Saya pasti tergolong murid durhaka, karena saya sudah lupa nama-nama hampir semua guru saya, bahkan nama dosen saya! Memang ada sih yang sosoknya masih melintas di benak saya, seperti Bu Henny, kepala sekolah TK saya dulu. Aneh juga, saya kok malah tak ingat guru kelas saya sendiri ya. (Mungkin karena dulu konon, cerita ibu saya, saya kerap tertidur di kelas kalau sudah bosan berat).
Guru lain yang memiliki kesan khusus bagi saya adalah guru matematika saya waktu SMA, Pak Heru. Tak semata karena perilakunya yang eksentrik, seperti kadang membawa sepedanya masuk ruang guru (!), sesekali merokok di kelas, atau pernah muncul memakai celana pendek pada hari sekolah (!!), tapi juga karena beliau berusaha menerapkan metode CBSA, yang pada masa itu akronimnya pun belum dibuat. Beliau akan menyuruh kami membentuk kelompok-kelompok kecil dan mendiskusikan rumus atau subyek yang baru saja diberikannya. Waktu itu kami sempat terperangah dan saling memandang saling senyum kecil, berpikir: apa yang mau didiskusikan dari angka-angka? Hanya karena bagi murid-murid Indonesia (sekali lagi, waktu itu) perintah seorang guru praktis sama dengan titah dewa, dan argumen adalah barang langka, tentunya kami lakukan juga. Sambil sesekali tercekikik bergosip. Entah apa yang kemudian tertulis di lembar hasil diskusi yang dikumpulkan itu, hehehhe..
Nama bapak guru yang unik-sering membingungkan (namun buat saya pintar sekali menerangkan!) ini muncul kembali bertahun-tahun kemudian dalam percakapan saya dan dua orang rekan kantor sekarang -- seorang teman seangkatan, yang lain adik kelas. Kami sedang menuju tempat penyelenggaraan reuni SMA kami.
"Eh, ingat tidak Pak Heru, guru yang gila itu?" teman seangkatan saya menyerocos. "Dia pernah bla.. bla.. bla..."
"Iya. Pak Heru itu kan bapakku, mbak," adik kelas kami menyahut kalem.
"HAH???" "Yang benar?"
"Lah, namaku kan 'X', diambil dari nama hukum 'X'," lanjut adik kelas itu.
Ups. Untung saya tadi tidak menyambut celetuk teman saya dengan isu lain tentang Pak Heru. Teman seangkatan saya sempat salah tingkah sebelum menyambung, "Oh. Maaf ya. Tapi bapakmu memang gila."
Adik kelas kami cuma ketawa. Sudah terbiasa dia. Justru sekarang giliran saya yang salah tingkah.
[Hm, nanti saya akan kirim email ke si adik kelas ah, menanyakan kabar guru kami yang aneh itu. Moga-moga beliau masih ada.]
Di antara segelintir guru yang masih saya ingat (kan saya sudah bilang di atas tadi, saya tergolong murid durhaka), sepertinya dosen pembimbing skripsi sayalah yang meninggalkan kesan paling mendalam buat saya.
Sejak semester ketiga, ketika mata kuliah kekhususan mulai mendominasi Kartu Rencana Studi, nama beliau mulai santer dibahas. Tentunya dengan nada kuatir dan getir, karena beliau terkenal sulit, kaku, gemar mencecar mahasiswa, terutama yang terlihat sedang melamun atau mengantuk. Cerita-cerita seram dari para kakak tingkat menambah ketar-ketir. Hari pertama saya mengikuti kuliahnya, saya sudah memetakan posisi duduk strategis: deret kedua dari depan, dekat pintu. Deret paling belakang jelas berbahaya, karena justru area itulah yang biasanya diincar. Deret paling depan beresiko memperoleh label "anak alim" atau "anak rajin" -- sama kurang menguntungkannya. Sudah pas itu, deret kedua dari depan, dekat pintu.
Beberapa minggu setelah itu saya masih deg-degan mendengar suara langkah kakinya mendekati ruang kuliah. Tapi lama-lama toh saya terbiasa, dan saya justru menghargai ketegasan sikapnya, terutama setelah beliau menolak paper beberapa teman yang memang "bekerja sama" alias saling copy-paste paper (beliau teliti memeriksa paper-paper yang masuk!). Bukan saya mensyukuri kesialan teman-teman tersebut, tapi rasanya ya kurang adil toh buat yang lain, yang berkutat di perpustakaan sehari-harinya untuk membuat paper mingguan. Dari beliau juga saya pertama kali membuat paper dalam sehari sebagai ujian akhir semester. Di era pra-internet itu, topik paper yang diumumkan pukul 10 pagi untuk kemudian harus diserahkan selambatnya pukul 10 hari berikutnya membuat kami harus terbirit-birit memperebutkan sejumlah buku. (Sambil misuh-misuh, pastinya!). Bapak tercinta ini juga pelit toleransi waktu. Lewat 5 menit dari waktu yang ditetapkan, nilai dikurangi. Yang jelas sih saya tidak merasa perlu mandi dulu sebelum berangkat ke kampus -- mana sempat!
Saya dapat A untuk mata kuliahnya, hihihihi... (maaf, sekalian pamer).
Walaupun kemudian saya makin memahami apa yang diinginkan beliau, saya toh tidak (mau) mimpi bakal memperolehnya sebagai dosen pembimbing. Waduh. Menghadapinya di ruang kuliah bersama 20 mahasiswa lain jelas berbeda dengan berhadapan langsung. Tapi mau bagaimana lagi, sudah ditentukan begitu oleh kampus.
Dalam sesi bimbingan pertama, beliau lebih dulu meminta saya memberikan padanya data pribadi dan tiga kartu pos kosong berperangko. Kemudian baru membahas rencana penyusunan skripsi saya. Saya belakangan tahu tujuan kartu-kartu pos tersebut ketika saya mendapat telepon dari ayah saya yang saat itu bertugas di kota lain. Ayah saya memperoleh kartu pos dari dosen pembimbing saya; isinya menceritakan bahwa saya sekarang sudah dalam tahap pembuatan skripsi, beliau adalah dosen pembimbing saya, dan beliau minta agar ayah saya mendukung saya dalam proses penyusunan skripsi saya.
Ayah saya yang sangat terkesan dengan kartu pos itu memutuskan untuk pergi ke Surabaya dan bertemu langsung dengan dosen pembimbing saya, untuk mengucapkan terima kasih padanya. Kunjungan ayah saya juga tak disangka oleh bapak dosen pembimbing. Saya? Sebal dan menggerutu panjang lebar dalam hati, berpikir bapak saya terlalu membesar-besarkan masalah.
Kartu pos itu menjadi alat kontrol orang tua saya atas proses pengerjaan skripsi saya. Saya lama melalaikan skripsi karena asyik mengamen dengan paduan suara. Tahu-tahu saya ditelepon ayah, yang rupanya mendapat laporan (sudah pasti via kartu pos!) tentang skripsi saya yang belum beranjak dari bab pendahuluan. Haduh! Singkat kata, setelah kiriman tiga kartu pos (disertai telepon interlokal singkat hampir tiap malam), skripsi saya kelar juga.
Dosen pembimbing saya yang cukup nyentrik ini juga idealis. Dibandingkan dosen-dosen lain seangkatannya yang relatif mapan, beliau termasuk tertinggal, karena idealismenya juga. Beliau menolak mengajar sampingan di universitas swasta, karena khawatir bakal menelantarkan pekerjaan utamanya. Penghasilan tambahan yang tidak banyak itu paling-paling dari menulis artikel di koran, proyek penelitian, atau jadi pembicara seminar. Itupun dibatasi sendiri olehnya. Sampai skripsi saya selesai, perabot rumahnya masih minimalis dan pagarnya pun belum jadi :). Saya tidak tahu apakah karena itu rambut dan janggutnya sudah putih semua di usia akhir 30-an. Apapun itu, saya berterima kasih karena kesabarannya dulu atas saya -- walau kalau bicara tetap dengan kata-kata pedas dan satir :)). Sudah lama saya tak berkomunikasi dengannya; terakhir hanya menitipkan salam melalui Pak Ramlan.
Oya, nama dosen pembimbing itu: Djoko Sulistyo. Dan postingan ini saya dedikasikan untuk beliau, serta guru-guru saya yang lain yang sudah saya lupakan namanya.
"Iya. Pak Heru itu kan bapakku, mbak," adik kelas kami menyahut kalem.
"HAH???" "Yang benar?"
"Lah, namaku kan 'X', diambil dari nama hukum 'X'," lanjut adik kelas itu.
Ups. Untung saya tadi tidak menyambut celetuk teman saya dengan isu lain tentang Pak Heru. Teman seangkatan saya sempat salah tingkah sebelum menyambung, "Oh. Maaf ya. Tapi bapakmu memang gila."
Adik kelas kami cuma ketawa. Sudah terbiasa dia. Justru sekarang giliran saya yang salah tingkah.
[Hm, nanti saya akan kirim email ke si adik kelas ah, menanyakan kabar guru kami yang aneh itu. Moga-moga beliau masih ada.]
Di antara segelintir guru yang masih saya ingat (kan saya sudah bilang di atas tadi, saya tergolong murid durhaka), sepertinya dosen pembimbing skripsi sayalah yang meninggalkan kesan paling mendalam buat saya.
Sejak semester ketiga, ketika mata kuliah kekhususan mulai mendominasi Kartu Rencana Studi, nama beliau mulai santer dibahas. Tentunya dengan nada kuatir dan getir, karena beliau terkenal sulit, kaku, gemar mencecar mahasiswa, terutama yang terlihat sedang melamun atau mengantuk. Cerita-cerita seram dari para kakak tingkat menambah ketar-ketir. Hari pertama saya mengikuti kuliahnya, saya sudah memetakan posisi duduk strategis: deret kedua dari depan, dekat pintu. Deret paling belakang jelas berbahaya, karena justru area itulah yang biasanya diincar. Deret paling depan beresiko memperoleh label "anak alim" atau "anak rajin" -- sama kurang menguntungkannya. Sudah pas itu, deret kedua dari depan, dekat pintu.
Beberapa minggu setelah itu saya masih deg-degan mendengar suara langkah kakinya mendekati ruang kuliah. Tapi lama-lama toh saya terbiasa, dan saya justru menghargai ketegasan sikapnya, terutama setelah beliau menolak paper beberapa teman yang memang "bekerja sama" alias saling copy-paste paper (beliau teliti memeriksa paper-paper yang masuk!). Bukan saya mensyukuri kesialan teman-teman tersebut, tapi rasanya ya kurang adil toh buat yang lain, yang berkutat di perpustakaan sehari-harinya untuk membuat paper mingguan. Dari beliau juga saya pertama kali membuat paper dalam sehari sebagai ujian akhir semester. Di era pra-internet itu, topik paper yang diumumkan pukul 10 pagi untuk kemudian harus diserahkan selambatnya pukul 10 hari berikutnya membuat kami harus terbirit-birit memperebutkan sejumlah buku. (Sambil misuh-misuh, pastinya!). Bapak tercinta ini juga pelit toleransi waktu. Lewat 5 menit dari waktu yang ditetapkan, nilai dikurangi. Yang jelas sih saya tidak merasa perlu mandi dulu sebelum berangkat ke kampus -- mana sempat!
Saya dapat A untuk mata kuliahnya, hihihihi... (maaf, sekalian pamer).
Walaupun kemudian saya makin memahami apa yang diinginkan beliau, saya toh tidak (mau) mimpi bakal memperolehnya sebagai dosen pembimbing. Waduh. Menghadapinya di ruang kuliah bersama 20 mahasiswa lain jelas berbeda dengan berhadapan langsung. Tapi mau bagaimana lagi, sudah ditentukan begitu oleh kampus.
Dalam sesi bimbingan pertama, beliau lebih dulu meminta saya memberikan padanya data pribadi dan tiga kartu pos kosong berperangko. Kemudian baru membahas rencana penyusunan skripsi saya. Saya belakangan tahu tujuan kartu-kartu pos tersebut ketika saya mendapat telepon dari ayah saya yang saat itu bertugas di kota lain. Ayah saya memperoleh kartu pos dari dosen pembimbing saya; isinya menceritakan bahwa saya sekarang sudah dalam tahap pembuatan skripsi, beliau adalah dosen pembimbing saya, dan beliau minta agar ayah saya mendukung saya dalam proses penyusunan skripsi saya.
Ayah saya yang sangat terkesan dengan kartu pos itu memutuskan untuk pergi ke Surabaya dan bertemu langsung dengan dosen pembimbing saya, untuk mengucapkan terima kasih padanya. Kunjungan ayah saya juga tak disangka oleh bapak dosen pembimbing. Saya? Sebal dan menggerutu panjang lebar dalam hati, berpikir bapak saya terlalu membesar-besarkan masalah.
Kartu pos itu menjadi alat kontrol orang tua saya atas proses pengerjaan skripsi saya. Saya lama melalaikan skripsi karena asyik mengamen dengan paduan suara. Tahu-tahu saya ditelepon ayah, yang rupanya mendapat laporan (sudah pasti via kartu pos!) tentang skripsi saya yang belum beranjak dari bab pendahuluan. Haduh! Singkat kata, setelah kiriman tiga kartu pos (disertai telepon interlokal singkat hampir tiap malam), skripsi saya kelar juga.
Dosen pembimbing saya yang cukup nyentrik ini juga idealis. Dibandingkan dosen-dosen lain seangkatannya yang relatif mapan, beliau termasuk tertinggal, karena idealismenya juga. Beliau menolak mengajar sampingan di universitas swasta, karena khawatir bakal menelantarkan pekerjaan utamanya. Penghasilan tambahan yang tidak banyak itu paling-paling dari menulis artikel di koran, proyek penelitian, atau jadi pembicara seminar. Itupun dibatasi sendiri olehnya. Sampai skripsi saya selesai, perabot rumahnya masih minimalis dan pagarnya pun belum jadi :). Saya tidak tahu apakah karena itu rambut dan janggutnya sudah putih semua di usia akhir 30-an. Apapun itu, saya berterima kasih karena kesabarannya dulu atas saya -- walau kalau bicara tetap dengan kata-kata pedas dan satir :)). Sudah lama saya tak berkomunikasi dengannya; terakhir hanya menitipkan salam melalui Pak Ramlan.
Oya, nama dosen pembimbing itu: Djoko Sulistyo. Dan postingan ini saya dedikasikan untuk beliau, serta guru-guru saya yang lain yang sudah saya lupakan namanya.
5 comments:
CBSA itu Cah Bodo Soyo Akeh?..:D
Hahaha.. baru mo bilang itu, keduluan deh.
hi, salam kenal.
I am a struggling teacher, trying to find out why i took this job in the first place..
but i guess God really works in mysterious way, just when i really "bete abis" with my job..i accidentally found your writing about teacher. it's nice to know that somehow someway a teacher can actually make a difference in his/her student's life.
so, okay deh. keep on writing ya.. i promise i will read it every now and then..heheheheh (pasti lo bilang..emang gue pikirin?)
now i have to go back to my little corner..back to my pile of papers and thousand cups of coffee..
Gbu.
-grc
Tito: ngerti wae, rek, hehehe...
Avie: walah, linknya kok dari blog rame2 yang belom ada isinya? *gak nyambung sama komen Avie*
Grc: Wow. Hm. You managed to make me dumbfounded while reading your comment. Betul banget, guru2 saya semuanya punya pengaruh dalam jalan hidup saya sekarang :). Terima kasih untuk komentar paling bagus yang pernah saya terima. Terima kasih juga karena akan mengunjungi blog ini terus (siapa bilang gak bakal gw pikirin?). Wish you all the best in your future endeavor, Guru (soalnya saya gak tau harus address kamu pake Mas/mbak/bapak, atau ibu:))
Iya soalnya buru-buru cuma masukin id google yang ternyata langsung nyambung ke blog itu. Tau tu, bule-bule, awalnya si semangat, ntar nggak tau diisi apa engga. Orang Indonesia kan lebih rajin blogging hahaha.
Post a Comment