Lebih Enak Menyalahkan Tetangga

Sebelumnya saya ingin menyampaikan belasungkawa yang sebesar-besarnya pada Mbak Nila Tanzil yang baru saja mengalami musibah beruntun. Terutama setelah kehilangan orang tercintanya dalam salah satu tragedi transportasi negeri ini. Saya yakin Mbak Nila saat ini pasti masih kewalahan memperoleh (dan menanggapi) ratusan ungkapan simpati, baik via telepon, sms, maupun melalui komentar di blognya. Karena itu juga saya memilih untuk mengucapkan turut berdukacita melalui halaman ini, sembari mendoa agar Mbak Nila dihiburkan oleh Yang Memiliki Semua Kehidupan.

Lepas dari ungkapan bodoh yang dilontarkan bapak Datuk Adnan Bodong (selanjutnya disebut Datuk Bodong) tentang blog dan blogger, sebenarnya saya prihatin bahwa kita, para blogger Indonesia, sibuk mengutuk dan mencela Datuk Bodong tapi lupa bahwa yang sesungguhnya membuat Nila kehilangan pekerjaannya adalah stasiun televisi yang menayangkan acara wisata itu.

Lupakan dulu Datuk Bodong yang saat ini mungkin perlu agak-agak dikasihani karena dia telah menjadi ikon kebodohan pejabat pemerintah (ya, ya, biarpun saya keparat pemerintah, saya dengan senang hati kok menuliskan ini!). Kritik terhadapnya tidak hanya berasal dari negara kita, tapi barangkali lebih banyak dari komunitas blog di negaranya, tempat para pemilihnya (seperti yang dikatakannya sendiri). Klarifikasi yang dibuatnya malah membuatnya tampak makin konyol.

Justru yang sebaiknya harus diwaspadai adalah kecenderungan swa-sensor media massa kita tanpa alasan yang cukup kuat, atau untuk sebenar-benarnya kepentingan rakyat (wah, gawat nih tata bahasa saya, kayak kalimat untuk undang-undang). Saya teringat polemik di sini beberapa waktu yang lalu. Administrasi Bush mengecam dimuatnya bocoran rencana pemerintah AS untuk menyadap jaringan telepon dan membuka akses bagi pemerintah ke rekening-rekening bank sebagai bagian dari kebijakan keamanan nasional. Meskipun wacana kebijakan itu telah lama diperdebatkan, namun rencana eksekusinya jelas menggegerkan. Tak heran Bush menjadi meradang dan menyebut koran-koran besar yang memuat berita tersebut (termasuk di dalamnya New York Times, Washington Post, dan LA Times) tidak memiliki kepekaan mengenai gentingnya masalah keamanan. Sebagai balasannya, editorial koran-koran ini seolah-seolah serempak menekankan pentingnya diseminasi informasi yang mempengaruhi kehidupan publik.

Maafkanlah saya seandainya pernyataan saya berikutnya mungkin terlalu optimistik dan tidak mencerminkan kondisi yang sebenarnya: saya pikir pers Indonesia dewasa ini memiliki keleluasaan yang jauh lebih besar. Sayang sekali bila keleluasaan tersebut tidak dimanfaatkan untuk menyampaikan hal-hal yang betul-betul penting diketahui publik (termasuk berita hiburan, hihihihi...), kecuali untuk isu-isu yang memang sifatnya classified dan diminta narasumber untuk "off the record".

Tapi kasus Nila Tanzil itu kelihatannya lebih merupakan inisiatif yang didasarkan pada ketakutan stasiun televisi yang bersangkutan, setelah adanya komentar negatif dari seorang pejabat negara tetangga. Bukan petinggi negeri kita sendiri yang sebenarnya lebih punya kewenangan untuk menghentikan operasi stasiun televisi itu.

Entah bila ada alasan-alasan lain, toh stasiun televisi tersebut tidak merasa perlu memberikan penjelasan resmi, hehehhee... Ironis sih, soalnya stasiun tivi ini kondang karena liputan beritanya dan anchor-nya yang dianggap cukup berani mengeluarkan pernyataan-pernyataan tajam. Yah, untung juga buat mereka, luput dari kemarahan para blogger Indonesia, hahahhaa...

0 comments: