Clash of the (Old Remained) Civilizations

Never, EVER, underestimate the Indians (as in Asia, not Native American!) Brotherhood! So far, they have managed to bring the less-talented Sanjaya to the next phase of American Idol. What can a system do when, like, almost a billion text messages supporting Sanjaya, flood it?

Now, if only a "Girl from Beijing" got a ticket to the singing contest, we'd definitely see a real competition.

Hmmm... the Hoaqiao vs the Ministry of Overseas Indian Affairs? :). Huntington, get your VIP seat, please :D

Add your two cents

I just found out that The Jakarta Post has activated a commenting system for its news. Cool!!!! This way, outsiders/foreigners can share their thoughts on Indonesia's affairs, and on the other hand get the opportunity to know Indonesians' actual view on their domestic issues. As far as I know, only Media Indonesia online and Tempo Interaktif that have the same thing -- and these two are only in Indonesian.

The Jakarta Post's commenting system will give an ample room for healthy discussions among different groups and views.. er.. hopefully, kekekkekekkekk.... knowing there are thousands of weirdos out there!

Mmm... maybe Antara can apply the same thing for its English version? Whew.

Nuts About Knut!

My heart melted the second I saw his white, furry face with black, round eyes on the tube. As I was in a hurry, I only had time to learn the whole news about him later in the internet. And boy, doesn't this baby have potential to split a nation!



To make the story short (I have a feeling this is no big news in Indonesia, hehehe...), Knut is polar bear cub abandoned by his mother, so he had to spend the first 44 days of his life in an incubator. He is now being taken care by a zoo keeper (in Berlin Zoo, that is), who practically lives with him 24/7, feeds him milk, plays with him and teaches him basic self-care any baby bear (or maybe any baby animal) should learn, and practically treats him like his own infant kid.


But this cutie has become a national sensation, not because of his "dramatic" life (if I'm not mistaken, animal newborns neglected by their parents are pretty common), but because his very existence is disputed. Some animal rights campaigners opined that the Berlin Zoo had made a mistake when they saved his life at the first place. Their main argument has been that intervention in an animal, particularly wild animal's life cycle will only harm the animal. One of them has angered many people when he said that the zoo should've killed Knut while he was just born. The zoo management, and those on their side, responded by emphasizing that it's one way to keep the polar bears' population from further extinction (note: Knut is the first cub born in the Berlin Zoo in the past 20 years).

Just observe this video and you can see why the baby captures many hearts (including mine!) and therefore stirs the current even more (it's in German, but you'll get the idea).



Strangely, no matter how deep I've fallen in love with Knut, I somehow understand the concern of those who think it's not wise to raise him like a, well, human being. I'm against "humanizing" animals -- so I'll never, for instance, dress my pets up and tuck them inside the house all day, unless for strong reasons, e.g. my neighbors get really uncomfortable with them around, hehehhee.... Polar bears are not domesticated animals, so it might not be the best decision to treat one like a pet -- let alone an offspring. When he grows up, Knut may get confused, and who knows, he might suffer a self-identity crisis!

Oh, but he's soooooo adorable :(.

Hmmmm....

... libur memang terasa paling nikmat ketika yang lain harus bekerja, hehehe..

Lebih Enak Menyalahkan Tetangga

Sebelumnya saya ingin menyampaikan belasungkawa yang sebesar-besarnya pada Mbak Nila Tanzil yang baru saja mengalami musibah beruntun. Terutama setelah kehilangan orang tercintanya dalam salah satu tragedi transportasi negeri ini. Saya yakin Mbak Nila saat ini pasti masih kewalahan memperoleh (dan menanggapi) ratusan ungkapan simpati, baik via telepon, sms, maupun melalui komentar di blognya. Karena itu juga saya memilih untuk mengucapkan turut berdukacita melalui halaman ini, sembari mendoa agar Mbak Nila dihiburkan oleh Yang Memiliki Semua Kehidupan.

Lepas dari ungkapan bodoh yang dilontarkan bapak Datuk Adnan Bodong (selanjutnya disebut Datuk Bodong) tentang blog dan blogger, sebenarnya saya prihatin bahwa kita, para blogger Indonesia, sibuk mengutuk dan mencela Datuk Bodong tapi lupa bahwa yang sesungguhnya membuat Nila kehilangan pekerjaannya adalah stasiun televisi yang menayangkan acara wisata itu.

Lupakan dulu Datuk Bodong yang saat ini mungkin perlu agak-agak dikasihani karena dia telah menjadi ikon kebodohan pejabat pemerintah (ya, ya, biarpun saya keparat pemerintah, saya dengan senang hati kok menuliskan ini!). Kritik terhadapnya tidak hanya berasal dari negara kita, tapi barangkali lebih banyak dari komunitas blog di negaranya, tempat para pemilihnya (seperti yang dikatakannya sendiri). Klarifikasi yang dibuatnya malah membuatnya tampak makin konyol.

Justru yang sebaiknya harus diwaspadai adalah kecenderungan swa-sensor media massa kita tanpa alasan yang cukup kuat, atau untuk sebenar-benarnya kepentingan rakyat (wah, gawat nih tata bahasa saya, kayak kalimat untuk undang-undang). Saya teringat polemik di sini beberapa waktu yang lalu. Administrasi Bush mengecam dimuatnya bocoran rencana pemerintah AS untuk menyadap jaringan telepon dan membuka akses bagi pemerintah ke rekening-rekening bank sebagai bagian dari kebijakan keamanan nasional. Meskipun wacana kebijakan itu telah lama diperdebatkan, namun rencana eksekusinya jelas menggegerkan. Tak heran Bush menjadi meradang dan menyebut koran-koran besar yang memuat berita tersebut (termasuk di dalamnya New York Times, Washington Post, dan LA Times) tidak memiliki kepekaan mengenai gentingnya masalah keamanan. Sebagai balasannya, editorial koran-koran ini seolah-seolah serempak menekankan pentingnya diseminasi informasi yang mempengaruhi kehidupan publik.

Maafkanlah saya seandainya pernyataan saya berikutnya mungkin terlalu optimistik dan tidak mencerminkan kondisi yang sebenarnya: saya pikir pers Indonesia dewasa ini memiliki keleluasaan yang jauh lebih besar. Sayang sekali bila keleluasaan tersebut tidak dimanfaatkan untuk menyampaikan hal-hal yang betul-betul penting diketahui publik (termasuk berita hiburan, hihihihi...), kecuali untuk isu-isu yang memang sifatnya classified dan diminta narasumber untuk "off the record".

Tapi kasus Nila Tanzil itu kelihatannya lebih merupakan inisiatif yang didasarkan pada ketakutan stasiun televisi yang bersangkutan, setelah adanya komentar negatif dari seorang pejabat negara tetangga. Bukan petinggi negeri kita sendiri yang sebenarnya lebih punya kewenangan untuk menghentikan operasi stasiun televisi itu.

Entah bila ada alasan-alasan lain, toh stasiun televisi tersebut tidak merasa perlu memberikan penjelasan resmi, hehehhee... Ironis sih, soalnya stasiun tivi ini kondang karena liputan beritanya dan anchor-nya yang dianggap cukup berani mengeluarkan pernyataan-pernyataan tajam. Yah, untung juga buat mereka, luput dari kemarahan para blogger Indonesia, hahahhaa...

Warna

Memang tidak semua orang, Dik, bisa melihat keelokan pelangi di samar kabut. Tidak semua mengerti bahwa warna-warni tidak muncul dari satu spektrum saja. Lebih sedikit lagi yang ingat bahwa pelangi muncul setelah hujan dan kita kerap harus menenggelamkan pandang di keluasan langit untuk mencarinya. Tapi yakinlah bahwa warnamu memancar sama indahnya, bahkan ketika dikaburkan oleh coretan tak bermakna.

Dan kau tahu bahwa kami cinta kau, Dik. Kami memahami jalan berbatu yang ingin kautempuh sendiri dan kami yakin kau akan melewatinya. Sementara itu, kau tahu di mana akan menemukan kami. Dengan lengan-lengan yang siap kaucengkeram untuk menahanmu dari jatuh.

Mr. Mistoffelees

Of all the characters of TS Elliot's Old Possum's Book of Practical Cats (later brought on to stage by Andrew Lloyd Webber, in"Cats!"), it's Mr. Mistoffelees aka Quaxo that really draws my attention. This character is the magician cat who brings back Old Deuteronomy - the Jellicle Cats' leader - after the wise cat is kidnapped by the villain Macavity.

Mr. Mistoffelees is described as a clever cat that often "deceives others into believing that he's only hunting for mice". Some picture him as a cheerful cat, some others as a quiet one. Those conflicting views on Mr. Mistoffelees, in my opinion, show Elliot's geniality in featuring the most important role in the story.

I'm glad that Andrew Lloyd Webber could see this, because that's how he projects the character in the musical: Mr. Mistoffelees moves a lot, many times doing very difficult spins (and therefore the role requires an excellent ballet dancer), but sings only a few parts. It is the figure that has been humbled in the earlier parts of the show and emerges to be the saviour of the feline community.

And after Old Deuteronomy is back with the Jellicles', what does Mr. Mistoffelees do? He doesn't claim his fame, he doesn't need press conference -- heck, he doesn't even ask for his order of the knights. He simply returns to the ordinary cat's life.

Because he understands that real power lies in modesty.

Somehow, my mind goes to this passage, about a woman revealing to her friend that: the biggest challenge in wearing a hijab is conquer the feeling of being the rightest of all. Hmmmm. If I were in an influential position, would I be able to resist the temptation of playing God?

Boss Selalu Benar

angger2xx: ntar ya.... gue mau step out dulu, sekretaris gue nih perlu dikontrol... kalo nggak dia chatting aja kerjaannya.

lenje: loh... sama kayak bossnya dong!

With or Without U...2 (I'd prefer With!)

In commemoration of U2's first hit album "The Joshua Tree", here it goes, With or Without You.


Tendaaaaaaangggggggggg!!!!!

Pop!

Namamu muncul di jendela cakap maya. Setelah berapa lama... seabad?

Aku ragu sejenak. Tapi kuputuskan untuk menyapamu dengan gaya pertukaran salam yang dulu selalu kita lakukan.

Tendaaaaaaaangggggggggg!!!!

Dan kamu menyambutnya. Aku sudah siap sebenarnya kalau terabaikan. Kita pun melanjutkan percakapan ini. Bagaimana kabarmu? Bagaimana kabar istrimu? Kamu sendiri bagaimana? Sudah menemukan pengganti Dasi Merah? (Sekali ini kamu menyebut julukannya dengan benar, tidak seperti dulu-dulu, yang kauganti seenakmu).

Ahahahhaha... kamu lebih kalem sekarang. Celaanmu tidak sefrontal dulu. Aku mengajukan dua hipotesis asal-asalan: 1) Kamu lebih bijaksana -- tampaknya TIDAK mungkin; 2) Kamu tidak mau calon bayimu "tertulah" (apa ya, padanan bahasa Indonesia yang pas untuk istilah itu?). Kamu, tentu saja, menegaskan yang pertama.

Tak lama, kamu pamit melanjutkan tugasmu. Dan kamu tulis begini:

"Take care yaaaaaaa... Aku tetap baca blogmu kok."

Kurang ajar kamu. Kamu bikin aku menangis saat itu. Tendaaaaaaaaaaanggggg!!!!!

Tidak Penting Lagi




Tidak penting lagi acara kontes menyanyi bodoh itu.

Saya cuma ingin menyudut, memeluk kaki. Merasakan rejaman pilu.

Ingin pulang. Padahal di sanapun belum tentu ada yang bisa saya lakukan.








