Secarik Kertas Lusuh

"Si Papa ada, Mam?" tanya saya, membayangkan ayah saya sudah mondar-mandir di sekitar ibu saya, menunggu gilirannya untuk berbicara.

"Lagi ketemuan sama teman-temannya. Mama sih lagi malas keluar, biar dia saja."

"Hehehhe... makanya tumben mama kok ngobrolnya gak buru-buru."

"Lah memang. Nak, ingat gak, kamu kan pernah menulis di blogmu tentang Papa?"

"Hm.. iya. Terus?"

"Entri yang itu diprint adikmu, dan diberikan ke Papa. Ya ampun, sampai lecek kertasnya dibawa sama Papa ke mana-mana. Bolak-balik dia tanya ke Mama, 'Mam, sudah baca tulisan si Lenje yang ini?', dan diperlihatkan lagi ke Mama. Padahal entah sudah berapa puluh kali Mama baca, ya gara-gara si Papa ngeyel mau menunjukkan ke Mama."

Hati saya mencelos mendengarnya. Esoknya saya langsung menelepon oknum yang membawa secarik kertas lusuh bertuliskan satu entri blog saya. Sedikitpun beliau tidak menyinggung soal secarik kertas lusuh itu :), malah dengan semangat bercerita tentang, yah, tentang hal-hal yang biasa diceritakannya kalau sedang ngobrol dengan saya: kritik pedas terhadap pemerintah (tidak termasuk kantor anaknya, hahahha...), harga-harga yang semakin meningkat, gosip keluarga besar, rencana saya sekembali ke tanah air, keluarga adik saya, dan anjing-anjing di rumah yang katanya semakin lucu saja walaupun merusak sofa. Tidak selalu dalam urutan seperti itu, tapi porsi kritikan biasanya yang paling besar *nyengir*.

Soal kertas yang sudah lusuh karena terlalu sering dilipat dan dibuka untuk ditunjukkan ke ibu saya (dan saya curiga pada yang lain juga, entah siapa. Aduh!), saya anggap saja itu akibat kepelupaan beliau -- menurun ke saya! Salah satu cerita favorit saya adalah mengenai ayah saya yang begitu khawatir karena merasa semakin pelupa, sehingga beliau membeli suplemen yang mengandung ginkgo biloba yang konon dapat memacu kerja otak dan mencegah "lupa ingatan". Yang terjadi kemudian: ayah saya lupa minum suplemennya...

Waduh, saya ngerasani beliau panjang lebar begini bukan sekedar karena kangen berat. Saya juga sekalian bermaksud mengucapkan selamat ulang tahun ke pria paling ganteng di dunia ini. Menitipkan doa yang selalu saya lafazkan agar beliau diberi kebahagiaan dan ketenangan, dan agar jangan terlalu memikirkan anak sulungnya yang melajang. Ya kan kira-kira sembilan bulan lagi beliau sudah akan dapat menggendong cucu pertamanya (dari adik saya dong, mosok dari saya). Amin, amin, amin.

Signed, sealed with a kiss, delivered.

Indonebia Yang Membuat Hari Ceria

Para anggota milis ApaKabar atau Mediacare pasti tidak asing dengan nama Indonebia: si pemilik pseudoidentitas yang gemar menuliskan hal-hal provokatif dan ide-ide kontroversial, mulai dari mendorong lebih banyak orang Arab menghamili orang Indonesia (eh, tentunya melalui jalur pernikahan dong, baik yang legal secara hukum negara maupun mutah) sampai dengan terang-terangan memuji-muji tindak kekerasan FPI.

Ketika pertama kali membaca tulisannya, saya mengerutkan kening dan berpikir: orang bodoh dari mana ini. Jujur saja, sempat panas juga, dan bermaksud menulis tanggapan yang pedas. Hal serupa melanda banyak pembaca lain juga, rupanya, menilai dari panjangnya thread atas entrinya, yang sebagian besar mengecamnya.

Tapi lama-lama tulisan Indonebia yang mengaku pendukung PKS nomor satu ini justru membuat saya geli, dan bahkan bertanya-tanya apakah si penulis justru bermaksud mendiskreditkan kelompok radikal dengan cara seperti itu. Apalagi ketika Indonebia dan penulis kontroversial lainnya (seperti Nyonya Muslim Muskitawati) mulai berbalas ejekan, yang buat saya oh sangat menghibur sekali. Dulu ketika saya sedang membutuhkan pelepas kepenatan, saya akan mencari entri terbaru Indonebia.

(Omong-omong, sudah lama saya tidak menengok kedua milis. Kedua pemain masih adakah? Topik apa yang sekarang sedang hangat?)

Beberapa waktu lalu iseng-iseng saya mencari nama Indonebia di jalur maya, menca ri tahu apakah yang bersangkutan punya blog. Sudah pasti dong ada, di sini dan di sini. Seperti di milis, isi blognya juga selalu berhasil membuat saya terbahak-bahak.

Oya, meskipun kadang-kadang terbersit juga keingintahuan, saya tidak pernah berniat repot-repot menyelidiki siapa sosok di balik nama Indonebia seperti yang dilakukan oleh Muhamad Sulhanudin (baca cerita lengkap hasil penyidikannya di sini ). Saya cuma butuh hiburan kok :).

Yayaya... American Idol Again!

I had intended to write this much earlier, the second Jordin was crowned the American Idol of 2007. But of course I decided to delay it, as it would be a spoiler (though many may have got the news from text messages/internet/messengers/buzzes).

I'm not going to rewrite the whole news, we've all had enough of it. Only a few notes.

One, most memorable moments from the finale -- for me -- were Jordin and Blake kissing each other's cheeks at the end of their duet "When I Saw Her Standing There", and Blake kissing Jordin's palm when Ryan Seacrest was about to announce the winner. Those who watched the finale, did you see how Blake often splashed adoring glances to Jordin? Despite their age AND height gap, he might've been having a crush on her, hehehe... that's cute, I think :D. In the Washington Post's review's words: a strong chemistry. Well, well, you know what people say about chemistry between two sexes, right?

Second, right after Melinda was voted off the competition, message billboards and blogs were full of people's disappointment and anger, and many threatened not to watch the final show. Guess what: they actually did -- resulted in the lowest rating of an AI finale in the past few years. Despite the 74 million messages claimed by the show producer, apparently watchers only reached around 30 millions, or a 19% decline from last year's.

This surely poses a serious dilemma to Fox. On one hand, they have to address the disappointment over Melinda's failure, which had seemingly affected the show's rating. But on the other hand it also reflected (theoretically, at least) the viewers' choices -- especially the young crowds, a very potential market target. At this point I have no idea how they're going to do that -- a trick?

Well, it's for them to figure out :D. Meanwhile, I'm sharing with you the video clip featuring the killer duet mentioned above. Cute, cute, cute :D.


The Pattaya Effect





Hm... if the surgeons could do something to the crotch and other related organs, flattening my stomach and "rightsizing" my thighs should be a piece of cake :D.

(Picture courtesy of Sony Witjacksono)

Three to the Top

So now, there are three: Blake, Melinda, Jordin (in alphabetical order).

Of course, I'm talking about the American Idol. What else?

As I'm convinced that the devoted fans of the show have watched -- or are watching? -- the last episode featuring the top three, I'd like to spare my two cents. (If I'm not mistaken, the Indonesian viewers now can watch AI a day after the original one is aired in the US. Good then!). If you think this particular post is gonna be a spoiler, pass it.

I love Jordin. Like always. She's so refreshing. She's not a typical 17 year olds, appearence-wise and vocal wise. She's very, VERY talented. I've loved her since day one, and been hoping that she'll make it to the top. So far, only once did she disappoint me, when she tried to be a rock chick for the Bon Jovi's session. Horrible hairdo. Must've taken advice from Sanjaya :p. Last night, though, she's taken me.

Blake has also been one of my favorites, and I'm glad that he got this far. He dares to be different. There were times when he seemed to be desperately trying the popular path (how else will you explain the beatbox that sometimes feel "maksa banget sih"?), but in the end he always gets his grip. Anyway, I may get snorts from the music industry experts/practicioners for saying this: I think he sounds so European. Looking at the songs he picked, he might've realized that at the first place. One more thing: his decision to dye his hair black can't be more right. Cuter than ever, babe!

Now, Melinda. Contrary to the judges' praises, I don't really like her performance last night. I think she was off pitch at times, and quite notable in - unfortunately - I Believe in You and Me. For this whole AI season, she's been flawless. And yet, I find her getting boring. Yes, boring, not bored. This time, perfection is blah.

My gut tells me this is going to be an all girl final. Say goodbye to Blake... and be prepared to welcome him again when he releases his first album :). He's marketable! Melinda might get the title this year, but I'm sure it's Jordin who we'll hear more in the coming years.

Update:

Although I'd vote for Jordin anytime, and I do like Blake, never would've I thought it was MELINDA, yes, MELINDA who had to fly home. It shocked me as much as other Melinda's fans. Check out message boards and blogs, and you'll find the many people who vow they'll never watch AI again. Some even threaten to boycott the show (how?). Whew. I had the same feeling when Delon got the ticket to Indodol finale a few years ago. I was snapped back to the reality that it IS a popularity contest, and the best, most talented ones are often overlooked by the crowd judging merely from what pleases their WHOLE five senses.

Show business is a mean business. And whether you'll admit it or not, it IS a discriminatory, patrilineal, business. Dessy Fitri, an extremely gifted singer, for instance, never made it big like Krisdayanti. On the other hand, Ramona Purba had had his time of fame, albeit a short one.

Tiga Belas

Entah kenapa, angka 13 bisa betul-betul menunjukkan kesialan buat republik tersayang. Sembilan tahun lalu, tanggal 13 bulan ini, terjadi salah satu tragedi terlaknat dalam sejarahnya. Sembilan tahun berlalu, masih belum ada jawaban siapa pelaku utamanya (walau calon-calon tersangkanya sudah menjadi pembahasan umum). Apalagi hukuman.

Ironis, waktu belahan dunia yang saya tempati sekarang merayakan Hari Ibu, sekian ratus calon ibu kita kehilangan kehormatan mereka. Ah, saya salah. Tepatnya: kehilangan kemanusiaan mereka. Karena mereka tetap terhormat.

Capek saya jadi keparat. Dengan berjuta pertanyaan memalu-malu benak. Dan tanggapan mengambang yang kadang disampaikan melambat menghindar. Karena saya juga tidak tahu jawabannya, dan tidak bisa mengerti kenapa.

Bukan keadilan buta. Bukan pembalasan dendam. Tapi menyelesaikan satu halaman secara tuntas sebelum membuka lembar berikutnya. Supaya buku bisa ditutup dengan keikhlasan.

The Most Eligible Bachelor

As this lady has pointed out: he has an "angelic" face (devilish heart doesn't count), is extremely smart and so wealthy he's practically bought this country off.



And he's single too :). Line up, ladies! (Sorry, gays, as far as I know, he's into women only).

By the way, above is his picture several years back (like, er, twenty years). He has a bit more wrinkles and spots now. You all, however, should not worry too much. Once you observe his bank account, you won't give a damn about his physical appearance!

Orang-orang Gelap

Seorang kenalan baru saya kemarin bercerita bahwa suaminya mencemaskan kegiatannya membantu beberapa imigran gelap asal Indonesia. Dia kerap menyupiri mereka untuk macam-macam keperluan, termasuk ke dokter. "Mereka malah dapat pengobatan gratis loh, padahal kita saja harus bayar mahal untuk asuransi," komentarnya. "Suami saya kuatir hal ini bisa satu saat jadi masalah buat kami. Padahal kami kan sama-sama orang asing di sini." Suaminya kebetulan warga negara Perancis.

"Ah, tapi itu belum apa-apa," lanjutnya. "Tahu tidak, mbak, di sini ada orang yang membuat rumahnya menjadi tempat tinggal para imigran gelap. Lengkap dengan dapur, kamar mandi, dan lain-lain. Pendeknya seperti apartemenlah. Dia juga menyalurkan mereka ke berbagai tempat yang butuh tenaga, jaringannya luas. Mereka yang ingin pindah tempat kerja, bahkan pindah ke negara bagian lain, tinggal hubungi dia. Tapi beberapa waktu lalu tempatnya digerebek."

Modus lama, walaupun cerita ini baru saya dengar.

Saya tidak tahu persis angka pekerja migran gelap asal Indonesia di AS. Perkiraan kasar kantor kami sih jumlah total masyarakat Indonesia yang bermukim di AS sekitar 80 ribu orang, 75 persennya tidak punya ijin tinggal dan bekerja yang sah, atau sudah lewat batas waktu (overstay). Silakan hitung sendiri.

Motivasi ekonomi jelas mendominasi kelompok ini, walaupun dengan cara berbeda-beda. Paling umum adalah datang dengan visa turis, kemudian mencari kerja apa saja. Kalau tidak ada razia atau masalah, mereka dengan tenang meneruskan aktivitas mereka. Namun ketika muncul indikasi masalah, atau mereka ingin memperoleh pekerjaan lebih baik yang mensyaratkan dokumen-dokumen yang sah, usaha yang paling sering dilakukan adalah meminta suaka.

Di sini letak dilemanya. Di satu pihak, kantor menyesalkan pengajuan suaka teman-teman ini, karena sama saja dengan mengabarkan bahwa di negara kita ada konflik hebat yang menyebabkan mereka harus mencari perlindungan di negara lain. Di pihak lain, kami mengerti bahwa tindakan mereka didasari tidak lain mencari penghidupan yang lebih layak. Buktinya? Acara-acara untuk masyarakat yang diselenggarakan KBRI dan KJRI-KJRI, khususnya perayaan kemerdekaan, pasti dipenuhi masyarakat. Maklum, ini kan kesempatan berkumpul dan makan enak cuma-cuma. Dan tiap tahun pasti ada wajah-wajah baru, hehehe.. Belum lagi acara-acara lain yang diselenggarakan kelompok-kelompok masyarakat. Padahal asumsinya kan kalau mereka memang pelarian politik pasti mereka menolak datang ke kantor-kantor perwakilan pemerintah Indonesia. Walau memang ada juga sih yang berada di sini murni karena masalah politik. Pak Christianto Wibisono, misalnya, atau beberapa teman asal Maluku yang lari ke mari karena konflik di Ambon.

Justru karena sudah memahami pola demikian, sejak 2001 sangat jarang permintaan suaka pemohon asal Indonesia yang diloloskan oleh pemerintah AS. Tapi proses pengajuannya pun sudah merupakan grace period bagi sang pemohon, karena antara waktu pengajuan sampai pengadilan dan keluarnya putusan pengadilan bisa berlangsung setahun. Cukup memberikan ruang bergerak bagi pemohon, sebab dalam jangka waktu tersebut pemohon diijinkan tinggal. Kalau ingin tahu lebih banyak mengenai proses ini, silakan cari dan baca tulisan-tulisan Lia Suntoso yang relevan.

Beberapa bulan lalu, lewat telepon seorang Indonesia di Ohio meminta saya membantu pacarnya dalam proses permintaan visa ke AS. Seperti banyak orang lain, dia keliru mengira bahwa kantor saya atau kantor pusat di Jakarta punya kemampuan atau wewenang mempengaruhi pemberian visa dari negara lain. Setelah bercakap sekian lama di telepon, dia mengakui bahwa ia sendiri sedang mengajukan permintaan suaka. Tujuannya ya seperti sudah saya sebutkan tadi: memperoleh ijin tinggal dan kerja yang sah tanpa batas waktu.

