Malam Takbiran

Saya bukan muslim, tapi hidup di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam membuat saya akrab dengan berbagai simbol dan ritual keislaman, sama seperti teman-teman non-muslim lain di Indonesia. Mungkin itu juga sebabnya, berada ribuan kilometer dari lingkungan yang telah saya kenal lebih dari 30 tahun, yang karakteristik penduduknya berbeda dari tempat saya lahir-besar-bergaul-dan sebagainya, saya jadi merindukan suasana yang telah melekat dengan keseharian saya. Termasuk bulan puasa dan malam takbiran.

Saya ingat, waktu masih kecil dulu, malam takbiran adalah saat yang saya tunggu-tunggu bersama teman-teman. Kala itu saya tinggal di kompleks perumahan instansi tempat ayah saya bekerja, dan menjelang malam kami mulai bergerombol di depan pagar kompleks menanti arak-arakan takbir lewat. Kami akan ikut bersorak dan berseru "Allahu Akbar!" bersama dengan rombongan takbir, dan menikmati bunyi bedug bertalu-talu. Kemudian kami menanti rombongan berikutnya. Begitu seterusnya. Barangkali kurangnya ragam hiburan di kota kecil itu membuat keramaian apapun menjadi sarana kami berekreasi dan menikmati hidup.

Melihat rombongan takbir lewat diselingi juga dengan menyalakan kembang-kembang api (bukan petasan!), untuk kemudian kami selipkan atau lemparkan ke pucuk pohon-pohon cemara yang banyak menghiasi lapangan rumput luas di tengah-tengah kompleks.

Menjelang tengah malam kami kembali ke rumah masing-masing untuk menonton operette Lebaran yang (hampir selalu) disiapkan Titik Puspa dan Papikonya. Saya tidak ingat lagi seperti apa jalan cerita dari operette tahunan itu, tapi kenangannya selalu menghangatkan hati saya.

Beranjak dewasa, tidak terlalu banyak lagi malam takbiran yang memberikan kesan yang sama menyenangkannya. Namun saya ingat waktu saya harus menjalani program KKN di sebuah desa di kecamatan Nguling, Pasuruan, beberapa tahun lampau, persis bulan puasa. Penduduk desa itu seratus persen PPP. Seratus persen PPP di bawah rejim Suharto, waktu Golkar masih menjadi mesin pemerintah dan kedua partai lainnya jadi penghias belaka. Bagaimana rasanya sebagai non-muslim di lingkungan itu? Menyenangkan. Ibu kost saya (kami menyebut tuan rumah kami sebagai bapak dan ibu kost) selalu menyediakan makanan untuk saya, tiga kali sehari. Di bulan puasa. Modin desa (selalu disapa "Pak Haji" dengan rasa hormat oleh penduduk lainnya) berulang kali mengungkapkan rasa senangnya melihat perawakan saya yang "segar". Saya hanya cengar-cengir setiap bertemu beliau, tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Kalau di kota, perkataan itu saya anggap sebagai sindiran atas kesuburan badan saya. Di desa itu, tampaknya harus saya terima sebagai pujian dan kekaguman. Terima kasih! Tabik, Pak Haji!

Dan yang paling tidak saya lupakan adalah waktu sahur. Entah kenapa para pemuda desa itu suka iseng memanggil-manggil nama saya lewat mikrofon mesjid sembari membangunkan teman-temannya untuk memulai ibadah puasa hari itu. Tadinya saya tidak tahu, wong saya tukang tidur. Kena bantal langsung pulas. Setelah kawan-kawan saya menyampaikan hal itu ke saya, saya malah terbangun tiap jam tiga pagi, dan mendengar nama saya disuarakan ke seluruh penjuru desa. Alamak!

Hal-hal seperti inilah yang kerap saya ceritakan pada orang-orang Amerika ketika mereka mempersoalkan masalah kerukunan agama di Indonesia. Dalam hati saya mengeluh karena suasana toleransi dan kebersamaan yang pernah saya nikmati di masa-masa dulu seolah-olah lenyap. Entah karena saya makin dewasa dan makin kritis menilai keadaan, atau karena memang kebersamaan itu sudah pupus. Saya jadi menolak untuk mengingat-ingat apa yang saya saksikan beberapa tahun terakhir: konflik, kerusuhan, pemboman, penolakan. Kalau mungkin, ada mesin waktu yang dapat mengembalikan situasi damai itu ke masa sekarang. Ah, mimpi.

12 comments:

Anonymous said...
This comment has been removed by a blog administrator.
Dindajou said...

malam takbiran gw tahun ini? nongkrong di starbucks Sarinah, di depan laptop, buka web berita, di kuping terpasang elshinta. sesekali telpon mama yang nangis2 di medan karena anak perempuannya gak pulang, sambil liat-liat jalanan yang padat banget dengan konvoi takbiran.

san sekarang... lebaran... gw cuma bisa mengelus dada sambil tetep nongkrong di starbuck.

ah.

Anonymous said...

girl... i KNOW what you're talking about... i miss those days... takbiran w/ the people from your hood...

whenever people came to me w/ stories f/ back home, or i saw/read the news myself, i cry inside... that wasn't what i knew when i was growing up... oh my, i tawt i was the only person who refuses to keep up w/ what's going on over there... not 'cuz i don't care, but 'cuz i hate to realize that everything i knew/felt while growing up there seems like only a dream now.... bombing, killing, fights everywhere... oh indonesia, when will you grow up?

Anonymous said...

dinda: gw jadi speechless nih. saat2 seperti ini, jarak fisik dengan orang2 tercinta terasa banget yah? but you have friends who love you too! *hugss* Minal aidin wal faidzin bu!

ka: it's good knowing some people feel the same, instead of just cursing the government, God, or anyone, for what happens. Whether we would admit it or not, directly and indirectly, each of us has his/her share in the future of our country. And doing something is certainly waaaaaaaaaayyy better than just talking, talking, yelling, yelling, hitting, hitting...

Anonymous said...

iya nih jadi sadar...dulu waktu jaman soeharto rasanya akrab banget ama kegiatan malam takbiran...tapi sekarang rasanya org2 mulai menghindari keramaian karna emang udah gak aman lagi...

duh...i wish banget deh...cuman wonder juga...bisa gak ya itu terulang lagi?

Anonymous said...

imbas dari kebebasan berpikir dan berbicara ;) *kadang disebut reformasi .. >:)

akibatnya orang menyuarakan pikiran masing masing..- yang belum tentu benar - dan jadilah konflik..
IMO, awalnya bukan masalah agama, tapi masalah personal yang dikait kaitkan dengan agama..

hehe.taulah ..just my 2 cents

Anonymous said...

WAKS !! gue sih kaga sampe separah itu di panggil namanya dari surau ... yang ada waktu kecil ikutan mukul bedug waktu takbiran...trus suatu hari ada orang tua dari temen2 muslim gue bilang..."Idih dia kan Cina ngapain lagi mukul2 bedug di Mesjid".
Sejak saat itu gue kaga pernah lagi hang out sama temen2 gue itu waktu takbiran, gue prefer di rumah ^_^.

Just because you ride a cab to get "There" that doesn't mean your methode of going "There" is the only way and the right way.

Anonymous said...

kerukunan umat beragama, toleransi, penghormatan kpd pluralisme....sangat indah didenger di muka umum begeneeeh.
Tapi alangkah masih banyaknya mahluk2 di luar sana, ketika dia kembali ke komunitasnya, teman2 se-iman, se-suku, se-ras. atau se-se yg laen, pemikirannya kembali dangkal dan dangkal...kayak S.Cisadane gicuuu deeehhh :D
Buatku, perjuangan mewujudkan kerukunan, menghormati pluralisme itu akan lebih cihuuuy lagi ketika di dalam komunitas kita masing2 kita mengatakan "TIDAK" untuk stigma2, stereotype2, bias2 yg keluar dari mulut2 komunitas kita sendiri thd "pihak laen".
Walaupun "reply comment-nya" adalah "kamu koq sptnya memihak mereka" atau "kamu ga ngeh apa yg 'mereka' lakukan thd 'kita', tp punya nyali,dooong, dan tekun, krn toleransi emang butuh waktu dan kesabaran. Biarpun mulut ber-busa2, biarpun kadang terasing, tapi semangat "ga ada toleransi buat yg ga toleran" menurutku hal yg hakiki.
'met Lebaran buat yg ngerayain.
Tengkiu.

Sunny said...

Ngomong2 tentang ritual malam takbiran, walaupun saya masih tinggal di tempat masa kecil saya, which rumah orangtua saya, ritual dulu dan sekarang udah beda jauuuuuh. Kalo dulu suara orang takbiran masih kedengaran sampai beberapa blok, sekarang nggak lagi. Dulu masih banyak anak kecil yang suka ikutan keliling naik mobil sambil mukulin beduk, sekarang udah nggak lagi. Kalau dulu aura Lebarannya terasa banget, kentel banget, sekarang nggak lagi. Kenapa bisa begitu, saya juga nggak tau.

[reminscing]

Anonymous said...

ria: hanya bisa terulang kalo kita mulai melakukannya. pasti banyak yg sepaham dengan kita. yang penting, jangan biarkan kita gampang dipengaruhi omongan2 yg menyulut amarah. tetap berpikir jernih. susah sih emang :(

snydez: bener sih. belum lagi emang ada kelompok yg berkepentingan supaya konflik tetap eksis :)

sondi: sedih banget gw baca komentar lo ini. gw bayangkan, kondisi orang2 seperti lo dan temen gw victor kira2 beginilah: warga keturunan yg sudah merasa dan menunjukkan kalau kalian satu bagian dengan the rest of the nation, tapi somehow ada pihak2 yg menolak itu. heran, jaman sekarang masih banyak yg berpikiran picik seperti itu.

komentator nyasar: gw setuju banget!!! walopun kita mengaku lahir di jaman modern, kerap kali kita sendiri masih mempertahankan berbagai stigma dan stereotip tak berguna itu. percuma koar2 ya! ;)

girl: mungkin karena ketulusan sudah musnah dari bumi kita? *sighs*

unai said...

terlalu banyak hal yang tak mampu ditepis...pun kenangan itu..andai waktu dapat berputar kembali

Anonymous said...

perawakan yang segar? ah kit akok sama seh jeng?

iyah aku juga inget pas meski ngga ngerayain lebaran i decided to stay di rumah induk semang pas KKN disaat semua temen turun gunung pulang, ya karena itu i enjoyed suasana lebaran yang kental sekali persaudaraannya. ah kangen!