..... Nobody tells me the road will be easy
I don't believe He's brought me this far to leave me....
Di atas adalah cuplikan sebuah lagu yang dinyanyikan paduan suara Bethel World Outreach, gereja yang sudah tiga pekan ini keluarga saya kunjungi, dalam rangka peringatan Black History Month.
[Catatan tidak penting I: walau sebenarnya saya pada dasarnya Lutheran, tapi karena gereja ini termasuk yang paling dekat dengan apartemen kami, dan tarian/nyanyian jemaat membuat saya tidak ngantuk, saya kira saya bisa bilang bahwa saya cukup menikmati kebaktian di sini.
Catatan tidak penting II: kebaktian ala Pantekosta paling cocok buat ibu saya. Ayah saya selalu berkata dia merasa seperti "bebek di tengah-tengah ayam" bila berada di tengah sekumpulan orang yang berdoa keras-keras, menari-nari dan berbahasa Roh. Terus terang, saya juga. Jadi boleh dikatakan bahwa kami sepakat untuk bergereja di Bethel World Outreach, ya demi ibu saya. Apalagi istilah "bebek di tengah-tengah ayam" sangat cocok buat keluarga kami. Di antara sekitar 100 orang jemaat pada jam kebaktian siang, kami adalah salah empat dari enam orang non- Afrika Amerika. Dari sudut manapun kami bakal kelihatan, apalagi kalau tertidur, hehehehe... Setelah kunjungan pertama, saya berkeras agar kami datang agak terlambat, supaya bisa dapat tempat di belakang!]
Anyway, back to the Black History Month.
Peringatan Black History dimulai pada tahun 1926, awalnya dengan nama "Negro History Week", oleh Dr. Carter G. Woodson, seorang cendekiawan Afrika-Amerika yang terlahir dari pasangan mantan budak. Dengan pendidikan dasar yang mulainya terlambat, dan harus diselingi kerja keras, kecerdasannya membuat ia bisa menyelesaikan tahap-tahap pendidikannya dalam waktu yang relatif singkat di universitas-universitas terkenal: Sorbonne dan Harvard (yang terakhir tempat ia memperoleh Ph.D-nya). Sebelum memprakarsai Negro History Week, Woodson mendirikan the Association for the Study of Negro Life and History (ASNLH) pada tahun 1915, yang bertujuan untuk mendorong, mempublikasikan, dan mencari dana untuk mendukung penelitian-penelitian maupun penulisan-penulisan mengenai pengalaman para warga kulit hitam. Usaha tersebut dilanjutkan dengan peluncuran Journal of Negro History (1916), Associated Publishers (1921), dan Negro History Bulletin (1937).
Dedikasi Woodson pada tujuan ASNLH begitu kuat, sehingga ia memilih untuk mendanai kegiatan ASNLH dari kantongnya sendiri atau dari sumbangan masyarakat Afrika-Amerika yang tidak besar, daripada menggantungkan diri pada kontribusi universitas. Tidak mengherankan bahwa jalan ASNLH tersendat-sendat. (Catatan: tahun 1976 nama ASNLH diubah menjadi Association for the Study of Afro-American Life and History/ASALH yang lebih "politically correct".)
Negro History Week -- sebagaimana disinggung sebelumnya -- dimulai tahun 1926 sebagai peringatan akan pencapaian kaum kulit hitam, dan dilaksanakan pada minggu kedua Februari yang sekaligus menandai hari ulang tahun Frederick Douglass (orang kulit hitam pertama yang memperoleh jabatan tinggi pemerintahan, terakhir sebagai konsul AS di Haiti) dan Abraham Lincoln. Pada tahun 1972, Negro History Week menjadi Black History Week, untuk selanjutnya pada tahun 1976 memperoleh perpanjangan waktu perayaan menjadi Black History Month.