"Ya bagaimana, bu, di Indonesia kan kita susah cari makan," kilahnya. "Saya sih bukan mau menjelek-jelekkan negara sendiri. Habis saya tidak bisa melihat jalan lain. Teman-teman bilang juga ini cara yang paling cepat dan efektif." Tentu saja. Tidak semua orang punya dana memadai di bank sebagai jaminan, dan tidak semua perusahaan (apalagi usaha kecil) mau repot-repot mensponsori.

Kalau lagi iseng, coba baca forum di Kaskus pada topik imigrasi ke AS, atau bekerja di AS, atau tinggal di AS. Isinya pasti serupa, bahkan banyak yang menawarkan trik-trik mengelabui hakim dan petugas imigrasi, heheheh...

Kantor saya juga suka didesak melakukan sesuatu untuk mengupayakan "pemutihan" kasus overstay, atau membantu mencarikan jalan pengubahan visa: dari visa turis (B2) ke visa bekerja sementara (H2-B). Biasanya kalau ada yang melontarkan hal tersebut ke saya, saya mesem-mesem dan menyarankan agar yang bersangkutan mencarikan alamat Hogwarts School. Lah wong untuk satu orang saja belum tentu bisa dilakukan, apalagi untuk 60 ribuan orang.

Seandainya gagasan Bush diterima Kongres, barangkali bisa jadi jalan keluar. Bush telah mencanangkan program pemberian ijin bekerja sementara selama 3 tahun (temporary work permit) kepada para imigran gelap, termasuk yang berasal Indonesia, yang dapat membuktikan bahwa mereka telah memiliki pekerjaan. Lebih jauh lagi, Bush telah menggagaskan peraturan yang nantinya akan memberikan kesempatan kepada para imigran ini untuk menjadi penduduk tetap, bahkan warga negara AS.

Ide Bush itu tampaknya masih kecil kemungkinan diwujudkan dalam waktu dekat. Tentangan tidak saja datang dari kelompok-kelompok yang mengkhawatirkan dampaknya pada keselamatan negara, karena banjir pendatang, tapi juga dari sejumlah kalangan kulit hitam, yang menganggap bahwa lahan kerja kelompok kulit hitam yang selama ini sudah terdesak para pekerja ilegal dari negara-negara Hispanik maupun Asia akan makin menciut.

Karena itu, ya, para pekerja gelap dari Indonesia saat ini, mau tidak mau, harus puas dengan bekerja tanpa asuransi dan fasilitas lain, main kucing-kucingan dengan petugas imigrasi, dan bergerombol di KBRI pada hari perayaan kemerdekaan untuk makan enak. Saya hanya ingin menyarankan mereka agar jangan percaya pada orang-orang yang mengaku-aku bisa menguruskan dokumen tinggal yang sah asal membayar jumlah tertentu (ingat kasus Hans Gouw?). Juga, walaupun kedengarannya pengajuan permintaan suaka bisa jadi jalan keluar sementara, tapi biaya yang harus dikeluarkan untuk pengacara imigrasi juga tidak main-main. Ada loh, pengacara imigrasi -- khususnya di wilayah California, lokasi favorit masyarakat Indonesia -- yang sampai bisa punya rumah di daerah elite. Jangan-jangan penghasilannya sebanding dengan pengacara kasus cerai artis-artis Hollywood, hehehe...

Gegegegege...geGURU!

Saya pasti tergolong murid durhaka, karena saya sudah lupa nama-nama hampir semua guru saya, bahkan nama dosen saya! Memang ada sih yang sosoknya masih melintas di benak saya, seperti Bu Henny, kepala sekolah TK saya dulu. Aneh juga, saya kok malah tak ingat guru kelas saya sendiri ya. (Mungkin karena dulu konon, cerita ibu saya, saya kerap tertidur di kelas kalau sudah bosan berat).

