Dear Lord: Thanks for a Great Mom... and Everything Else.

I have a lot of things to be grateful for. I've set my foot on this faraway land, and am doing a job that I love. In terms of companionship, I've made new friends in real life and on the internet (faceless but heartful ones!) -- and still keep in contact with my buddies back home and overseas, as well as found long-lost mates thanks to -- again -- the information technology. It's not that I am that fully satisfied with my life, but hey... who ever is? Then again, despite those little flaws here and there, I can declare myself somewhat content.

This year, in particular, as Thanksgiving Day falls on the same day with my mom's birthday, I find no better reason to send my thankfulness prayer.


Dear Lord Almighty,

Allow me, on this particular day, to extend my thankfulness to You, the Greatest Creator and my loving Father, for everything that You've bestowed on me.

Thank You, especially, for laying me on the hands of a beautiful, caring mother, whose life started this date, 58 years ago.

I know, being a sinful person, who usually says a prayer three times a day ONLY before gulping down my meals, I should not expect anything but just give in to whatever You have planned for me and my future.

But, if I may, Lord, please kindly grant me blessings for my mother on this day:

a lifelong happiness that she truly deserves,
enduring strength coming from You only,
faith and hopes,
health of course,
and - if possible, and if it fits Your plans for her - realization of her dreams

I do know, Lord, that You love her more than all of us do. And I rest assured that You will give her what is best for her. I thank You for that.

Amen.


Happy Thanksgiving, everyone.

Happy birthday, Mom. And please update your blog! *big grin*

Malam Takbiran

Saya bukan muslim, tapi hidup di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam membuat saya akrab dengan berbagai simbol dan ritual keislaman, sama seperti teman-teman non-muslim lain di Indonesia. Mungkin itu juga sebabnya, berada ribuan kilometer dari lingkungan yang telah saya kenal lebih dari 30 tahun, yang karakteristik penduduknya berbeda dari tempat saya lahir-besar-bergaul-dan sebagainya, saya jadi merindukan suasana yang telah melekat dengan keseharian saya. Termasuk bulan puasa dan malam takbiran.

Saya ingat, waktu masih kecil dulu, malam takbiran adalah saat yang saya tunggu-tunggu bersama teman-teman. Kala itu saya tinggal di kompleks perumahan instansi tempat ayah saya bekerja, dan menjelang malam kami mulai bergerombol di depan pagar kompleks menanti arak-arakan takbir lewat. Kami akan ikut bersorak dan berseru "Allahu Akbar!" bersama dengan rombongan takbir, dan menikmati bunyi bedug bertalu-talu. Kemudian kami menanti rombongan berikutnya. Begitu seterusnya. Barangkali kurangnya ragam hiburan di kota kecil itu membuat keramaian apapun menjadi sarana kami berekreasi dan menikmati hidup.

Melihat rombongan takbir lewat diselingi juga dengan menyalakan kembang-kembang api (bukan petasan!), untuk kemudian kami selipkan atau lemparkan ke pucuk pohon-pohon cemara yang banyak menghiasi lapangan rumput luas di tengah-tengah kompleks.

Menjelang tengah malam kami kembali ke rumah masing-masing untuk menonton operette Lebaran yang (hampir selalu) disiapkan Titik Puspa dan Papikonya. Saya tidak ingat lagi seperti apa jalan cerita dari operette tahunan itu, tapi kenangannya selalu menghangatkan hati saya.

Beranjak dewasa, tidak terlalu banyak lagi malam takbiran yang memberikan kesan yang sama menyenangkannya. Namun saya ingat waktu saya harus menjalani program KKN di sebuah desa di kecamatan Nguling, Pasuruan, beberapa tahun lampau, persis bulan puasa. Penduduk desa itu seratus persen PPP. Seratus persen PPP di bawah rejim Suharto, waktu Golkar masih menjadi mesin pemerintah dan kedua partai lainnya jadi penghias belaka. Bagaimana rasanya sebagai non-muslim di lingkungan itu? Menyenangkan. Ibu kost saya (kami menyebut tuan rumah kami sebagai bapak dan ibu kost) selalu menyediakan makanan untuk saya, tiga kali sehari. Di bulan puasa. Modin desa (selalu disapa "Pak Haji" dengan rasa hormat oleh penduduk lainnya) berulang kali mengungkapkan rasa senangnya melihat perawakan saya yang "segar". Saya hanya cengar-cengir setiap bertemu beliau, tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Kalau di kota, perkataan itu saya anggap sebagai sindiran atas kesuburan badan saya. Di desa itu, tampaknya harus saya terima sebagai pujian dan kekaguman. Terima kasih! Tabik, Pak Haji!

Dan yang paling tidak saya lupakan adalah waktu sahur. Entah kenapa para pemuda desa itu suka iseng memanggil-manggil nama saya lewat mikrofon mesjid sembari membangunkan teman-temannya untuk memulai ibadah puasa hari itu. Tadinya saya tidak tahu, wong saya tukang tidur. Kena bantal langsung pulas. Setelah kawan-kawan saya menyampaikan hal itu ke saya, saya malah terbangun tiap jam tiga pagi, dan mendengar nama saya disuarakan ke seluruh penjuru desa. Alamak!

Hal-hal seperti inilah yang kerap saya ceritakan pada orang-orang Amerika ketika mereka mempersoalkan masalah kerukunan agama di Indonesia. Dalam hati saya mengeluh karena suasana toleransi dan kebersamaan yang pernah saya nikmati di masa-masa dulu seolah-olah lenyap. Entah karena saya makin dewasa dan makin kritis menilai keadaan, atau karena memang kebersamaan itu sudah pupus. Saya jadi menolak untuk mengingat-ingat apa yang saya saksikan beberapa tahun terakhir: konflik, kerusuhan, pemboman, penolakan. Kalau mungkin, ada mesin waktu yang dapat mengembalikan situasi damai itu ke masa sekarang. Ah, mimpi.

Biting the bullet

It's amazing how a blank line could make you feel like someone's punching on your stomach.
Questions pop up in my mind, but I prefer to bite the bullet.