Biro Jodoh Anonymous (1)

Tulisan Rio yang bikin saya ketawa guling-guling ini mengingatkan saya, seperti saya katakan dalam komentar saya, pada masa-masa kegelapan ketika muncul berbagai sms maupun telepon dari orang yang tidak saya kenal. Melalui sms ada yang bilang: "Halo, apa kabar?", atau "Boleh kenalan?", dan lain-lain semacamnya. Sedangkan penelepon misterius umumnya akan memulai dengan sapaan serupa atau: "Hai L, saya X, saya dapat nomor kamu dari..." Nah, di sinilah misteri tersebut terkuak.

Saya sempat bingung bagaimana saya bisa begitu bekennya, sampai pernah muncul pikiran buruk karena terlalu GR: jangan-jangan ada orang yang sakit hati karena saya tolak *huahahahaha...* lalu menyebarkan nomor telepon saya di internet? (Eh, jaman sekarang apa saja mungkin loh!).

Untungnya dalam waktu singkat, terungkaplah sindikat perjodohan saya.

Sejak mendekati usia kepala tiga tanpa terlihat tanda-tanda kehadiran calon suami yang cukup menjanjikan di mata orang tua maupun orang-orang tua (alias om, tante, nenek, kakek, dan seterusnya), orang tua saya mulai berperan sebagai katalisator proses kimiawi paling tua di dunia ini. Tidak cukup dengan sindiran, pertanyaan langsung, maupun menjadikan topik ini pokok doa utama dalam acara kebaktian pagi rutin keluarga kami -- yang terkadang rasanya seperti sindiran juga buat saya, hahaha... -- ayah dan ibu mulai berkomplot dengan para sejawatnya untuk mencari prospek-prospek "Sang Pria" untuk saya.

Berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya, di mana saya bakal marah besar kalau tahu ada upaya-upaya "pihak ketiga" mendatangkan pria dalam kehidupan saya, orang tua saya bersikap lebih hati-hati. Mereka bertanya dulu apakah saya bersedia berkenalan dengan si Anu, putera/keponakan/anak teman/tetangga dari seorang teman/sepupu/kenalan/jenis-jenis saudara lain mereka. Dan apakah saya bersedia ditelepon oleh yang bersangkutan.

Dalam hal ini, saya boleh bilang bahwa seiring dengan bertambahnya umur, saya lebih bijaksana *tsah!*. Saya iyakan saja, toh tidak ada ruginya menambah kenalan baru.

Yang tidak saya perkirakan adalah ayah-ibu saya memberikan nomor telepon selular saya kepada pria yang akan diperkenalkan ke saya itu. Saya pikir mereka akan menyarankan supaya telepon perkenalan diarahkan ke rumah, karena sudah pasti saya tidak suka diganggu di kantor (kecuali kalau yang mengganggu teman-teman sendiri, atau pacar, hihihhi...). Dan karena boleh dikata saya tidak pernah sampai di rumah sebelum pukul sembilan malam, telepon-telepon itu kemungkinan baru akan dilakukan pada akhir minggu. Itu juga kalau saya tidak sedang keluar dengan adik tercinta atau teman-teman.

Namun saya kira tindakan orang tua saya sudah tepat. Saluran selular tentunya memberikan saya kebebasan untuk menentukan apakah saya akan menerima atau mengabaikan telepon dari si balon (alias bakal calon) itu.

Model menghubungkan seperti ini tidak hanya dilakukan oleh orang tua, tapi juga teman-teman. Bedanya, upaya teman umumnya akan disambut dengan senang hati. Iya kan? Karena sudah terbentuk stereotip bahwa "teman dari teman" mempunyai probabilitas kecocokan dengan selera kita yang lebih tinggi dibandingkan calon yang disodorkan orang tua. Padahal belum tentu juga, ya?

Kenyataannya memang belum ada upaya perjodohan dari orang tua maupun keluarga yang lain yang sukses bagi saya. Setelah telepon pertama maupun kedua, sering tidak ada kelanjutannya. Entah saya yang tidak tertarik dengan bahan pembicaraannya sehingga cenderung menghindar, entah pihak sebelah sana yang tidak pernah menelepon kembali.

6 comments:

Anonymous said...

jadi kalo telpon kamu harus gigih ya...katanya sih memang harus gitu...

Anonymous said...

Dalam hal ini, saya boleh bilang bahwa seiring dengan bertambahnya umur, saya lebih bijaksana *tsah!*. Saya iyakan saja, toh tidak ada ruginya menambah kenalan baru.

wikikikikikik...bijaksana? btw ada dong ahh ruginya, eksklusifitas berkurang. soalnya makin banyak yang kenal :D :D

Anonymous said...

moga2 ada yang nyangkut salah satu jeng: tlah datang lelaki pilihan..tlah datang lelaki pilihan...

guario said...

Wakakakaka... susahnya keluarga gue udah banyak yang sukses perkara jodoh-jodohan, kakak gue contohnya. Nggak heran nyokap gue tuh ambisius banget jadinya untuk mengulang keberhasilan, hihihi...

Anonymous said...

hedi: gigih boleh, tapi jangan keukeuh. kudu liat2 situasi dong. liat di postingan saya berikutnya:D.

nana: gpp. yang lebih banyak dikenal (dalam konotasi positif loh ya) malah bikin greget kan? *PD*

okol: huaaaaaa.. liburan??? mau dooooongggggggggg!!! kalo soal nyangkut.. ah, pria bukan jemuran, jeng :D.

rio: iyah. dan lo sama ambisiusnya untuk menghindari ambisi nyokap lo itu kan? :p

Apey said...

Hahahaha...woalah jeng...Lah untungnya nyokapku masih blm smpe tahap kasih nomer HP buat di jadiin "komoditi" tuh..hwkakaa...