Selamat Jalan, Cak Nur

Orang-orang hebat, Indonesia maupun asing, datang dan pergi. Dengan segala jasa dan kelebihan mereka.

Saya ingin secara khusus mengucapkan selamat jalan kepada Cak Nur, yang kata-katanya kerap memberikan kesejukan dan harapan di tengah derasnya arus prasangka dan kebencian, terutama pada kelompok-kelompok minoritas.

Guntur (yang kemungkinan besar tidak membaca posting ini), menulislah lagi. Kita semua masih sangat perlu wacana yang membuka pikiran, memperluas wawasan, mempererat keakraban, memupuk harmoni. Jangan disimpan di friendster saja.

Sungguh ironis, beliau pergi ketika amarah sedang membakar para saudara yang berbeda keyakinan...

Sedih. Saya sedih.

Huraay!!! He's back!

I felt the urge to ring him last night (yes, the overseas call), and apparently he was already home! I've been missing him badly, didn't have the chance to communicate for the past.. er.. several days, so I didn't really expect much -- and his return was a supersweet surprise. He then called me back and we spent almost an hour on the phone.

So we exchanged stories, jokes, laughters, and of course "I-miss-you"s and "I-love-you"s *blushes, blushes, lotsa smiles*. Sorry for those who are currently not in the same mishy mushy lovey mood, I don't mean to piss you off, hehehehe...

The side effect is that I am now missing him even more *sighs, still with wide smile*.

Benjolan Buku

Kenapa saya sebut benjolan?

Karena dua teman sekaligus, Dinda dan Boe, melemparkan book tag ke saya. Kalau saya benar-benar dilempar buku oleh orang-orang pintar itu, saya sudah benjol-benjol dari jaman dahulu kala. (Soalnya saya curiga mereka gemar membaca yang berat-berat, dalam arti konotatif maupun denotatif, hehehehe...)

Bacaan pertama saya: koran Sinar Harapan.

Saya belajar membaca sebelum umur empat tahun. Awalnya karena saya tertarik pada daya pikat misterius yang dimiliki koran (khususnya Sinar Harapan, karena waktu itu koran inilah yang kami langgani) terhadap ayah saya dan orang-orang dewasa lain. Ketika mereka sudah menghadapi lembaran-lembaran koran, sukar sekali mencoba menarik perhatian mereka. Saya tidak merasa iri, tapi justru ingin tahu.

Demikianlah saya merengek pada ayah saya untuk diajari membaca. Seingat saya, ayah saya hanya sekali atau dua kali menunjukkan cara mengeja, dan... voila! Saya dengan lancar membaca "S-i-n-a-r-H-a-r-a-p-a-n" serta kalimat-kalimat di bawahnya (judul kepala berita, dan seterusnya).

Sejak itu saya keranjingan membaca. Dan makin betah mengunjungi tetangga sebelah, yang anaknya kebetulan mempunyai koleksi buku cukup lengkap. Sebelum saya menduduki bangku Taman Kanak-kanak, saya sudah menenggelamkan diri di antara beragam judul Album Cerita Ternama, Tintin, Bobo, dan tentu saja komik-komik cerita Alkitab, yang diterjemahkan H.S. Ompusunggu. Ibu saya bercerita, waktu TK saya sering tertidur karena bosan saat pelajaran membaca.

Meningkat SD, ibu saya melanggankan saya dan adik saya majalah Bobo. Tiap hari Kamis sore kami berdebar-debar menunggu kedatangan tukang koran, dan berlomba-lomba menjadi orang pertama yang menyongsong bapak itu. Soalnya yang terlambat harus menunggu sampai juara "lomba" ini selesai dengan Bobo, keesokan harinya.

Namun di samping majalah sendiri, bacaan saya sebenarnya cukup variatif. Saya gemar membaca koran jatah ayah saya (masih Sinar Harapan dan -- sebagaimana para pegawai negeri kala itu -- Suara Karya!). Kadang majalah Femina. Intisari (terutama "Perkara Kriminal"). Komik Nina, majalah Donal Bebek, komik-komik murah berisi cerita-cerita "karya" Grimm Bersaudara dan H.C. Andersen (kata "karya" saya letakkan di antara tanda kutip, karena saya curiga sebenarnya dongeng-dongeng itu adalah hasil khayalan penggambarnya, yang menggunakan nama Grimm yang lebih "menjual"). Serta tentunya buku-buku karangan Enid Blyton: Lima Sekawan, Sapta Siaga, Pasukan Mau Tahu, St. Claire's, Gadis Badung, Malory Towers.

Kemudian ibu saya mulai membelikan buku agak yang lebih berat, setidaknya waktu itu buat saya yang masih duduk di bangku SD: Serigala-Serigala Kutub dan Sawari Penangkap Ular. Yang pertama menceritakan tentang perjuangan seseorang melawan segerombolan serigala yang mengikutinya melintasi suatu wilayah bersalju, dengan hanya menggunakan kereta luncur. Jalan ceritanya hampir mirip The Old Man and The Sea-nya Hemmingway. Sedangkan yang kedua mengisahkan Sawari, seorang warga kasta Sudra di India, yang berupaya meningkatkan status sosialnya. Walaupun saya sudah membaca cerita-cerita karangan Jules Verne, Karl May, serta cerita-cerita klasik India lewat Album Cerita Ternama, namun membentuk khayalan dari semata-mata kalimat sangat berbeda dari penyuguhan gambar.

