A Call in Silence

It was only a few months ago when we last spoke on the phone for almost four hours, rambling about anything from office affairs to current issues to "Munich". The next day: walking down the street, holding hands, small talks -- I can't even remember what we were chatting about, since it was the kiss that made the day.

The kiss.

Feeling your lips softly touching mine, the five seconds of bliss and passion and warmth. It was brief, yes. Yet the memory left a trail of joy, until a shocking scene brought it down. It was my fault, I think, letting it ruin that tiny corner of my heart. I should've built a fortress at the first place, knowing how vulnerable I was when it came to you.

Yes, time finally did heal the pain.

But in a way it also snatched our friendship.

Why? Why can't I call you at lunch time, or grab you for a cup of capuccino, like we used to do? Why can't I ring you at nights, hearing your stories, debating your ideas (oh, you are so stubborn! heheh..), gossipping our friends? Why can't I ask you to go to a movie without second thought? Why can't we plan a trip together again?

I guess I should cast aside the pride, eh? The fear of rejection has become my biggest enemy. It pulled me away from you. From a good companion.

But... but will you also take my hand? I'm still a bit worried that you will stand still there and I will be left here, feeling denied. I am not that strong, not yet. Somehow, though, I feel like you are looking at me from the distance, calling me in silence.

Sucks!

I'm at the point of hating my work's requirement and actually thinking of leaving it.
Funny, because I love what I do, and my friends and co-workers here are gems.

But having to deal with suckers in other government agencies isn't that tempting. Constant pressures to be diplomatic at all times, especially to those who don't really deserve it, gave me nausea. When I blew up, of course it was entirely my fault, as I should've known how to deliver the message properly. For not being able to do that, I'll probably end up getting sacked. Haha.

Perhaps my resignation will do good for both sides. After all, there's not much that I've contributed to my office, right?

I'm not ready to make nice
I'm not ready to back down
'Cause I'm mad as hell,
And I don't have time to go round and round and round
It's too late to make it right
I probably wouldn't if I could
'Cause I'm mad as hell
Can't bring myself to do what it is you think I should

(Not Ready to Make Nice - Dixie Chicks)

Better start looking for a rich dude! :p

Sakratul Maut

Apakah yang kalian pikirkan, tahu beberapa saat lagi kalian akan meregang nyawa? Menghadapi gulita setelah peluru merobek jantung kalian? Hanya dapat melihat orang-orang yang kalian cintai dari kejauhan, tanpa dapat berbicara dan menyentuh mereka? Menyadari bahwa banyak impian yang tak akan pernah terwujudkan?

Apakah yang kalian rasakan ketika mendengar bahwa sebuah ritual untuk menghantar kepergian kalian pun tidak diijinkan? Bahwa tubuh kalian yang telah membeku tanpa roh, tangan-tangan kalian yang tidak lagi dapat bergerak, seolah-olah masih harus menjalani hukuman tambahan?

Membaca eksekusi Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus da Silva, tak urung tenggorokan saya tercekat, mata terasa panas. Rasanya berita itu menjadi puncak dari kehebohan dua hari ini, ketika telepon tak henti-hentinya berdering di kantor kami, dan hampir semuanya bernada serupa: memohon, menghimbau, mendesak agar hukuman mati atas ketiga tertuduh kasus Poso ditinjau ulang, penyelidikan dibuka kembali, dan pelaku sebenarnya ditangkap. Sebagian besar juga memperoleh informasi yang bias: bahwa proses peradilan tidak pernah dilakukan atas ketiga orang tersebut dan bahwa hanya mereka yang dihukum dan tersangka lain yang berbeda agama memperoleh amnesti sementara mereka tidak.

Jawaban saya sudah pasti standar juga. Bersama-sama mereka, sejumlah besar orang yang dicurigai terlibat kerusuhan juga diadili dalam sebuah pengadilan terbuka; mereka diberi kesempatan untuk membela perkaranya di berbagai jenjang pengadilan; semua bukti dan saksi memberatkan mereka. Jawaban itu saya berikan dengan gaya berbeda-beda, mulai dari lemah lembut dan sabar, sampai tak perduli karena saya sudah agak capek dengan berbagai kesibukan yang mendera. Wakil Presiden Anda kan akan ke sini! Kalau pihak di seberang terus menekankan mosi tidak percayanya, biasanya saya akan tutup dengan kalimat: "Kalau Anda tidak bisa menerima penjelasan kami, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi akan saya sampaikan keprihatinan Anda ke pusat."

Tentu saja kami akan melaporkannya, tanpa berharap bahwa apa yang kami sampaikan akan mendapat tanggapan. Seperti sering terjadi. Apalagi proses eksekusi sudah berlangsung.

Terus terang, saya ingin meyakini bahwa apa yang saya katakan sejalan dengan faktanya. Namun berbagai "fakta" yang dibeberkan di media massa justru menimbulkan dilema bagi saya, karena saya kemudian mempertanyakan kebenaran skenario keterlibatan ketiganya, meskipun selaku keparat pemerintah saya harus menegaskan kebijakan pemerintah kita -- yang sungguh-sungguh, dalam hal ini, saya ragukan.

Reasonable doubts
. "Lebih baik membebaskan 1000 orang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah."

Barangkali ketiganya memang terlibat dalam peristiwa mengerikan itu. Barangkali mereka hanya kambing hitam. Sampai kebenaran terungkap, ketidakpuasan -- baik yang nyata diperlihatkan maupun yang terpendam -- hanya akan terakumulasi seperti bola salju yang bergulir turun dan membesar.

Dan saya khawatir, bahwa berbagai contoh kejadian lalu yang tidak pernah tuntas sampai kini -- mulai dari Supersemar, Peristiwa Tanjung Priok, kerusuhan Semanggi -- seperti jadi "contoh" yang menenteramkan para otak bahwa yang satu ini toh lama kelamaan akan lenyap juga. Mereka yang pergi adalah tumbal "kestabilan".

Entah kenapa juga, pikiran saya jadi melayang ke Cendana. Orang yang kelihatan ringkih tapi tak tersentuh. Hm. Saya sendiri sedang cari kambing hitam? Melampiaskan frustrasi dan rasa tidak berdaya dan kemarahan?

Apapun itu, "adil" tidak akan pernah universal. Karenanya, dengan berat hati sekalipun, saya kira saya harus mengamini Gandhi dengan bilang bahwa kalau semua mata harus diganti mata, maka seluruh dunia akan jadi buta. Pemenangnya cuma para penulis cerita silat, yang selalu menangguk keuntungan dari rangkaian dendam. Mungkin memaafkan harus lebih dari tujuh puluh kali tujuh, dan pipi kiri selalu siap disorongkan, supaya rantai itu bisa diputuskan. Aduhai sukarnya!

Neglecting Eden


With the latest discovery of fish, shrimp and coral species, including two new types of walking shark, researchers dub its water "Earth's richest seascape and the most biodiverse marine area in the world". And only months ago scientists in the Foja Mountain expedition found an abundant number of new species of plants and animals -- for hundreds of years have lived in tranquility, somehow been safeguarded from the greediness of "civilized" groups of Homo sapiens.

Maybe it's God's course of leaving a remnant of Eden on this part of the globe.

Adam and Eve had to surrender Eden for they had taken it for granted: their existence, their life in it, was subject to their obedience to their Creator.

We have been neglecting Eden. What do we expect?

Pathetic! (aka Entry Menyek-menyek)

These past few days, this old song has been repeated over and over again in my car's stereo and my beloved iPod. The refrain stays in my head, and I often find myself humming it -- even singing it out loud in the restroom, in front of the mirror, with ..er.. "that" expression. Usually when nobody is nearby. At times I don't even bother if a co-worker is apparently sharing the space and flashes me "that" look -- you know, curiousity, ready to spread a news around. I'd just give him/her a wicked smile.

Send me a lover
Someone to believe in
Please send me someone that I can hold

Yes, perhaps it's the time of the year again. When summer is almost ever and the sun smiles tenderly. In only a few weeks, the whole town will breeze up, the sky will be gloomy, and beautiful, colorful trees will indulge our eyes, embracing us with serenity.

And there is an emptiness inside. Of that feeling.

It's not just the physical proximity, having someone's arm around me and mine around him, hearing his heartbeat when I lay my head on his chest, seeking warmth from his body. Or walking through the falling leaves, holding hands, laughing, and exchanging kisses and quick pecks.

Neither is it about listening to a voice a thousand miles apart, blurting sweet words and affections and promises. Reading sentences of love on my tiny cellular phone or the computer's monitor which makes me smile and blush and my eyes dreamy.

It's the sense of belonging, closeness, missing. They're nowhere now. It doesn't hurt, but it is saddening.

