Ayah saya tersayang kadang-kadang bisa jadi orang paling norak di dunia, terutama kalau ada kaitannya dengan keluarga besar saya. Misalnya, dalam pertemuan keluarga yang sudah pasti diwarnai kegiatan menyanyi (jelas toh, kami kan orang Batak!), beliau berada di garda terdepan untuk memegang mike. Alasannya sih, harus ada yang mulai memeriahkan suasana. Padahal kami semua tahu bahwa begitu berada di tangannya, mike itu tidak akan berpindah sampai dengan tiga puluh menit berikutnya. Kalau sudah begitu adik perempuan saya akan keluar untuk merokok bersama para sepupu kami, saya beranjak ke belakang untuk memeriksa kudapan (tepatnya: mencicip), dan ibu saya -- hm, biasanya sih ibu saya bertahan di ruang tengah dan bercanda dengan tante-tante saya untuk menghilangkan rikuhnya.
Atau ketika saya tahu dari ibu saya bahwa ayah saya bercerita kepada oom-oom saya kalau saya sedang bertugas ke negara anu. Juga ketika kami baru tiba di negara ini, dia menelepon seorang amanguda (paklik) untuk melaporkan bahwa kami telah sampai dengan selamat :p. Pada saat-saat seperti itu, kadang-kadang saya cuma bisa melet ke ayah saya (saya memang anak kurang ajar) atau menggerutu ke ibu saya.
Di pihak lain, ayah saya juga selalu prihatin kalau sesuatu mengancam keutuhan (ciehhh..!!!) keluarga besar. Begitu ada tanda-tanda pertikaian serius antar anggota keluarga besar, ayah saya pasti berusaha turun tangan mendamaikan. Saya kerap memprotes hal tersebut, soalnya buat saya sama saja dengan campur tangan, dan belum tentu dihargai yang sedang bersengketa. Berdasarkan pengalaman, kadang-kadang malah sang calon penerima Nobel Perdamaian ini yang berakhir jadi musuh bersama, hehehehe... Ayah saya tentu berkeras bahwa -- sekali lagi -- harus ada yang memulai inisiatif itu.
Buat ayah saya, keluarga memang segala-galanya. Beliau percaya, reputasi kekompakan keluarga besar kami bisa dipertahankan, karena seluruh anggotanya punya komitmen untuk mempertahankan reputasi itu. Beliau lupa, keluarga besar kami menjadi lebih besar secara kuantitatif justru karena banyaknya tambahan dari luar: para istri (termasuk emaq), para menantu, para cucu-mantu, dengan kepentingannya sendiri-sendiri. Barangkali bagi generasi yang lebih muda pun reputasi demikian tidak terlalu bermanfaat, kecuali untuk acara adat. Kendati sebagian besar anggota keluarga berada di Jakarta, kesibukan dan ketidaknyamanan berkendara menyebabkan frekuensi pertemuan berkurang secara signifikan, sampai tersisa hari Natal/Tahun Baru atau upacara pernikahan sebagai kesempatan kumpul-kumpul. Ada juga sih arisan bulanan keluarga, tapi kok saya melihatnya sebagai akomodasi keinginan para orang tua. Justru di sini muncul pertanyaan yang entah kenapa memenuhi kepala saya sepanjang akhir pekan.
Sebagaimana biasa, keponakan saya yang cantik dan sangat pragmatis (beda tipislah dari tantenya) menjadi tumpahan unek-unek saya. Dan untuk isu ini, dia teman diskusi yang pasti asik, sebab terlepas dari sikap pragmatisnya, dia punya pandangan yang adat-compliant dan memutuskan untuk memilih suami dari suku kami. Soal pilihan calon suami semata-mata karena dia tahu hal tersebut akan menyenangkan orang tuanya, dan dia tidak melihat kesulitan menyelaraskan keinginan orang tua dengan keinginannya sendiri. Itu bisa dimengerti. Tapi ketika saya bertanya padanya kenapa menurutnya adat harus dipertahankan, dia sulit menjawab. Kepragmatisannya muncul dalam tanggapan, "Barangkali karena aku dibesarkan dengan pemikiran demikian, Ju. Lagipula tidak ada salahnya kan?"
Saya tersenyum dan membalas kalimatnya, "Ompungmu pernah bilang ke Aju, salah satu keuntungan kita aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial, terutama adat, waktu kita meninggal ada yang menguburkan."
"Hahahaha... dan yang pasti sih, ketika kita mengadakan suatu hajat, orang-orang akan datang memenuhi undangan kita."
"Tapi kalau kita sudah meninggal, apa yang terjadi pada badan kita itu kan tidak penting lagi buat kita? Lah wong kita sudah tidak bisa merasakan kok."
"Hahahah... memang kepentingannya bukan buat yang bersangkutan, Ju. Aku malah curiga jangan-jangan untuk mempertahankan pemasukan."
"Ah, yang benar? Buat prestis saja kali!"
"Loh, Ju, memangnya Aju pikir selama ini tetua-tetua adat itu tidak dibayar untuk melakukan tugasnya? Jadi selama acara-acara adat dipertahankan, pemasukan tetap jalan kan."
"Aku kok tidak yakin...."
Keponakan saya memotong, "Memang motif utamanya mungkin bukan uang, karena mereka toh tidak menetapkan tarif. Aku rasa pada dasarnya mereka senang kumpul-kumpul, dan acara adat buat mereka barangkali semacam pelipur kerinduan pada kampung halaman. Tapi karena rupanya banyak yang minta tolong, hal ini jadi menyita waktu mereka. Akhirnya sekalian saja mereka melakukan itu penuh waktu. Yang butuh jasa mereka ya maklum, dan akhirnya dianggap saja mereka melakukan itu sebagai pekerjaan. Dan pekerjaan perlu dibayar kan?"
"Hehehhee... mustinya mereka dirikan saja Lembaga Konsultasi Adat Tapanuli Utara atau apa kek semacam itu. Lebih keren kan bunyinya?"
"Iya, tapi kalau diresmikan seperti itu kan nantinya harus bayar pajak pendapatan, hehehe..."
"Loh, itu kan lembaga nirlaba!... ceritanya..."
Meskipun sekarang saya cenderung tidak mempedulikan masalah adat, dan bersyukur karena bisa memberikan alasan kenapa tidak harus melibatkan diri dalam acara-acara adat (pekerjaan menuntut pindah-pindah tempat :p), saya juga tidak berkata dengan tegas bahwa saya bakal seperti ini terus. Terlepas dari unsur materi yang disebutkan keponakan saya itu, saya pikir karena pada dasarnya adat sebagai produk budaya merupakan respon nenek moyang kita terhadap tantangan alam -- sikap yang diturunkan sampai generasi sekarang -- maka buat sebagian kalangan adat menjadi semacam pegangan bersikap. Tidak heran ketika diekspos pada adat atau kebiasaan lain, yang kemudian ditafsirkan sebagai bentuk ancaman, reaksi yang muncul kerap defensif. Buat saya, hal tersebut sekali lagi membuktikan bahwa -- disadari atau tidak, diakui atau tidak -- manusia masih bertindak sesuai naluri purbanya, meski mungkin dalam bentuk yang lebih canggih.
Sebab itu saya tidak merasa perlu mensakralkan adat atau budaya, juga tidak melihat gunanya menentang atau menganggap adat sebagai kebiasaan kuno yang tidak sesuai dengan tuntutan jaman. Tiap orang toh berhak untuk menentukan sendiri cara yang ia pakai untuk mempertahankan diri, sepanjang tidak merugikan orang lain.