Meskipun (mungkin) dalam pemahaman umum berakhirnya era perbudakan dimulai sejak deklarasi Emancipation Proclamation oleh Lincoln tahun 1863, yang disusul pengukuhan Amandemen ke-13 tahun 1865, namun sesungguhnya gerakan menghapus perbudakan sudah dimulai sejak 1700-an, dipimpin Inggris dan beberapa negara Eropa lain. Bahkan di wilayah Selatan yang marak dengan perbudakan pun, dalam populasi 6 juta penduduk kulit putih hanya terdapat 347.525 pemilik budak (1850). Di samping itu, dalam kurun waktu sebelum kebijakan emansipasi bagi para budak keturunan Afrika, warga kulit hitam telah memiliki pencapaian-pencapaian, misalnya:
- Tahun 1644: untuk pertama kalinya 11 orang kulit hitam mengajukan petisi pada Council of New Netherlands untuk memperoleh kemerdekaan mereka. Petisi tersebut dikabulkan Council New Netherlands dengan pemikiran bahwa orang-orang ini telah "mengabdi pada perusahaan selama 17 atau 18 tahun" dan "sudah lama dijanjikan untuk merdeka."
- Tahun 1773--- Phillis Wheatley menerbitkan "Poems on Various Subjects, Religious and Moral". Di samping merupakan penulis kulit hitam pertama, dan bukunya merupakan buku kedua yang diterbitkan oleh seorang wanita Amerika.
- Tahun 1787 -- James Derham, seorang bekas budak, menjadi dokter kulit hitam pertama. Ia membeli kebebasannya dan mendirikan praktek sendiri, yang cukup populer di kalangan kulit hitam maupun kulit putih. (Saya kira saya pernah membaca salah satu buku Laura Ingalls Wilder yang menceritakan seorang dokter kulit hitam yang merawat keluarga mereka.)
- Tahun 1836 --Alexander Lucius Twilight menjadi orang kulit hitam pertama yang terpilih ("elected" bukan "chosen", apalagi "appointed") untuk duduk di Dewan Legislatif Vermont. Vermont merupakan negara bagian pertama yang secara resmi menghapuskan perbudakan.
- Dst.
Salah satu ironi yang menarik bisa dilihat pada fakta bahwa senator kulit hitam pertama, Hiram Rhodes Revels, mewakili Mississippi -- salah satu negara bagian yang sampai dengan pertengahan dekade 1960-an menerapkan segregasi, dan tempat terjadi kericuhan besar setelah pembunuhan sejumlah orang kulit hitam oleh kelompok Ku Klux Klan. Ingat film "Mississippi Burning" kan?
Hal lain yang bisa digarisbawahi adalah bahwa Partai Republik yang lekat dengan citra konservatif dan sangat dekat dengan kalangan bisnis itu justru pada awalnya adalah partai yang memperjuangkan penghapusan perbudakan.
Kepahitan memang tidak semudah itu dihapuskan. Cap "budak" atau "keturunan budak" mungkin sampai sekarang masih melekat, setidaknya secara mental. Dalam tiga bulan pertama di sini, saya merasa kerap kali kurang diramahi oleh warga kulit hitam. Dan hal serupa ternyata dirasakan juga oleh beberapa teman lain, baik sesama orang Indonesia maupun Asia. Ingat kasus Miss Jones yang memaki rekan Asianya, "You Asians think you're better than us?" pasca kasus pengubahan syair "We Are The World" yang sangat tidak simpatik pada para korban tsunami? Seorang teman saya pernah bergurau, "Susah kalau mindset-nya masih perasaan diperbudak, padahal segregasi sudah dihapus berpuluh-puluh tahun." Mohon dicatat bahwa ucapan demikian bukan pertanda kurang simpati, tapi lebih merupakan ungkapan frustrasi karena kadang-kadang sikap yang ditunjukkan oleh kawan-kawan Afrika Amerika ini seperti mengatakan, "Kami belum memperoleh pampasan yang seimbang untuk penderitaan nenek moyang kami, dan sekarang kalian ada di sini untuk menjadi saingan kami?"
Aduh, moga-moga saya tidak menjadi rasis dan judgemental. Maaf kalau memang sudah begitu.
1 comments:
Gue setuju ama temen elu, susah kalo mindset masih diperbudak, inget temen2 dari afrika dulu yang sangat sensitif urusan kayak gini, padahal gue gak ada pikiran soal ras! btw, kasus Miss Jones itu gimana ya? gue pengen tau deh
Post a Comment