Benteng

Ayah saya tersayang kadang-kadang bisa jadi orang paling norak di dunia, terutama kalau ada kaitannya dengan keluarga besar saya. Misalnya, dalam pertemuan keluarga yang sudah pasti diwarnai kegiatan menyanyi (jelas toh, kami kan orang Batak!), beliau berada di garda terdepan untuk memegang mike. Alasannya sih, harus ada yang mulai memeriahkan suasana. Padahal kami semua tahu bahwa begitu berada di tangannya, mike itu tidak akan berpindah sampai dengan tiga puluh menit berikutnya. Kalau sudah begitu adik perempuan saya akan keluar untuk merokok bersama para sepupu kami, saya beranjak ke belakang untuk memeriksa kudapan (tepatnya: mencicip), dan ibu saya -- hm, biasanya sih ibu saya bertahan di ruang tengah dan bercanda dengan tante-tante saya untuk menghilangkan rikuhnya.

Atau ketika saya tahu dari ibu saya bahwa ayah saya bercerita kepada oom-oom saya kalau saya sedang bertugas ke negara anu. Juga ketika kami baru tiba di negara ini, dia menelepon seorang amanguda (paklik) untuk melaporkan bahwa kami telah sampai dengan selamat :p. Pada saat-saat seperti itu, kadang-kadang saya cuma bisa melet ke ayah saya (saya memang anak kurang ajar) atau menggerutu ke ibu saya.

Di pihak lain, ayah saya juga selalu prihatin kalau sesuatu mengancam keutuhan (ciehhh..!!!) keluarga besar. Begitu ada tanda-tanda pertikaian serius antar anggota keluarga besar, ayah saya pasti berusaha turun tangan mendamaikan. Saya kerap memprotes hal tersebut, soalnya buat saya sama saja dengan campur tangan, dan belum tentu dihargai yang sedang bersengketa. Berdasarkan pengalaman, kadang-kadang malah sang calon penerima Nobel Perdamaian ini yang berakhir jadi musuh bersama, hehehehe... Ayah saya tentu berkeras bahwa -- sekali lagi -- harus ada yang memulai inisiatif itu.

Buat ayah saya, keluarga memang segala-galanya. Beliau percaya, reputasi kekompakan keluarga besar kami bisa dipertahankan, karena seluruh anggotanya punya komitmen untuk mempertahankan reputasi itu. Beliau lupa, keluarga besar kami menjadi lebih besar secara kuantitatif justru karena banyaknya tambahan dari luar: para istri (termasuk emaq), para menantu, para cucu-mantu, dengan kepentingannya sendiri-sendiri. Barangkali bagi generasi yang lebih muda pun reputasi demikian tidak terlalu bermanfaat, kecuali untuk acara adat. Kendati sebagian besar anggota keluarga berada di Jakarta, kesibukan dan ketidaknyamanan berkendara menyebabkan frekuensi pertemuan berkurang secara signifikan, sampai tersisa hari Natal/Tahun Baru atau upacara pernikahan sebagai kesempatan kumpul-kumpul. Ada juga sih arisan bulanan keluarga, tapi kok saya melihatnya sebagai akomodasi keinginan para orang tua. Justru di sini muncul pertanyaan yang entah kenapa memenuhi kepala saya sepanjang akhir pekan.

Sebagaimana biasa, keponakan saya yang cantik dan sangat pragmatis (beda tipislah dari tantenya) menjadi tumpahan unek-unek saya. Dan untuk isu ini, dia teman diskusi yang pasti asik, sebab terlepas dari sikap pragmatisnya, dia punya pandangan yang adat-compliant dan memutuskan untuk memilih suami dari suku kami. Soal pilihan calon suami semata-mata karena dia tahu hal tersebut akan menyenangkan orang tuanya, dan dia tidak melihat kesulitan menyelaraskan keinginan orang tua dengan keinginannya sendiri. Itu bisa dimengerti. Tapi ketika saya bertanya padanya kenapa menurutnya adat harus dipertahankan, dia sulit menjawab. Kepragmatisannya muncul dalam tanggapan, "Barangkali karena aku dibesarkan dengan pemikiran demikian, Ju. Lagipula tidak ada salahnya kan?"

Saya tersenyum dan membalas kalimatnya, "Ompungmu pernah bilang ke Aju, salah satu keuntungan kita aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial, terutama adat, waktu kita meninggal ada yang menguburkan."

"Hahahaha... dan yang pasti sih, ketika kita mengadakan suatu hajat, orang-orang akan datang memenuhi undangan kita."

"Tapi kalau kita sudah meninggal, apa yang terjadi pada badan kita itu kan tidak penting lagi buat kita? Lah wong kita sudah tidak bisa merasakan kok."

"Hahahah... memang kepentingannya bukan buat yang bersangkutan, Ju. Aku malah curiga jangan-jangan untuk mempertahankan pemasukan."

"Ah, yang benar? Buat prestis saja kali!"

"Loh, Ju, memangnya Aju pikir selama ini tetua-tetua adat itu tidak dibayar untuk melakukan tugasnya? Jadi selama acara-acara adat dipertahankan, pemasukan tetap jalan kan."

"Aku kok tidak yakin...."

Keponakan saya memotong, "Memang motif utamanya mungkin bukan uang, karena mereka toh tidak menetapkan tarif. Aku rasa pada dasarnya mereka senang kumpul-kumpul, dan acara adat buat mereka barangkali semacam pelipur kerinduan pada kampung halaman. Tapi karena rupanya banyak yang minta tolong, hal ini jadi menyita waktu mereka. Akhirnya sekalian saja mereka melakukan itu penuh waktu. Yang butuh jasa mereka ya maklum, dan akhirnya dianggap saja mereka melakukan itu sebagai pekerjaan. Dan pekerjaan perlu dibayar kan?"

"Hehehhee... mustinya mereka dirikan saja Lembaga Konsultasi Adat Tapanuli Utara atau apa kek semacam itu. Lebih keren kan bunyinya?"

"Iya, tapi kalau diresmikan seperti itu kan nantinya harus bayar pajak pendapatan, hehehe..."

"Loh, itu kan lembaga nirlaba!... ceritanya..."

Meskipun sekarang saya cenderung tidak mempedulikan masalah adat, dan bersyukur karena bisa memberikan alasan kenapa tidak harus melibatkan diri dalam acara-acara adat (pekerjaan menuntut pindah-pindah tempat :p), saya juga tidak berkata dengan tegas bahwa saya bakal seperti ini terus. Terlepas dari unsur materi yang disebutkan keponakan saya itu, saya pikir karena pada dasarnya adat sebagai produk budaya merupakan respon nenek moyang kita terhadap tantangan alam -- sikap yang diturunkan sampai generasi sekarang -- maka buat sebagian kalangan adat menjadi semacam pegangan bersikap. Tidak heran ketika diekspos pada adat atau kebiasaan lain, yang kemudian ditafsirkan sebagai bentuk ancaman, reaksi yang muncul kerap defensif. Buat saya, hal tersebut sekali lagi membuktikan bahwa -- disadari atau tidak, diakui atau tidak -- manusia masih bertindak sesuai naluri purbanya, meski mungkin dalam bentuk yang lebih canggih.

Sebab itu saya tidak merasa perlu mensakralkan adat atau budaya, juga tidak melihat gunanya menentang atau menganggap adat sebagai kebiasaan kuno yang tidak sesuai dengan tuntutan jaman. Tiap orang toh berhak untuk menentukan sendiri cara yang ia pakai untuk mempertahankan diri, sepanjang tidak merugikan orang lain.

Perempuan Asertif dan Laki-laki Penyabar

Potongan percakapan siang hari antara seorang perempuan dan seorang laki-laki.

“Eh aku mau crita, sibuk ga? Lagi bisa trima tilpun ga?”

“Iya iya bisa, crita ajaa…”

“Serius gpp niii, soalnya mau crita ga penting ni, gpp trima tilpun?”

“Iyaa gpp, ada apa?”

“Hmmph… iya ini si, aku cuma mau crita aja, eh tapi ini ga penting lho.., kamu gpp???"

“Iyaaaaaaaaaa... Ga pa paaaaaaaa....”

"Iya gini…Lately I've been thinking about what I want to do in life…”

“Trus…”

“Trus I feel this is not what I want to do in life… I mean like yesterday, si jurnalis CNN itu aja bilang it took him almost a year to realize what I want in life… so how about it is [sic] happened to me now.. maybe it also took me years to realize what I want to do in life…”

“Jadi kamu mau...???”

“Aku mau coba sesuatu… you know all my friends said that I am [sic] not belong here, they encourage me to try something like tv industry, PR…”

“Kamu mau apa?”

“Aku mau jadi penulissssss…. Aku mau punya kolom sendiri di majalah, aku mau bisa nulis sesuatu tentang apapun, dari sudut pandang aku.”

“So… go for it.”

“Iyaaaa, tapi gimana… ga tau caranyaaa…”

“Yah, kalau kamu mau bisa, tapi aku ga yakin..”

“Ga yakin kenapa? Emang menurut kamu aku cocoknya jadi apa???”

“Ya kamu maunya jadi apa? I will support you…”

“Yah menurut kamu aku cocok jadi apaaa??? Kan kamu tau aku seperti apaaaaaa!!” *mulai histeris*

“Yah ga tau yah, dari pertama aku kenal kamu kan kamu sudah jadi seperti sekarang, dan aku rasa sebenarnya kamu cocok kok sama kerjaan kamu, lagipula kan kamu yang bilang sendiri, kamu sudah punya rencana ini itu, kalau kamu pindah sekarang, mungkin segala rencana kamu ga akan tercapai… Maksud aku dengan kerjaan kamu yang sekarang itu kan cukup bagus dilihat dari segi materi…”

“Kan ga ada hubungannya sama materiii..”

“Yah, kan kamu yang mengukur sesuatu dengan materi… nanti gimana kalau kamu ga bisa beli ini itu?”

“Yah kan kadang-kadang hidup itu ga selalu harus dinilai dari materi… I just don’t want to end up old and never get the chances to do what I really want to do in life… you know, I want to do something… I am afraid when someday I realize it, then I am already old and never get the chances…”

“Yah gini aja yah, apapun yang mau kamu lakuin, aku selalu dukung kamu kok, kalau aku bisa, aku buka jalannya buat kamu.”

“Iya… buka jalan maksudnya gimana? Kamu bisa bantuin aku apaaa???”

“Ya iya, nanti kita omongin lagi aja yah kalo ketemu...” *sudah mulai merasa terteror jiwa dan raga*

“Hmmph…”

“Pokoknya I will support you, I will always be on your back kok.”

Laki-laki yang penyabar memang suka bikin perempuan asertif tidak sabar. Dan kalimat yang ditebalkan dan dibesarkan ukurannya memang escape clause andalan untuk mencegah bahaya diskusi berkepanjangan, yang ujung-ujungnya dapat membuat laki-laki penyabar merasa tersudutkan dan tak berdaya. Tapi terkadang perempuan asertif sudah mencium gelagat tersebut, dan dengan lihainya meneruskan percakapan.

Omong-omong, perempuan asertif ini bukan saya. Kebetulan perempuan asertif dan saya... er.. Berbagi Mantan Pacar. Laki-laki penyabar adalah, ehm, Mantan Pacar. Penggalan dialog di atas -- yang berasal dari blog perempuan asertif -- dimuat di blog ini dengan seijin yang bersangkutan. Omong-omong lagi, saya juga bukan orang yang terlalu sabar, sehingga laki-laki penyabar pasti merasa mengalami deja vu ketika bersama saya, hehehhee... Salahnya sendiri, selalu terjebak pada perempuan bertipe sama :).

O iya, sekalian saya ingin mengucapkan:

K, welcome back!