Guru lain yang memiliki kesan khusus bagi saya adalah guru matematika saya waktu SMA, Pak Heru. Tak semata karena perilakunya yang eksentrik, seperti kadang membawa sepedanya masuk ruang guru (!), sesekali merokok di kelas, atau pernah muncul memakai celana pendek pada hari sekolah (!!), tapi juga karena beliau berusaha menerapkan metode CBSA, yang pada masa itu akronimnya pun belum dibuat. Beliau akan menyuruh kami membentuk kelompok-kelompok kecil dan mendiskusikan rumus atau subyek yang baru saja diberikannya. Waktu itu kami sempat terperangah dan saling memandang saling senyum kecil, berpikir: apa yang mau didiskusikan dari angka-angka? Hanya karena bagi murid-murid Indonesia (sekali lagi, waktu itu) perintah seorang guru praktis sama dengan titah dewa, dan argumen adalah barang langka, tentunya kami lakukan juga. Sambil sesekali tercekikik bergosip. Entah apa yang kemudian tertulis di lembar hasil diskusi yang dikumpulkan itu, hehehhe..

Nama bapak guru yang unik-sering membingungkan (namun buat saya pintar sekali menerangkan!) ini muncul kembali bertahun-tahun kemudian dalam percakapan saya dan dua orang rekan kantor sekarang -- seorang teman seangkatan, yang lain adik kelas. Kami sedang menuju tempat penyelenggaraan reuni SMA kami.

"Eh, ingat tidak Pak Heru, guru yang gila itu?" teman seangkatan saya menyerocos. "Dia pernah bla.. bla.. bla..."

"Iya. Pak Heru itu kan bapakku, mbak," adik kelas kami menyahut kalem.

"HAH???" "Yang benar?"

"Lah, namaku kan 'X', diambil dari nama hukum 'X'," lanjut adik kelas itu.

Ups. Untung saya tadi tidak menyambut celetuk teman saya dengan isu lain tentang Pak Heru. Teman seangkatan saya sempat salah tingkah sebelum menyambung, "Oh. Maaf ya. Tapi bapakmu memang gila."

Adik kelas kami cuma ketawa. Sudah terbiasa dia. Justru sekarang giliran saya yang salah tingkah.

[Hm, nanti saya akan kirim email ke si adik kelas ah, menanyakan kabar guru kami yang aneh itu. Moga-moga beliau masih ada.]

Di antara segelintir guru yang masih saya ingat (kan saya sudah bilang di atas tadi, saya tergolong murid durhaka), sepertinya dosen pembimbing skripsi sayalah yang meninggalkan kesan paling mendalam buat saya.

Sejak semester ketiga, ketika mata kuliah kekhususan mulai mendominasi Kartu Rencana Studi, nama beliau mulai santer dibahas. Tentunya dengan nada kuatir dan getir, karena beliau terkenal sulit, kaku, gemar mencecar mahasiswa, terutama yang terlihat sedang melamun atau mengantuk. Cerita-cerita seram dari para kakak tingkat menambah ketar-ketir. Hari pertama saya mengikuti kuliahnya, saya sudah memetakan posisi duduk strategis: deret kedua dari depan, dekat pintu. Deret paling belakang jelas berbahaya, karena justru area itulah yang biasanya diincar. Deret paling depan beresiko memperoleh label "anak alim" atau "anak rajin" -- sama kurang menguntungkannya. Sudah pas itu, deret kedua dari depan, dekat pintu.

Beberapa minggu setelah itu saya masih deg-degan mendengar suara langkah kakinya mendekati ruang kuliah. Tapi lama-lama toh saya terbiasa, dan saya justru menghargai ketegasan sikapnya, terutama setelah beliau menolak paper beberapa teman yang memang "bekerja sama" alias saling copy-paste paper (beliau teliti memeriksa paper-paper yang masuk!). Bukan saya mensyukuri kesialan teman-teman tersebut, tapi rasanya ya kurang adil toh buat yang lain, yang berkutat di perpustakaan sehari-harinya untuk membuat paper mingguan. Dari beliau juga saya pertama kali membuat paper dalam sehari sebagai ujian akhir semester. Di era pra-internet itu, topik paper yang diumumkan pukul 10 pagi untuk kemudian harus diserahkan selambatnya pukul 10 hari berikutnya membuat kami harus terbirit-birit memperebutkan sejumlah buku. (Sambil misuh-misuh, pastinya!). Bapak tercinta ini juga pelit toleransi waktu. Lewat 5 menit dari waktu yang ditetapkan, nilai dikurangi. Yang jelas sih saya tidak merasa perlu mandi dulu sebelum berangkat ke kampus -- mana sempat!

Saya dapat A untuk mata kuliahnya, hihihihi... (maaf, sekalian pamer).

Walaupun kemudian saya makin memahami apa yang diinginkan beliau, saya toh tidak (mau) mimpi bakal memperolehnya sebagai dosen pembimbing. Waduh. Menghadapinya di ruang kuliah bersama 20 mahasiswa lain jelas berbeda dengan berhadapan langsung. Tapi mau bagaimana lagi, sudah ditentukan begitu oleh kampus.

Dalam sesi bimbingan pertama, beliau lebih dulu meminta saya memberikan padanya data pribadi dan tiga kartu pos kosong berperangko. Kemudian baru membahas rencana penyusunan skripsi saya. Saya belakangan tahu tujuan kartu-kartu pos tersebut ketika saya mendapat telepon dari ayah saya yang saat itu bertugas di kota lain. Ayah saya memperoleh kartu pos dari dosen pembimbing saya; isinya menceritakan bahwa saya sekarang sudah dalam tahap pembuatan skripsi, beliau adalah dosen pembimbing saya, dan beliau minta agar ayah saya mendukung saya dalam proses penyusunan skripsi saya.

Ayah saya yang sangat terkesan dengan kartu pos itu memutuskan untuk pergi ke Surabaya dan bertemu langsung dengan dosen pembimbing saya, untuk mengucapkan terima kasih padanya. Kunjungan ayah saya juga tak disangka oleh bapak dosen pembimbing. Saya? Sebal dan menggerutu panjang lebar dalam hati, berpikir bapak saya terlalu membesar-besarkan masalah.

Kartu pos itu menjadi alat kontrol orang tua saya atas proses pengerjaan skripsi saya. Saya lama melalaikan skripsi karena asyik mengamen dengan paduan suara. Tahu-tahu saya ditelepon ayah, yang rupanya mendapat laporan (sudah pasti via kartu pos!) tentang skripsi saya yang belum beranjak dari bab pendahuluan. Haduh! Singkat kata, setelah kiriman tiga kartu pos (disertai telepon interlokal singkat hampir tiap malam), skripsi saya kelar juga.

Dosen pembimbing saya yang cukup nyentrik ini juga idealis. Dibandingkan dosen-dosen lain seangkatannya yang relatif mapan, beliau termasuk tertinggal, karena idealismenya juga. Beliau menolak mengajar sampingan di universitas swasta, karena khawatir bakal menelantarkan pekerjaan utamanya. Penghasilan tambahan yang tidak banyak itu paling-paling dari menulis artikel di koran, proyek penelitian, atau jadi pembicara seminar. Itupun dibatasi sendiri olehnya. Sampai skripsi saya selesai, perabot rumahnya masih minimalis dan pagarnya pun belum jadi :). Saya tidak tahu apakah karena itu rambut dan janggutnya sudah putih semua di usia akhir 30-an. Apapun itu, saya berterima kasih karena kesabarannya dulu atas saya -- walau kalau bicara tetap dengan kata-kata pedas dan satir :)). Sudah lama saya tak berkomunikasi dengannya; terakhir hanya menitipkan salam melalui Pak Ramlan.

Oya, nama dosen pembimbing itu: Djoko Sulistyo. Dan postingan ini saya dedikasikan untuk beliau, serta guru-guru saya yang lain yang sudah saya lupakan namanya.