Sir Coy and I.. Inseparable

We must've been match-made in heaven, because despite all the troubles we've been through (or rather: all the troubles HE made me into), we eventually stay together.

Sir Coy (read: Choy), my ten year old, ugly looking Plymouth Grand Voyager, was missing from the parking lot when I was just about to go to office. At first I thought I had gone to the wrong section. Then after spending half an hour searching through the lot, frantic calls to the towing company, and heart beating faster than a drunken Schumacher, I gave up and let the security people survey the area. About an hour later they called me to confirm that it was INDEED missing. I was already a bit calm and therefore could file a report to the police quite articulately.


That was on Friday. Saturday morning, the police from the neighbor county phoned me to inform that Sir Coy had been found. I had thought that it would take longer before they finally locate him. Impressive. And has become a source of speculation among my friends. Sir Coy's less than attractive physique, and his diplomatic tag, should've been a turn off to most car thieves (police will identify him in a second). None of us could think of a logical explanation of his temporary disappearance.

Anyway, how he found his way home isn't the most important thing. It's the fact that we are finally together that makes me think that -- whether we like it or not -- we are each other's destiny. Since the beginning of my owning him, he'd cost me some repairs at the sum which, I figure, has exceeded his actual value. That's the way it goes with old cars, American old cars, to be exact. Two times his engine just stopped, one time I drove recklessly I hit the road block, and several other minor things, all in a short span of two years.

Maybe I'm a freak. Maybe because he's my very first own car. But his imperfection, his scars, his making me almost broke with the constant visits to the garage (and the beloved Mr. Lee, practically our "family doctor") are probably also the reasons that strengthen our bond. Like the most vulnerable child in the family, he demands my full-time attention, yet I love him deeply. I know that I'll be saddened when I have to say goodbye to him next year as my assignment is concluded.

And I'm glad that we still have eleven months of togetherness. What can I say? He completes me :).

:((

Sometimes things as simple as a plate of Indomie goreng and a sunny side can be the best consolation for a crying soul.

Sheesh.. I've been longing to visit this place....

Iklan, "Iklan" dan Kode Etis

Walaupun koresponden media massa nasional sudah tidak banyak lagi di sini, tapi keagresifan kantor Karen Hughes membawa jurnalis Indonesia ke negara ini membuat saya banyak memperoleh teman baru. Yang paling seru buat saya sih ketemu dengan teman-teman dari penerbit daerah yang kadang-kadang namanya pun baru saya dengar. Dan memperoleh cerita mengenai bagaimana mereka berjuang untuk bertahan di tengah arus kompetisi, tidak saja dari sesama media beroplah DAN bermodal kecil, tapi juga nama-nama raksasa yang sudah lama mapan. Saya tidak tahu apakah sesudah mereka kembali ke kota asal mereka, koran mereka masih ada, hehehehe.. moga-moga sih!

Mulai melantur deh saya, seperti biasa. Padahal aslinya saya cuma ingin memberi komentar setelah obrolan tentang sekelompok jurnalis dari beberapa stasiun televisi dan majalah berita yang ikut dengan rombongan salah satu partai besar, waktu melakukan kunjungan ke kota saya. Diikutsertakannya jurnalis ke dalam delegasi bukan hal baru, terutama untuk kunjungan pejabat tinggi negara.

Tapi terus terang pembiayaan jurnalis untuk meliput dilakukan oleh satu partai tertentu baru saya lihat sekarang. Meskipun saya tahu bahwa petinggi partai itu memang dikenal lancar dengan uang, super pemurah dalam memberi tip, sehingga tentu tidak segan-segan mengucurkan dana untuk mempublikasikan kegiatan partainya.

Begitu percayanya orang partainya dengan kemampuan uang, sehingga sempat membuat naik darah koresponden kantor berita kita waktu mengusulkan, "Segera ke sini tanggal sekian ya mbak, buat wawancara si Bapak. Semua kita biayain deh!". Teman saya yang kecil-lincah-kocak dan biasanya penyabar itu memutuskan untuk tidak menghubungi sang orang partai karena sebal, hehehehe...

Si orang partai tidak salah juga. Dia (mungkin) hanya bermaksud mengganti waktu dan biaya yang terbuang, karena teman saya tentunya punya tugas peliputan lain. Cuma caranya itu loh. Apalagi karena partainya memborong wartawan dari beberapa media massa besar, kesan yang ditangkap seolah-olah daya tarik dan reputasi (baik) bisa dibeli. Eh, padahal memang iya ya? Hihihihi...

Di sini, media massa punya kekuatan sangat besar dan mereka berusaha memegang teguh kode etik. Kantor saya pernah punya program mengirim wartawan setempat ke Indonesia untuk meliput tempat-tempat wisata. Surat proposal kami memperoleh balasan negatif, karena mereka tidak mau menerima uang dari lembaga pemerintah. Setiap orang, instansi, perusahaan, dipersilakan mengirim informasi mengenai satu kegiatan, dan terserah mereka apakah akan diliput atau tidak. Sekiranya kami berkeinginan daerah wisata di Indonesia diperkenalkan ke pembaca mereka, mereka menyarankan kami menulis artikel tentang itu.

Bahkan teman-teman Indonesia yang bekerja untuk kantor berita pemerintah di sini juga berkeras untuk membayar kopinya sendiri ketika kami keluar bersama-sama. Padahal acara jalan bersama itu benar-benar dalam kapasitas pertemanan, bukan pekerjaan. Soalnya kalau ketahuan mereka bisa dipecat.

Barangkali memang kode etis tidak perlu diterjemahkan sekaku itu :). Juga pembiayaan perjalanan luar negeri bagi wartawan untuk meliput kegiatan satu partai mungkin bisa disamakan dengan iklan. Toh perusahaan-perusahaan swasta juga melakukan hal serupa ketika meluncurkan produknya: mengundang wartawan dan memberikan "kenang-kenangan". Hanya saya tetap susah menyamakan satu partai -- yang notabene isunya adalah isu sosial politik -- dengan perusahaan komersial. Kecuali kalau partai-partai di negara kita memang bisa dianggap perusahaan komersial. Paling sedikit dari titik pemikiran di mana aktif di partai menjadi sumber penghasilan hidup. Dan sebenarnya tidak salah juga kalau aktor politik beriklan. Lah, kampanye-kampanye kandidasi jabatan tinggi dari pihak yang berbeda-beda kan menggunakan media massa.

Hanya saja saya jadi bertanya-tanya apakah keikutsertaan dalam rombongan satu partai tertentu, dibiayai oleh partai itu, bisa mempengaruhi pemberitaan berimbang tentang partai tersebut, hehehe... Yah, saya memang tidak percaya pada obyektifitas penuh, termasuk obyektifitas jurnalistik. Namun saya merasa ketidakobyektifan berdasar keterikatan emosional atau ideologis tidak bisa disejajarkan dengan yang berdasar, er, pemasukan.

Menarik juga, bahwa salah satu stasiun televisi yang dibiayai ke mari adalah yang juga menonaktifkan presenter acara pariwisatanya setelah yang bersangkutan menulis tentang perlakuan kurang menyenangkan pemerintah negara tetangga. Tentunya, pemerintah negara tetangga itu membiayai kegiatan peliputan pariwisata negaranya dong :D.

Sepatu Kaca Bukan Dari Cinderella

Waktu tanpa sengaja melihat iklan yang memunculkan Madonna mengenakan sepatu dengan sol dan hak stilleto tembus pandang, saya menyadari bahwa sekarang sepatu kaca lebih sering saya asosiasikan dengan penari telanjang dan model sampul Penthouse dibandingkan dengan Cinderella.

Pada kali pertama dan terakhir saya menyaksikan pertunjukan striptease, saya menemukan bahwa hampir semua stripper yang tampil malam itu memakai sepatu sejenis: bertali tipis dengan stilleto atau platform yang semuanya tembus pandang. Dan setelah beberapa lama, saya baru tahu kalau busana kaki serupa juga (hampir selalu) menghiasi kaki jenjang para model media "dewasa".

Kenapa ya? Apa memang sepatu seperti itu kelihatan lebih seksi dan mengundang? Atau karena seolah-olah menyimbolkan busana yang transparan? Atau karena mereka membayangkan Cinderella yang seksi, seorang perempuan dengan kecantikan fisik tapi juga memiliki karakter submisif? (Aslinya kan si Upik Abu).

Bagaimana ya kalau pria-pria juga diminta memakai sepatu tembus pandang? Apa mereka akan kelihatan lebih seksi di mata perempuan (rasanya kok tidak juga, hehehe...) atau pria gay?