Dialek lokal dan logat nasional

Terus terang, isian kali ini terinspirasi oleh posting seorang blogger mengenai gegar budaya. Lepas dari seringnya topik ini dibahas di berbagai forum formal dan informal, termasuk dengan berbagai referensi dan kiat untuk mengatasinya, saya kira isu ini tidak akan pernah terlalu basi karena hampir semua dari kita pernah mengalaminya. Terlebih setelah revolusi teknologi membuat bumi semakin tak terbatas. (Entah beberapa tahun lagi, setelah kita mungkin bisa menjalin percakapan maya dengan makhluk planet lain -- dengan catatan: mereka benar-benar ada)

Saya termasuk orang yang beruntung karena memiliki orang tua dengan pekerjaan yang menuntut untuk berpindah tempat beberapa kali, sehingga saya dapat melihat sendiri berbagai perbedaan bahasa, cara pikir, makanan, dan sebagainya, dan kondisi demikian memaksa saya untuk menyesuaikan diri dengan hal-hal tersebut secara relatif cepat. Dulu tidak terpikir oleh saya bahwa pekerjaan saya sekarang akan memiliki nuansa serupa, dengan tantangan yang lebih besar lagi, bukan saja karena saya tidak hanya berpindah propinsi melainkan berpindah negara, namun juga karena orang dewasa pada umumnya membutuhkan waktu lebih lama untuk beradaptasi dibandingkan anak-anak. Namun saya bersyukur karena kekayaan pengalaman itu, yang sangat membantu saya menghadapi berbagai perubahan lingkungan.

Yang ingin saya sorot di sini sebenarnya bukan masalah gegar budaya per se, apalagi cerita diri sendiri yang bisa-bisa makin menonjolkan narsisisme saya, hehehehe... Saya ingin membahas sedikit mengenai logat bicara, yang waktu itu baru saya singgung dalam percakapan dengan Apey, kawan lama yang berhasil saya hasut untuk menjadi seorang blogger juga. Sejalan dengan stereotip umum bahwa obrolan antar perempuan diwarnai cerita tentang orang lain, waktu itu pembicaraan kami memunculkan nama seorang teman bersama, yang sudah cukup lama tidak kami temui. Kebetulan Apey memiliki kesempatan untuk bertukar kata dengannya sejenak, yang kemudian mendorong saya untuk bertanya: "Bagaimana logat bicaranya? Semakin 'Jakarta', kah?"

"Begitulah... aku sampai hampir-hampir tidak mengenali suaranya."

Kalau saya sampai mengangkat isu logat bicara, tidak lain karena saya mencurigai bahwa teman kami tersebut sudah sedemikian menyesuaikan diri dengan Jakarta, kota yang sekarang ditempatinya, sampai menganggap diri "anak Jakarta" lengkap dengan logat Jakarta. Hal yang saya temui di banyak teman saya yang lain.

Sebenarnya toh tidak ada yang salah dengan itu. Di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung. Tinggal di Jakarta, bicaralah dengan logat Jakarta. Saya pun menggunakan dialek ini di lingkungan saya sekarang, kecuali bila bertemu dengan teman-teman "sekampung". Surabaya, maksud saya. Otomatis saya lebih suka bicara dengan cara Surabaya, yang rasanya kok lebih pas. Mungkin karena itu saya kerap tergelitik bila mendengar orang daerah, Surabaya khususnya, yang berbicara dengan logat yang sangat Jakarta di kotanya sendiri.

Menjadi pusat hampir segala-galanya di Tanah Air, Jakarta memang akan selalu dijadikan parameter kemajuan, sekaligus target pencapaian. Terlebih buat "putera-puteri daerah". Apalagi yang masih berada dalam rentang usia remaja. Menggunakan busana atau perlengkapan lain yang dikenakan para remaja Jakarta berarti menjadi bagian dari kelompok yang sadar mode. Dan tengoklah radio-radio dengan pangsa pasar remaja di daerah-daerah: sangat lumrah bila para penyiarnya bicara dengan logat Jakarta. Majalah-majalah remaja akan menggunakan ungkapan khas remaja Jakarta dalam penulisannya. Sebuah kuis berbasis polling pernah mengungkapkan bahwa acara televisi dengan muatan "lokal" yang paling banyak diingat adalah yang menggunakan dialek Betawi, yang walaupun tidak sama persis tapi jelas merupakan sumber logat Jakarta yang dikenal saat ini. Dalam kaitan ini, saya teringat seorang kenalan lain di Surabaya dengan dialek Jakarta yang cukup kental. Saya dengan lempang pernah mempertanyakan hal itu kepadanya, dan dijawab: "Oh, soalnya saya memang baru pindah ke Surabaya sih."

"O ya? Sejak kapan?"

"Kelas 6 SD".

Saat percakapan ini berlangsung, kami sudah sama-sama kuliah. Di Surabaya, jelas.

Pendek kata, dialek Jakarta menjadi dialek nasional. Memang, sempat timbul kekuatiran sejumlah pihak di daerah bahwa logat daerah akan semakin menyurut penggunaannya, sehingga muncullah konsep penggunaan dialek lokal untuk acara-acara stasiun televisi yang berpusat di daerah, seperti JTV. Yang unik dari JTV adalah bahwa suplai acara dengan bahasa pengantar dialek Surabaya ini diperoleh juga dari Voice of America. (Catatan: Nadia Madjid lumayan lancar menggunakan dialek ini, walau telinga saya agak-agak gatal mendengarnya).

Di sisi lain, sebenarnya tidak ada yang salah dengan nasionalisasi dialek Jakarta. Sama seperti sah-sah saja bila orang tidak memiliki keterikatan emosional dengan tempat di mana ia dibesarkan, sehingga memilih untuk seratus persen menjadi bagian dari wilayah barunya; dan hal ini berlaku di manapun. Bila saya habis-habisan mengecam orang yang memilih untuk menggunakan dialek nasional ini di kotanya sendiri, orang lain boleh mengkritik saya yang hampir-hampir tidak bisa menggunakan bahasa Batak, daerah asal keluarga saya.

Pertanyaan berikut, yang tidak secara langsung mengenai bahasa, tapi menjadi konsekuensi logis dari perdebatan mengenai dialek adalah: apa sebenarnya manfaat pemeliharaan bahasa daerah? Sebabnya, hal tersebut dapat mengarah pada pertanyaan lain: apa manfaat pemeliharaan budaya? Ketika berbagai jargon mengenai pemeliharaan warisan budaya dikembangkan, saya belum melihat banyak penelitian mengenai kegunaannya. Kecuali bila dipandang budaya tertentu secara signifikan mendukung aspek-aspek penting dalam kehidupan manusia, misalnya adat suku tertentu yang melarang penebangan pohon selama beberapa tahun, yang tentunya sangat relevan dengan upaya pemeliharaan lingkungan hidup.

Saya beberapa kali membaca pendapat yang mengatakan bahwa identitas kultural penting bagi orang untuk memahami siapa dirinya, asal-usulnya, dan apa tujuan hidupnya. Terus terang, saya meragukan hal tersebut, terlebih dewasa ini, ketika dunia semakin tak berbatas (mengulang apa yang sudah saya tulis di atas). Saya tidak menyangkal bahwa saya selalu mengasosiasikan diri saya dengan atribut-atribut yang senantiasa mengikuti saya: suku saya, agama saya, marga saya, sekolah saya, tempat saya dibesarkan, dan -- sesuai dengan tuntutan pekerjaan -- negara saya. Tapi saya tidak merasa bahwa atribut-atribut tersebut menjadikan saya seorang manusia yang lebih baik, baik terhadap sesama manusia maupun terhadap bumi ini. Yang bisa dikecualikan barangkali adalah agama, dengan catatan bahwa implementasi perintah Tuhan sebagaimana diyakini dalam agama saya itu -- yang menekankan masalah kasih -- benar-benar saya laksanakan.

Ah, jangan-jangan saya semakin skeptis pada banyak hal. Dan tulisan ini semakin tidak fokus pada topiknya, hehehehe...

8 comments:

abhirhay said...

baru-baru ini di bandung (kalau tak salah) ada peraturan hari memakai pakaian daerah dan berbahasa sunda. dulu pernah saya baca, di sebuah instansi di jawa barat pula, berlaku aturan berbahasa sunda pada hari-hari tertentu. kalau salah grammar, tak ada ampun dikenai denda. bahasa tak melulu sebuah warisan budaya, ia juga sebuah pencapaian genius lokal. namun serbuan bahasa "nasional" pasti tak terelakkan. menurut unesco, tiap tahun beberapa bahasa di dunia punah, karena tak ada lagi penuturnya. sekarang terserah kita bagaimana?

Apey said...

Lenje, baca postinganmu jadi inget pak Dede Oetomo dgn makul Psikologi LIntas Budaya-nya..hehehe...Bersyukurlah kalo kita tumbuh dgn ragam budaya dan dialek bahasa yg bikin kita jadi multiculture growth person kayak kamu bilang. Cuman emang segimana kita bertahan dgn karakter dialek dari daerah mana kita berasal selalu dikonfrontasikan secara gak nyadar dgn kondisi jadi org "komunal". Saat kita berada di suatu komunitas baru dgn alasan supaya tetap dianggap "gaul" and gak ndeso (iki jare wong suroboyo jeng)....maka bisa saja tiba2 org sby yg baru 3 bln di jkt ngomong : "gue skrg tinggal di jkt. ya ginilah kalo gue ngomong skrg" . Dan kalo udah bisa bhs jakarta, biasanya cap 'GAUL' secara gak langsung ter stamp in.

Anonymous said...

abhi: wah, buatku peraturan harus memakai busana daerah dan berbahasa daerah di hari-hari tertentu kok terkesan superfisial ya. mending dengan cara persuasi, misalnya ya ala JTV itu.

apey: beruntungnya dirimu jeeeng, dapet pak dede. aku gak eling sapa dosen PLB ku biyen, lah wong ngajare gak enak ngono. komentarmu bikin aku inget sama seorang indonesia di sini, waktu memperpanjang paspor di KBRI. ini cerita temen2 di bagian konsuler sih. pas ditakoni jenenge, jawabane krungon kayak ngene: "Cemaire". Wah, ini kan bukan nama umum untuk orang indonesia. akhirnya timbang salah, dikongkon nulis. ternyata: Tumirah. critane awake wis gak isa cara indonesia maneh, soale wis 3 bulan nang dc. hehehhee... repot juga jadi anak gaul indonesia di amerika. ngerepotin petugas kbri maksude hehehe...

Pojok Hablay said...

Sebagai batak yg bangga mengaku orang bandung, logat melly Bandung banget. Cuman, kalo harus bepergian dari satu tempat ke tempat lain dan tinggal setidaknya seminggu di tempat itu, ternyata logat melly biasanya langsung menyesuaikan. Terlalu plin plan ya :)

Biar gitu, berharap dengan sangat, untuk tidak pernah berubah menjadi berlogat Jakarta...kesannya terlalu snob aja :)

loucee said...

saya anak jakarta. lahir dan besar disana.
waktu kuliah di bandung, cukup terbengong-bengong kalo teman2 saya ngobrol pake bahasa sunda. kadang saya protes "bahasa indonesia, dong!" tapi mereka suka lebih galak lagi, "eh, maneh teh di bandung. belajar nyunda atuh!" tapi sampe lulus dan balik lagi ke jakarta bahasa sunda saya tetep minim.

sekarang saya tinggal di glasgow, scotland. tapi bahasa inggris saya tetap terdengar amerika krn saya tinggal disana 4 tahun. apakah saya jadi beradaptasi menjadi terdengar seperti glaswegian? ternyata gak. soalnya saya gak ngerti accent mereka. aneh! gak kaya ngomong enggresh!

~loucee~

Anonymous said...

Basa ndeso ono opo,tak uncalke
Berlogat ndeso+Lucu
Logat mbledog

Anonymous said...

Logat krunyuL,bahasa klepon,Lucu,ndeso,gue sebel kalo mndengarnya,soalnya ndeso bangeet
mbledoooooog
Masa bhsa keto'e,di ke'i,ojo nesuu,
bahasa kopreeet

Unknown said...

kadang saya merasa aneh juga waktu pertama ke daerah pinggiran jakarta tangerang selatan logat bicara saya yg agak ke medan medanan menjadi bahan candaan padahal gak terlalu batak juga loh