Send me a lover
A new beginning
Someone to take away the cold
And give me back what I've been missing
All the love that lays and waits inside your heart

Except, "you" is a blank line.

Kakaaaak...!!!

Saya agak syok waktu tahu Eda keren ini memberikan panggilan kesayangan untuk anjing-anjingnya. Coba ya, ada "Noel" untuk Lionel, atau "Mister Ty" untuk Tigger, dan entah apalah lagi (kalau tidak salah tercatat sedikitnya lima panggilan!). Seharusnya saya tidak perlu setakjub itu ya, lah adik saya memanggil salah satu anjing kami "Bevie", singkatan dari "Beverly" -- haduhaduhaduh! Saya sendiri tidak terpikirkan untuk memberikan nama pendek bagi hewan-hewan peliharaan. Kadang-kadang kucing saya pun hanya saya panggil "Pus", paling keren juga "Pusye". Pokoknya tidak kreatiflah!

Tapi obrolan maya soal nama kecil itu entah kenapa mengingatkan saya pada anak-anak lucu di kantor saya. Kebetulan mayoritas teman sejawat saya adalah orang tua muda dengan anak-anak berumur antara dua sampai sembilan tahun. Kami kerap mengadakan acara bersama, entah piknik, entah ke outlet-outlet raksasa di luar kota, atau mengunjungi museum/ taman hiburan/ de-es-be.

Dalam situasi demikian, jamak melihat "kehebohan" yang sering menyertai acara-acara tersebut. Mulai dari anak-anak yang berlari ke sana kemari, menangis, berebut mainan, menumpahkan makanan dan minuman... serta tentunya para orang tua yang berseliweran atau berseru-seru memanggil atau menegur putera-puterinya. (Belum lagi para "oom" dan "tante" yang ikut mengejar-ejar mereka, hehehe...).

Nah, begitu terjadi panggil-memanggil, yang terdengar adalah seruan-seruan seperti:

"Abang, sini! Jangan terlalu dekat ke air, nanti kamu jatuh!"

"Kakak, coba pegang Adek dulu. Mama mau ke mobil ambil minuman."

"Adeeeeek.. kamu di mana? Aduh, nanti kotor roknya!"

Pokoknya langsung banyak "kakak", "abang", "mas", "adik", dan itulah panggilan yang digunakan walaupun masing-masing tentunya sudah punya nama sendiri. Mendadak semua punya nama yang sama, dan tidak ada yang bisa menyalahkan kalau anak-anak ada yang jadi bingung atau malah cuek sama sekali.

Penggunaan "gelar" atau "status keluarga" untuk memanggil seorang anak memang sangat umum di keluarga Indonesia, mungkin juga di Asia (belum saya cek sih ke teman-teman dari negara Asia lain), dan kaitannya mungkin erat dengan pembiasaan menerima tanggung jawab sosial selaku anggota keluarga. Sebutan "Kakak/Abang/Mbak/Mas/Teteh/Aa/dsb." yang pada umumnya identik dengan kelahiran pertama (walaupun sering juga panggilan "mas" atau "mbak" diberikan tanpa memperhatikan urutan kelahiran yang bersangkutan) mencerminkan perilaku yang diharapkan dari yang bersangkutan: kepemimpinan, sifat melindungi dan membela; serta hak-hak yang diperoleh: pakaian pertama, mainan pertama, dan seterusnya. Sebaliknya, sebutan "Adik" merefleksikan kelebihlemahan, muda, perlu dilindungi -- dan sebaiknya patuh pada yang lebih tua (walau bila kebetulan "Adik" adalah anak bungsu, pemberontakannya sering dimaklumi ketimbang kalau dia anak tengah).

Hipotesis ini jelas ngawur-ngawuran, tapi kayaknya cukup sesuai diterapkan di saya. Saya dan adik satu-satunya tumbuh dengan kebiasaan saling memanggil nama, tanpa menggunakan embel-embel "Kakak" atau "Adik", kecuali sebutan "Butet" yang hampir selalu dipakai semua anak perempuan keluarga Batak. Karena itu, barangkali, rasa tanggung jawab dan jiwa kepemimpinan saya agak minim, dan adik perempuan saya lebih perkasa dari kakaknya, hihihi...

Omong-omong, yang lebih mengagetkan saya adalah panggilan "Adek" untuk seekor anjing! Coba ya, selucu-lucunya puuuuunnn....