Ibu saya memberikan masterpiece N.H. Dini, Pada Sebuah Kapal, untuk hadiah ulang tahun saya ke-11. Saya sangat terpikat dengan cara N.H. Dini merangkaikan detil-detil halus di buku itu, sehingga saya mencari buku-bukunya yang lain. Dan pada tahun berikutnya, saya memperoleh Burung-burung Manyar dari Romo Mangun.

Selama bertahun-tahun saya mengumpulkan dan menghilangkan buku-buku. Minus kedua mata saya yang terus meningkat adalah bukti kesukaan saya memelototi lembaran-lembaran kertas ini di tempat tidur malam-malam. Di rumah, buku, majalah, dan koran, tersebar mulai dari kamar tidur, kamar makan, sampai kamar mandi.

Jadi sukar bagi saya untuk menghitung berapa total jumlah buku yang saya miliki sampai sekarang, tapi saya yakin sudah mencapai ratusan, sekiranya saya lebih hati-hati merawat mereka dan lebih pelit, hehehhe... Benar sekali para Belanda kikir itu yang beranggapan bahwa lebih baik tidak meminjamkan buku sama sekali, karena memang si peminjam akan cenderung tidak mengembalikannya.

O ya, sejak pindah ke D.C. saya seakan menemukan surga buku. Selain toko-toko buku raksasa yang menawarkan kenyamanan membaca dan kepercayaan kepada pengunjung, berbagai toko buku bekas dan perpustakaan menjual buku-buku dengan harga yang sangat, sangat menggiurkan (bayangkanlah "Da Vinci Code" yang bisa kita peroleh dengan merelakan dua dollar saja!). Hal ini mendorong saya kerap membeli berbagai buku tanpa memikirkan kapan saya akan bisa menyelesaikannya, heheheh...

Nah, sekarang buku-buku apa yang paling berkesan untuk saya? Ada yang sudah saya sebut di atas, yakni Pada Sebuah Kapal-nya N.H. Dini, yang menjadi awal kegilaan saya pada tulisan-tulisan novelis asal Semarang itu.

Yang lain adalah:
- Sebelum Prahara, yang merupakan buku harian wartawan senior Rosihan Anwar dan diterbitkan oleh PT Sinar Harapan pada dekade 80-an. Salah satu buku yang saya buat lecek saking seringnya saya baca dan benar-benar menjadi sumber alternatif saya untuk sejarah Indonesia di bawah Sukarno;
- Ayah, Ibu, Dengarlah! (moga-moga tidak salah judul), yang merupakan kumpulan tulisan Romo M.A.W. Brouwer di harian Kompas dalam dasawarsa 70-an. Saya menemukan buku ini di peti barang-barang bekas di gudang, dan sejak itu buku tersebut menjadi teman saya ke mana-mana, terutama ke kamar mandi;
- Warisan, yang saya tidak ingat siapa nama pengarangnya. Teman SMA saya meminjamkan buku itu ke saya semata-mata karena dia ingin saya membacanya juga. Buku pinjaman itu kemudian menjadi kesayangan saya dan ibu saya. Sebuah buku yang humoris secara elegan, mengambil plot seorang perempuan muda yang pada awalnya membenci anjing karena trauma dengan peliharaan neneknya, namun di akhir kisah justru menjadi pencinta anjing;
- The No. 1 Ladies' Detective Agency dari Alexander McCall Smith. Mula-mula saya hanya tertarik dengan sampulnya yang atraktif, tapi setelah melewati beberapa halaman saya terpikat dengan gaya penulisannya yang mampu membuat kita tersenyum dengan perilaku tokoh-tokohnya: Precious Ramotswe, Mma Makutzi, J.L.B. Maketoni, orang-orang Botswana
yang sederhana dan bijak.

Buku yang sedang saya baca sekarang, dan belum selesai juga, adalah The God of Small Things-nya Arundhaty Roy dan Midnight in the Garden of Good and Evil, sebuah buku semi-fiksi.

Nah, sekarang siapa yang akan saya lempari booktag ini? Hampir semua kontak blog saya sudah memuat informasi data koleksi bukunya!

Ya sudahlah, mungkin Apey, Eko "Kucink", Glen, Sondi, Vicky. Tangkap!

Rindu Yang Lain.. Yang Lebih Kuat

Saat ini perasaan saya campur aduk. Karena kamu.

Rindu.

Sedih, karena jarak di antara kita.

Bahagia, karena kamu.

Dan bersyukur, karena diberi kesempatan merasakan itu semua lagi.

.....

Saya tunggu kamu. Di sini. Walaupun kamu sudah berada dalam pikiran dan jantung saya setiap saat.




(Catatan hati atas tiga bulan yang membawa saya ke awan-awan...)

Rindu Kawan

Saya baru saja membaca ulang beberapa email teman-teman. Sambil senyum, kadang ketawa, kadang tercenung, kadang merasa bersalah karena ada yang belum saya balas.

Tapi sekarang rasanya dada ini sesak karena rindu. Kenangan-kenangan silih berganti memutar otak saya. Terutama dengan kawan-kawan di kantor di tanah air sana, beberapa ribu mil dari kursi tempat saya menulis sekarang. Orang-orang dengan siapa saya menghabiskan 12 jam sehari.

Saya kangen mereka.

(Sambil mengusap mata. Ah, saya jadi sentimentil.)