Kompas hari ini (Sabtu, 9 Oktober 2004) memberitakan seorang ibu yang "nekat" mengejar kawanan perampok, yang telah merampas tas kerjanya. Kendati para perampok tersebut sudah menusuk ban mobilnya (modus operandi para penjahat bersepeda motor), sang ibu menyusul gerombolan tersebut, dan menabrak kendaraan salah satu perampok sampai pengendaranya jatuh, dan temannya berusaha melarikan diri. Kedua orang itu berhasil diringkus masyarakat sekitar setelah Ibu Binahati berteriak-teriak, "Rampok! Rampok!".
Kejadian ini mengingatkan saya pada peristiwa lain (yang dimuat di Kompas juga) ketika beberapa gadis remaja melawan seorang penodong di dalam angkot yang sedang mereka tumpangi. Penodong itu memaksa hendak merampas perhiasan (atau handphone? Gak inget!). Mungkin tersentuh dengan usaha gadis-gadis tersebut, para penumpang lain ikut memberikan perlawanan, dan penodong itu akhirnya dapat diserahkan ke polisi.
Juga seorang teman saya yang mengejar pencopet yang menilap dompetnya, memaksanya mengaku dan akhirnya menyerahkan dompet itu kembali padanya.
Setelah selama bertahun-tahun kawanan serigala kota menteror masyarakat dengan aksi perampokan, penodongan, perampasan, dan sebagainya, rakyat yang telah mencapai titik jenuh memberikan reaksi. Terlebih karena aparat yang diharapkan memberikan perlindungan malah lebih asyik mencari-cari celah peraturan guna menambah lembaran-lembaran rupiah masuk ke dalam kantong mereka. Bagi saya, dan saya rasa bagi banyak orang juga, permakluman bahwa penghasilan mereka terlalu kecil untuk menopang kehidupan mereka tidak bisa diterima, dan lebih merupakan legitimasi bagi: 1) menyuburnya premanisme, baik yang "swasta" maupun yang disokong "oknum aparat"; 2) keacuhan para pengambil keputusan untuk mencari solusi permasalahan ini.
(Jangan-jangan membiarkan praktek-praktek ini diam-diam dipandang kelompok terakhir tersebut sebagai "solusi sementara". Pemecahan yang paling mendasar bisa dipikirkan kapan-kapan. :P)
Oleh sebab itu sukar untuk menyalahkan tindak "main hakim sendiri" yang kerap sampai mencabut nyawa ini, sebab naluri paling purba manusia adalah membela diri di samping reproduksi tentunya, hehehehe.... (Jangan-jangan juga, yang paling ramai mempersoalkan tindak main hakim adalah mereka yang dirugikan olehnya! Mungkin karena kehilangan penghasilan tambahan? Atau karena terpaksa memutar otak mencari "solusi sementara" yang lain?)
Sambil menunggu bagaimana pemerintah baru akan menangani berbagai masalah dan penyakit sosial yang sudah akut ini, kita tidak bisa tinggal diam. Harus ada gerakan perlawanan rakyat terhadap premanisme dan teror dari saudara-saudara kita sendiri. Dan harus ada yang jadi motor penggeraknya. Dan omong-omong, para pria harusnya malu, karena wanita yang dalam struktur sosial masyarakat kita masih dianggap kelas dua dan diragukan kemampuan fisiknya ternyata justru yang menjadi pelawan utama teror. Mungkin lebih baik kita punya Panglima TNI dan Kapolri wanita. Presiden bolehlah pria, toh dia tidak akan terjun langsung menangani berbagai tindak kriminal, kecuali kalau ada implikasi politiknya.
Para Korban Rampok/Copet/Maling/Kejahatan Lain2 Seluruh Indonesia, Bersatulah!
Posted by caranita at Friday, October 08, 2004
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment