Sakratul Maut

Apakah yang kalian pikirkan, tahu beberapa saat lagi kalian akan meregang nyawa? Menghadapi gulita setelah peluru merobek jantung kalian? Hanya dapat melihat orang-orang yang kalian cintai dari kejauhan, tanpa dapat berbicara dan menyentuh mereka? Menyadari bahwa banyak impian yang tak akan pernah terwujudkan?

Apakah yang kalian rasakan ketika mendengar bahwa sebuah ritual untuk menghantar kepergian kalian pun tidak diijinkan? Bahwa tubuh kalian yang telah membeku tanpa roh, tangan-tangan kalian yang tidak lagi dapat bergerak, seolah-olah masih harus menjalani hukuman tambahan?

Membaca eksekusi Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus da Silva, tak urung tenggorokan saya tercekat, mata terasa panas. Rasanya berita itu menjadi puncak dari kehebohan dua hari ini, ketika telepon tak henti-hentinya berdering di kantor kami, dan hampir semuanya bernada serupa: memohon, menghimbau, mendesak agar hukuman mati atas ketiga tertuduh kasus Poso ditinjau ulang, penyelidikan dibuka kembali, dan pelaku sebenarnya ditangkap. Sebagian besar juga memperoleh informasi yang bias: bahwa proses peradilan tidak pernah dilakukan atas ketiga orang tersebut dan bahwa hanya mereka yang dihukum dan tersangka lain yang berbeda agama memperoleh amnesti sementara mereka tidak.

Jawaban saya sudah pasti standar juga. Bersama-sama mereka, sejumlah besar orang yang dicurigai terlibat kerusuhan juga diadili dalam sebuah pengadilan terbuka; mereka diberi kesempatan untuk membela perkaranya di berbagai jenjang pengadilan; semua bukti dan saksi memberatkan mereka. Jawaban itu saya berikan dengan gaya berbeda-beda, mulai dari lemah lembut dan sabar, sampai tak perduli karena saya sudah agak capek dengan berbagai kesibukan yang mendera. Wakil Presiden Anda kan akan ke sini! Kalau pihak di seberang terus menekankan mosi tidak percayanya, biasanya saya akan tutup dengan kalimat: "Kalau Anda tidak bisa menerima penjelasan kami, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi akan saya sampaikan keprihatinan Anda ke pusat."

Tentu saja kami akan melaporkannya, tanpa berharap bahwa apa yang kami sampaikan akan mendapat tanggapan. Seperti sering terjadi. Apalagi proses eksekusi sudah berlangsung.

Terus terang, saya ingin meyakini bahwa apa yang saya katakan sejalan dengan faktanya. Namun berbagai "fakta" yang dibeberkan di media massa justru menimbulkan dilema bagi saya, karena saya kemudian mempertanyakan kebenaran skenario keterlibatan ketiganya, meskipun selaku keparat pemerintah saya harus menegaskan kebijakan pemerintah kita -- yang sungguh-sungguh, dalam hal ini, saya ragukan.

Reasonable doubts
. "Lebih baik membebaskan 1000 orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah."

Barangkali ketiganya memang terlibat dalam peristiwa mengerikan itu. Barangkali mereka hanya kambing hitam. Sampai kebenaran terungkap, ketidakpuasan -- baik yang nyata diperlihatkan maupun yang terpendam -- hanya akan terakumulasi seperti bola salju yang bergulir turun dan membesar.

Dan saya khawatir, bahwa berbagai contoh kejadian lalu yang tidak pernah tuntas sampai kini -- mulai dari Supersemar, Peristiwa Tanjung Priok, kerusuhan Semanggi -- seperti jadi "contoh" yang menenteramkan para otak bahwa yang satu ini toh lama kelamaan akan lenyap juga. Mereka yang pergi adalah tumbal "kestabilan".

Entah kenapa juga, pikiran saya jadi melayang ke Cendana. Orang yang kelihatan ringkih tapi tak tersentuh. Hm. Saya sendiri sedang cari kambing hitam? Melampiaskan frustrasi dan rasa tidak berdaya dan kemarahan?

Apapun itu, "adil" tidak akan pernah universal. Karenanya, dengan berat hati sekalipun, saya kira saya harus mengamini Gandhi dengan bilang bahwa kalau semua mata harus diganti mata, maka seluruh dunia akan jadi buta. Pemenangnya cuma para penulis cerita silat, yang selalu menangguk keuntungan dari rangkaian dendam. Mungkin memaafkan harus lebih dari tujuh puluh kali tujuh, dan pipi kiri selalu siap disorongkan, supaya rantai itu bisa diputuskan. Aduhai sukarnya!

6 comments:

Anonymous said...

less or more we both feel the same thing...

bagi saya mah...ANEH!!!...yang lain aja belon di eksekusi kok, kenapa case tibo cs jadi serba instan gini?

gak adil! itu komen saya...

Pojok Hablay said...

mendapat beberapa analisis, mau kak?
sedih banget
udah dari 24 jam sebelumnya, sms terus dateng nge-update. rasanya tenggorokan tersekat.

dan tampaknya keinginan orang2 itu terwujud dengan munculnya berbagai kerusuhan. i hate them so much

Sontoloyo said...

apa mungkin karena TIBO itu kristen yah ?
memang sih hukuman ini tidak boleh di sangkutkan dengan agama.

maksud gue gini...yang nunggu hukuman Mati kan banyak tuh...tapi kenapa Tibo di duluin ?

karena dia dituduh merugikan masyarakat mayoritas...huaaaa gue pake kata2 mayoritas.

Maaf2 nih yah teman karena peristiwa ini sangat absurd,dengan semua tekanan dari umat Islam (man they always know who to depress)..sekali lagi gue kaga bermaksud SARA nih...cuman kok yang kaga pernah Demo tentang si pembuat bom bali itu yah ? ayo dong demo juga biar cepet dihukum mati...(sebernya gue sih kaga pernah setuju hukum mati...mau orang itu islam keq,atheis keq..kaga stujuuu)

Mana nih "ma'ar ma'ruf nahi mungkar"nya ??

budibadabadu said...

Rabindranath Tagore's The Gardener LXXXI: "Why do you whisper so faintly in my ears, O Death, my Death?"

kuyazr said...

weh...saya pikir bahwa mereka telah terbebas dari dunia yang kacau balau ini. Tugas mereka telah selesai.Pulang ke desa kedamaian abadi.Mungkin mereka sekarang sedang mentertawai kita yang masih saja bodoh mempersoalkan hal2 yang semu.Mereka telah melihat kebenaran. Kebenaran sejati. Yang tidak akan kita miliki di sini. Di dunia ini.

Anonymous said...

Se7 ama kuyazr. Mereka udah pulang ke rumah Bapa yg damai. Kita2 yang ditinggalkan ini masih harus ngadepin orang2 Farisi yang harus kita ampuni 7 juta kali atau kita sorongkan pipi kiri-kanan kalo perlu jidat dan lain2nya biar puas. Tapi jangan mandi, biar mereka kena kudis & kurap :)
Btw si Ucup ngapain aja disana? Gak dicariin emaq nya kecil2 gitu mainnya jauh amat.....