Iklan, "Iklan" dan Kode Etis

Walaupun koresponden media massa nasional sudah tidak banyak lagi di sini, tapi keagresifan kantor Karen Hughes membawa jurnalis Indonesia ke negara ini membuat saya banyak memperoleh teman baru. Yang paling seru buat saya sih ketemu dengan teman-teman dari penerbit daerah yang kadang-kadang namanya pun baru saya dengar. Dan memperoleh cerita mengenai bagaimana mereka berjuang untuk bertahan di tengah arus kompetisi, tidak saja dari sesama media beroplah DAN bermodal kecil, tapi juga nama-nama raksasa yang sudah lama mapan. Saya tidak tahu apakah sesudah mereka kembali ke kota asal mereka, koran mereka masih ada, hehehehe.. moga-moga sih!

Mulai melantur deh saya, seperti biasa. Padahal aslinya saya cuma ingin memberi komentar setelah obrolan tentang sekelompok jurnalis dari beberapa stasiun televisi dan majalah berita yang ikut dengan rombongan salah satu partai besar, waktu melakukan kunjungan ke kota saya. Diikutsertakannya jurnalis ke dalam delegasi bukan hal baru, terutama untuk kunjungan pejabat tinggi negara.

Tapi terus terang pembiayaan jurnalis untuk meliput dilakukan oleh satu partai tertentu baru saya lihat sekarang. Meskipun saya tahu bahwa petinggi partai itu memang dikenal lancar dengan uang, super pemurah dalam memberi tip, sehingga tentu tidak segan-segan mengucurkan dana untuk mempublikasikan kegiatan partainya.

Begitu percayanya orang partainya dengan kemampuan uang, sehingga sempat membuat naik darah koresponden kantor berita kita waktu mengusulkan, "Segera ke sini tanggal sekian ya mbak, buat wawancara si Bapak. Semua kita biayain deh!". Teman saya yang kecil-lincah-kocak dan biasanya penyabar itu memutuskan untuk tidak menghubungi sang orang partai karena sebal, hehehehe...

Si orang partai tidak salah juga. Dia (mungkin) hanya bermaksud mengganti waktu dan biaya yang terbuang, karena teman saya tentunya punya tugas peliputan lain. Cuma caranya itu loh. Apalagi karena partainya memborong wartawan dari beberapa media massa besar, kesan yang ditangkap seolah-olah daya tarik dan reputasi (baik) bisa dibeli. Eh, padahal memang iya ya? Hihihihi...

Di sini, media massa punya kekuatan sangat besar dan mereka berusaha memegang teguh kode etik. Kantor saya pernah punya program mengirim wartawan setempat ke Indonesia untuk meliput tempat-tempat wisata. Surat proposal kami memperoleh balasan negatif, karena mereka tidak mau menerima uang dari lembaga pemerintah. Setiap orang, instansi, perusahaan, dipersilakan mengirim informasi mengenai satu kegiatan, dan terserah mereka apakah akan diliput atau tidak. Sekiranya kami berkeinginan daerah wisata di Indonesia diperkenalkan ke pembaca mereka, mereka menyarankan kami menulis artikel tentang itu.

Bahkan teman-teman Indonesia yang bekerja untuk kantor berita pemerintah di sini juga berkeras untuk membayar kopinya sendiri ketika kami keluar bersama-sama. Padahal acara jalan bersama itu benar-benar dalam kapasitas pertemanan, bukan pekerjaan. Soalnya kalau ketahuan mereka bisa dipecat.

Barangkali memang kode etis tidak perlu diterjemahkan sekaku itu :). Juga pembiayaan perjalanan luar negeri bagi wartawan untuk meliput kegiatan satu partai mungkin bisa disamakan dengan iklan. Toh perusahaan-perusahaan swasta juga melakukan hal serupa ketika meluncurkan produknya: mengundang wartawan dan memberikan "kenang-kenangan". Hanya saya tetap susah menyamakan satu partai -- yang notabene isunya adalah isu sosial politik -- dengan perusahaan komersial. Kecuali kalau partai-partai di negara kita memang bisa dianggap perusahaan komersial. Paling sedikit dari titik pemikiran di mana aktif di partai menjadi sumber penghasilan hidup. Dan sebenarnya tidak salah juga kalau aktor politik beriklan. Lah, kampanye-kampanye kandidasi jabatan tinggi dari pihak yang berbeda-beda kan menggunakan media massa.

Hanya saja saya jadi bertanya-tanya apakah keikutsertaan dalam rombongan satu partai tertentu, dibiayai oleh partai itu, bisa mempengaruhi pemberitaan berimbang tentang partai tersebut, hehehe... Yah, saya memang tidak percaya pada obyektifitas penuh, termasuk obyektifitas jurnalistik. Namun saya merasa ketidakobyektifan berdasar keterikatan emosional atau ideologis tidak bisa disejajarkan dengan yang berdasar, er, pemasukan.

Menarik juga, bahwa salah satu stasiun televisi yang dibiayai ke mari adalah yang juga menonaktifkan presenter acara pariwisatanya setelah yang bersangkutan menulis tentang perlakuan kurang menyenangkan pemerintah negara tetangga. Tentunya, pemerintah negara tetangga itu membiayai kegiatan peliputan pariwisata negaranya dong :D.

5 comments:

Dodol Surodol said...

Lama-lama entar pemberitaan tergantung besar biaya. Kalo biaya kurang, pemberitaan jadi negatif.

Anonymous said...

Money Talk$... :(

Anonymous said...

siapa menguasai media akan menguasai segalanya, termasuk "realitas", hehe..

-Fitri Mohan- said...

kayaknya sih bakal susah jadi berimbang ya kalau liputan salah satu partai dimana wartawan yang meliput itu dibiayai oleh si partai. ada bahkan wartawan yang "dipiara" partai buat naikkin liputan2 soal partainya.

Anonymous said...

duit oke... berita yahud!

amplop tipis berita seret!

kayaknya itu yg berlaku di sini deh :) hehehehe! semoga ini bisa menjadi bahan pembelajaran yg baik buat kita semua :)