Hir,
waktu saya baca tulisan Buyung tentang pilihan yang diambil temannya (oke, teman dari teman -- aduh, tidak praktis sekali ditulis di sini!), saya teringat kamu. Kalau si Petrus ini tidak merasa terbebani gengsi diploma Harvard-nya, juga tidak mengkalkulasi biaya yang sudah terbuang selama kuliah (biarpun barangkali dia dulu dapat beasiswa, tentu ada pengeluaran hidup kan? Dan siapa bilang tinggal di Massachusetts murah?), kamu meninggalkan promosi yang sudah di tangan dan menyepi di titik ketinggian 1.200 meter dari permukaan laut.
Tentunya saya kaget waktu kamu mengabarkan akan meninggalkan kota berdebu hiruk pikuk dan gemerlap, tempat kita sama-sama mencari penghasilan. Saya merasa kepergianmu mendadak, keputusanmu impulsif. Tapi belakangan saya sadar bahwa kamu dan tempat itu seperti perjodohan yang sudah ditetapkan di surga. Dari dulu kamu suka asyik sendiri di balik lembaran-lembaran National Geographics (kamu pasti senang ya, majalah ini sekarang sudah terbit dalam bahasa kita). Matamu berbinar-binar ketika berbicara mengenai salah satu sudut bumi, keajaiban alam, manusia. Dan kenapa juga saya harus heran -- bukankah kamu kerap mengajak saya menelusuri tempat yang dedaunannya masih lebat, yang bising bukan oleh bunyi klakson tetapi oleh deras air terjun. Saya selalu mengiyakan ajakanmu dengan antusias -- walau kemudian kita ternyata tidak pernah bepergian bersama ke sana.
Baru sekarang saya kira saya bisa memahami apa yang kamu rasakan, Hir. Rasa kerdil di tengah keluasan langit yang membebaskan. Mendengar suara ombak yang memecah karang dengan ganas -- tapi pada saat yang sama menyajikan kebiruan yang indah. Puncak-puncak gunung tempat bersemayamnya dewa-dewa purba. Kesenyapan yang mencekam namun dirindukan. Ke mana saja saya selama ini? Namun saya bersyukur, saya masih diberi kesempatan menikmatinya.
Saya tidak, belum, tidak (begitulah inkonsistensi saya!) seberani kamu, Hir, untuk meninggalkan yang saya punya saat ini dan mengejar impian yang bahkan belum saya impikan; baru sebatas gambar-gambar terpisah yang singgah sekejap dan pergi dari kepala saya. Apalagi mata saya melihat kecantikan yang kamu gambarkan itu justru karena kesempatan yang dimungkinkan oleh pekerjaan saya ini.
Saya ingat percakapan dengan seseorang bertahun-tahun lampau: tentang pilihan dan kesempatan. Baginya, tidak semua hal punya dua nuansa, pilihan tak selalu tersedia. Kala itu saya tak sepakat dengannya. Saya berkeras bahwa resiko adalah masalah pilihan juga.
Sekarang saya berpikir kalau-kalau dia tidak sepenuhnya salah dan saya tidak sepenuhnya benar. Pilihan kan bisa berbentuk buah simalakama, tanpa yang ketiga itu (dijual). Saya mungkin penganut mazhab realis, tapi cukup sadar bahwa hidup tidak selalu tentang zero sum game.
Ah, sudahlah Hir. Sebagaimana dulu, saya mengikuti saja jalan di depan saya. Saya lebih suka kejutan, walaupun tidak selalu mengharapkannya. Siapa tahu, satu ketika kita bisa sama-sama menjelajah Timbuktu yang bukan tempat Donal Bebek melancong, atau mengusap batu penegak Kuil Matahari. Bahkan mungkin kita beruntung bertemu dengan orang Tagaeri -- kalau garis mereka belum punah. Melihat cheetah berlari anggun dengan kaki-kakinya yang panjang dan luwes di savannah Namibia.
