Bicara Tentang Pilu

Berbicara tentang bencana yang menimpa saudara-saudara kita di Bantul, Yogyakarta, Magelang, Klaten, dan sekitarnya, saya sedang tidak bisa merangkaikan kalimat indah seperti isian Dinda dalam blognya. Sumpah, membaca tulisan itu, dada saya terasa sesak.

Pulang ke kotamu
Ada setampuk haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat...

Saya bukan penduduk asli Yogyakarta. Keberadaan saya di sana lebih banyak berupa singgahan. Tapi Yogya telah lama memikat saya, dan saya tidak pernah merasa bosan di kota itu. Lepas dari segala perubahannya, beserta berbagai fenomena baru yang tak pelak lagi merupakan bagian dari perjalanan zaman, bagi saya Yogya seolah-olah menetapkan peraturan sendiri mengenai waktu. Tidak diam di tempat, tapi melangkah dengan santai, dan membiarkan waktu yang mengikutinya.

Mungkin karena itu saya merasa sakit memikirkan kesedihan dan ketakutan yang saat ini membayangi Yogya dan daerah lain di sekitarnya. Gagasan mengenai memandang bintang di tengah keluasan langit malam di atas sawah kehilangan keromantisannya, berganti dengan gambar sekumpulan orang yang menengadah ke atas karena tidak ada pilihan, dengan kecemasan bercampur kepasrahan: adakah Sang Khalik masih berkenan mengaruniakan lebih banyak hari untuk mereka lihat?

Walau kini engkau telah tiada, tak kembali
Namun kotamu hadirkan senyummu abadi
Ijinkanlah aku untuk selalu pulang lagi
Bila hati mulai sepi tanpa terobati...

Banyak hal lain yang menusuk perasaan saya lebih dalam.

Ketika orang mempertengkarkan kepantasan pemberian predikat "bencana nasional" untuk bencana ini. Bencana adalah bencana, apapun skalanya. Nyawa satu manusia sama berharganya dengan seribu nyawa manusia. Kenapa harus membiarkan rasa keadilan yang lebih banyak dibentuk oleh ego ini mengalahkan simpati dan belas kasihan untuk mereka yang kehilangan sangat banyak?

Ketika kesusahan dieksploitasi. Dengan rasa hormat kepada teman-teman yang benar-benar peduli (dan saya tahu pasti Jeng Okol adalah salah satunya), entah kenapa saya merasa banyak organisasi kemanusiaan, khususnya yang berpusat di tempat saya bermukim sekarang, yang cenderung memanfaatkan keadaan ini untuk menarik lebih banyak donasi. Oh, ya, saya tahu bahwa mereka toh akan melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Tapi saya muak memikirkan bahwa penderitaan sebagian saudara saya memberi keuntungan kepada orang lain yang tidak berbagi tanah air dengan saya.

Apakah ini post yang berisi kemarahan? Tidak juga. Hanya mengeluarkan unek-unek, sambil menyiapkan malam dana besok :).

Selamat berakhir pekan, kawan. Dan terima kasih atas seruan-seruannya. Saya merasa dimiliki kalian, orang-orang yang mungkin tidak pernah saya lihat bentuk fisiknya, tapi yang saya tahu memiliki ketulusan pertemanan dengan saya.

0 comments: