpa sejumlah murid sekolah, ada yang melanda para buruh pabrik besar, atau di tempat lain. Mungkin, saya tidak ingat. Disinyalir, katanya, karena di sekitar lokasi kejadian terdapat pemain-pemain kuda lumping.

Wah, saya tidak tahu apakah kesurupan seperti medan magnet: melanda suatu wilayah atau radius tertentu. Walaupun untuk kasus ini, katanya lagi, diduga karena para korban sedang "kosong", sehingga rupanya gampang dipenuhi roh-roh tak dikenal.

Saya bayangkan, hal-hal seperti ini bisa menyebabkan investor berpikir beberapa kali untuk menanamkan modal usaha di Indonesia. Sudah peraturan investasi agak berbelit dan memakan biaya gara-gara otonomi daerah, alam demokrasi membuat serikat pekerja lebih kuat dan banyak tuntutan (walaupun untuk yang ini sepertinya tak akan bisa dielakkan di manapun. Manusia kan aset perusahaan!), sekarang ditambah lagi fenomena kesurupan. Bayangkan saja bila proses produksi sedang tinggi-tingginya di siang hari, dengan kejaran target yang terus meningkat, tahu-tahu terpaksa dihentikan beberapa saat karena beberapa pekerjanya... kesurupan.

Bisa jadi setelah ini faktor-faktor tidak kasat mata harus dimasukkan dalam pertimbangan kegiatan ekonomi. Daya beli masyarakat, tingkat pertumbuhan domestik kotor, tingkat pendapatan per kapita, sampai tingkat stabilitas pemerintahan. Dan kini... apa ya? Frekuensi interaksi dengan dunia metafisik? Tapi bagaimana menghitungnya, ya?

Omong-omong, boleh juga alasan kesurupan ini untuk menghindari tugas, hehehe...

Destined to be Men Loser???

Catching up with a cyber-friend, whom I haven't heard from in a long time, is usually refreshing. Sometimes, it's even amusing, like the one I just had. I put below only the piece that's particulary hilarious.

muraliksmenon: why u r not getting married?
lenje: i havent found the right man
muraliksmenon: every man u find you lose!!!!
muraliksmenon: yyyyyyyyyyyyyyy??
lenje: *ROTFL* (note: I swear I was actually laughing my butt out at this point!)
lenje: murali.. sorry for laughing
lenje: i'm not laughing at you, you know
lenje: it's just... you put it all correctly in one sentence.. and i find it so funny
muraliksmenon: ok..catch u later
lenje: thanks murali
muraliksmenon: give me a good news next time
lenje: hope everything goes well with you
lenje: hihihi... cross your finger, my friend
lenje: God bless you
muraliksmenon: Let GOD BLESS YOU TOO

What can I say more? Well, some people may not consider the situation depicted in the conversation above as something you can laugh about. You see, Murali and I rarely chatted, especially after he got married (he sent me the invitation to his wedding, without a return ticket!!!), and when we did, the same issue will appear: my love life. It sadly seems like our chat sessions were filled with an update of my current, er, ex-man. No wonder he somehow got the idea that I always lose men. So he brought our conversation to an end with a prayer for my good fortune with -- you guessed -- men.

As a matter of fact, I can't argue him! Don't worry, guys, I'm not complaining, for at the same time, the whole situation looks so funny to me (hm, now I understand the term "tragicomical", hehehe...). I think someone can develop a good movie script out of this. With lots of imagination, of course, hehehhe...

Kangen

Duh. Kangen sekali dengan perempuan satu itu.

Perempuan yang lahir satu setengah tahun setelah saya. (Bulan depan kamu jarig ya Sayang!). Perempuan semampai, lampai, berkulit terang, dengan mata besar dan daya tarik yang membuat para pria selalu meliriknya di manapun dia berada, bagaimanapun lusuhnya dia waktu itu.

Lima belas bulan yang lalu, dia mengantarkan saya ke pelabuhan udara. Kendati tahu kami akan berpisah lama, rasanya waktu itu tidak terpikir. Atau mungkin secara tidak sadar saya membuat benteng mental melawan kekosongan yang saya tahu akan segera mencekam batin saya. Saya ingat, sebelum memasuki pintu khusus penumpang, kami berpelukan lama. Lama. Barangkali saat itu menyentak dalam benak kami betapa akan jauhnya jarak yang membentang di antara kami. Betapa kami akan kehilangan saat-saat bersama.

Dia teman saya melepas kepenatan sepulang kerja masing-masing. Kepadanya saya menceritakan segala gulana saya, membagikan kebanggaan dan kegembiraan. Dengannya saya bertukar kisah mengenai kerumitan masalah keluarga besar kami, lengkap dengan berbagai rerasanan. Bersamanya saya tertawa: dia lucu!

Saya merasakan kesakitannya pada masa-masa berat yang dihadapinya dulu. Saya marah padanya karena perbedaan pandangan kami tentang soal itu. Saya mengaguminya karena ketabahan dan kekuatannya, sampai sekarang. Sampai sekarang.

Dan saya mencintainya. Sangat mencintainya. Dia perempuan hebat yang akan saya cintai sampai kapan pun.

Saya lihat foto kamu di situs pertemanan itu, Dik. Kamu tambah cantik, dan tambah kurus. Ah, saya tidak sadar, mata saya terasa panas berlama-lama melihatnya. Dan saya tahu, air mata saya sedang mengalir. Rasanya ingin saya terbang sekarang juga untuk menemuimu, menumpahkan kerinduan saya dalam rengkuhanmu yang hangat. Begitu banyak cerita yang ingin saya sampaikan kepadamu.

Cepatlah datang ke mari, Sayang. Atau tunggu saya di sana, jangan ke mana-mana dulu ya.

Subtle Abuse

An email to an awesome girl, who just dumped her so-called beau:

".... Being "single" after some time usually leaves you with an empty feeling (especially if the reason is because the relationship lacked something, not because he abused you! Oh, but.. ignoring us, hurting us over and over again by committing a series of unkept promises could be considered mental abuses, rite? hehehee...).

So hang on there, you have your own life, you have your friends who are no less than God's greatest gifts... what's not to be thankful for? Ain't life beautiful or what? And never should we spoil it with a jerk, who thinks that in a relationship everything should be on his own term -- and that we'd take it for granted!
"

Emotional, eh? Could be! But don't you agree that by constantly hurting your other half's feelings, saying "sorry/forgive me/etc." but doing it over and over again, ignoring him/her thus denying them their rights to be happy with you, you are actually mentally abusing them? How about hanging out with your ex while completely forgetting to drop even a single message to your current partner for days, and even weeks? And you still expect him/her to take it lightly, being bubbly and wishing you a great time, not questioning the non-existence of explanations?
It is unlikely that a normal human being will ever do, unless he/she is :

  • dumb or mentally disturbed
  • a heartless android (hm, perhaps people should start considering putting Data or Vicky "The Small Wonder" in their "potential perfect spouse" list)
  • an imaginary creature
  • having an affair (the unfavorable option, of course).

The wound in one's heart often takes longer time to heal than in one's hand. This said, it should not be any wonder that he/she starts ignoring you back or simply refuse to have anything to do with you ever again. By treating them like that, you grant them the right to.

I was in love with you
And gave my heart to you
I did my best to keep you satisfied
You took the love from me
And used it selfishly
You did not give back your
Love to me at all

I gave the sun to you
You said it was too bright
I gave you diamond rings
You said they didn’t shine
I gave my world to you
But you said it’s not enough
What in the world could I have done
To make you be so rough

'Till you do me right
I don’t even want to talk to you
I don’t even want to hear you speak my name
'Till you do me right
Only wrong is gonna come to you
Nothin’ good is gonna come 'till you change
Change your ways
Until you change your evil ways

Girl, I was there for you
Someone you could talk to
How could you just keep breakin’ my heart
What did I do to you
To make you be so cruel
I don’t understand why you’ve been so wrong

I tried to be your strength
You said I was too strong
I tried to compromise so
We could get along
I gave my love to you despite
Your evil ways
I guess it’s clear to me there’s only
One thing left to say

There’s a time when you know what you
Feel inside your heart
It’s tellin’ you that somethin’ feels strange
You don’t have to deny it
All you gotta do is just try it
You’ll find our love grows
Stronger if you’re willing to change


(Till You Do Me Right, After 7 - click here if you want to hear it)

And the Oscar goes to...

Finally, my favorite nominee won. "Crash". Despite all the buzz about "Brokeback Mountain", the fact is the most prestigious title the highly acclaimed and controversial flick could grab is for best direction -- kudos to Ang Lee. And how I like it when the winning movie isn't the one favored by most Hollywood residents, hehehe...

I'm a bit disappointed, though, that the Oscar for best leading actress went to Reese Witherspoon. Don't get me wrong, I love Reese: her talent, southern warmth, one-of-a-kind beauty, and her capability to keep the balance between her fame and family (seemingly). But both June Cash and Elle Wood (and perhaps her other roles, I don't know, I haven't seen most of them) have Reese's personal elements -- either in the way they talk, laugh, or even shake their heads. To me, Reese seems to transmit her soul to her work's subjects rather than ingesting them, being them. Felicity Huffman, on the other hand, was completely absorbed by her role. The inner emotion of the personality she plays in "Transamerica" is all over there in her gesture, her silent expression, her low voice.

All in all, again Oscar this year shows that no matter progressive the American society is, and how different Hollywood values are to the those of the rest of the mortals, some issues still can't be dealt comfortably -- and they include homosexuality and transsexuality. Now, now, could we say that we are a bit, er, more advanced that "Arisan" was claimed the best picture in FFI last year? (Or was it two years ago?)