Lagi-lagi soal mimpi ya Hir? Untunglah dalam mimpi kita dapat menciptakan sendiri pilihan-pilihan kita. Hm, mungkin sekarang saya harus mulai dulu dari berani bermimpi.
Baru sekarang saya kira saya bisa memahami apa yang kamu rasakan, Hir. Rasa kerdil di tengah keluasan langit yang membebaskan. Mendengar suara ombak yang memecah karang dengan ganas -- tapi pada saat yang sama menyajikan kebiruan yang indah. Puncak-puncak gunung tempat bersemayamnya dewa-dewa purba. Kesenyapan yang mencekam namun dirindukan. Ke mana saja saya selama ini? Namun saya bersyukur, saya masih diberi kesempatan menikmatinya.
Saya tidak, belum, tidak (begitulah inkonsistensi saya!) seberani kamu, Hir, untuk meninggalkan yang saya punya saat ini dan mengejar impian yang bahkan belum saya impikan; baru sebatas gambar-gambar terpisah yang singgah sekejap dan pergi dari kepala saya. Apalagi mata saya melihat kecantikan yang kamu gambarkan itu justru karena kesempatan yang dimungkinkan oleh pekerjaan saya ini.
Saya ingat percakapan dengan seseorang bertahun-tahun lampau: tentang pilihan dan kesempatan. Baginya, tidak semua hal punya dua nuansa, pilihan tak selalu tersedia. Kala itu saya tak sepakat dengannya. Saya berkeras bahwa resiko adalah masalah pilihan juga.
Sekarang saya berpikir kalau-kalau dia tidak sepenuhnya salah dan saya tidak sepenuhnya benar. Pilihan kan bisa berbentuk buah simalakama, tanpa yang ketiga itu (dijual). Saya mungkin penganut mazhab realis, tapi cukup sadar bahwa hidup tidak selalu tentang zero sum game.
Ah, sudahlah Hir. Sebagaimana dulu, saya mengikuti saja jalan di depan saya. Saya lebih suka kejutan, walaupun tidak selalu mengharapkannya. Siapa tahu, satu ketika kita bisa sama-sama menjelajah Timbuktu yang bukan tempat Donal Bebek melancong, atau mengusap batu penegak Kuil Matahari. Bahkan mungkin kita beruntung bertemu dengan orang Tagaeri -- kalau garis mereka belum punah. Melihat cheetah berlari anggun dengan kaki-kakinya yang panjang dan luwes di savannah Namibia.
Lagi-lagi soal mimpi ya Hir? Untunglah dalam mimpi kita dapat menciptakan sendiri pilihan-pilihan kita. Hm, mungkin sekarang saya harus mulai dulu dari berani bermimpi.
2 comments:
jadi inget Into The Wild (iya, akhirnya udah nonton berkat provokasimu mbak'e ;) ) dan bagaimana si Alex Supertramp itu begitu berani ninggalin semua2 yang dia punya demi penjelajahan ke dalam dirinya sendiri. ekstrem lagi.
semoga suatu saat nanti aku bisa berani mewujudkan keinginanku. hmmm, ini bisa dijadiin resolusi (resolusi ulangan) buat tahun depan. hehehe.
met natal dan taun baruan ya!
hihihii... ternyata ilmu propaganda dan agitasiku berhasil, kekekekk.. (tapi kok ya baru taraf mempersuasi orang nonton film).
aku suka takjub dengan orang2 yang berani kayak gitu (termasuk temenku, dan temen kita -- dokter hewan yang milih jadi penggambar hehehe...), dan kadang2 pengen bisa ngikut jejak mereka. tapi karena tau betapa pengecutnya daku, ya gitu itulah... jadi tinggal harapan telek2 pitik, hehehe..
makasih ucapannya jenggg... met th baru juga. siyal, jadi inget ada utang postingan tentang into the wild, doh!
Post a Comment