Setelah 30 Tahun...

Saya bertemu dia untuk pertama kalinya lebih dari tiga puluh tahun lalu. Saya baru saja melangkah keluar pintu apartemen saya, untuk membeli susu di 7Eleven, beberapa blok dari gedung apartemen saya. Seorang pria menyapa saya, menanyakan ke mana saya akan pergi. Ketika saya menjawab bahwa saya akan ke 7Eleven, dia menyahut: "Wah, kamu tidak bisa ke sana. Gedungnya terbakar."

"Ah, yang benar?" mula-mula saya tidak percaya.

"Lihat saja sendiri." Kepalanya mengangguk ke arah tertentu. Benar. Saya dapat melihat keramaian di kejauhan, dengan truk pemadam kebakaran, beberapa mobil polisi dan sirine meraung-raung.

Kami bercakap-cakap sejenak setelahnya. Saya kemudian tahu bahwa ia seorang detektif polisi. Pantas ia tadi tidak memakai seragam.

"Boleh saya tahu nomor telepon kamu?"

Saya ragu sesaat. Sejauh ini dia telah menjadi orang yang menyenangkan, tapi saya terbiasa untuk menerapkan sikap "jinak-jinak merpati" yang diajarkan ibu saya. Jadi saya berikan padanya nomor telepon saya, namun dengan menukar posisi beberapa angka di belakang.

Saya segera melupakan kawan baru tersebut sampai beberapa bulan kemudian telepon rumah saya berdering, dan saya mendengar suara yang asing di seberang.

"Masih ingat saya? Kita kenalan di depan apartemenmu."

Saya tertegun. Peristiwa saat itu berkelebat di kepala saya. "O ya, tentu saya ingat. Tapi rasanya saya tidak pernah memberikan nomor telepon saya," sahut saya lemah.

"Kamu berikan kok. Hanya kamu putar nomornya. Kamu lupa ya, saya kan polisi. Wilayah saya mencakup daerah apartemenmu. Tentunya saya punya akses ke sumber-sumber informasi."

(Menghela napas. Matanya yang cantik, dengan keriput di ujung-ujungnya, bersinar. Kami masih mendengarkan.)

Kencan pertama kami diikuti kencan-kencan berikutnya. Sampai kira-kira setahun kemudian, ia meminang saya. Dan saya menolaknya.

"Kenapa?" nada suaranya menyiratkan luka hatinya.

"Saya belum siap," jawab saya, tak sanggup menatap matanya. Maafkan saya, bisik saya dalam hati. Saya mendarat di negara ini dua tahun lalu, tanpa membawa apa-apa, untuk melarikan dari dari seseorang yang sangat istimewa bagi saya, namun tidak bisa saya miliki. Mungkin saya masih takut. Atau entah apa.

Dia tidak mengulang lamarannya lagi. Tapi beberapa bulan setelah kami berpisah, saya mendengar ia telah menikah dengan orang lain.

Sakit hatikah saya? Saya tidak ingat. Saya rasa iya, namun saya terlalu pragmatis untuk berlama-lama berkubang dalam kesedihan.

Setelah itupun saya bertemu dan mengawini suami pertama saya. Namun, ya, kalian tahu bahwa ternyata rumah tangga kami tidak berjalan mulus, meskipun saya mencoba mempertahankannya sekuat tenaga. Ia menerima tawaran kerja di negara bagian lain, dan saya menolak untuk pindah bersamanya ke sana. Mungkin hati kecil saya sudah melihat tanda-tanda ketidakbersamaan kami, tapi saya tetap tidak mau berpisah dengannya. Sampai kemudian ia mengabari saya bahwa ia telah berhubungan lagi dengan orang lain. Perempuan bangsa kita juga. Saya kira saya tidak punya pilihan selain menceraikannya, setelah empat tahun pernikahan.

(Kami memandangnya dengan takjub. Saya dan Renata saling melirik, penuh arti.)

Kebetulan adik ipar pria pertama saya bekerja sekantor dengan mantan suami saya. Mereka bertemu di pengadilan, dan tanpa curiga si adik ipar bercerita padanya mengenai perpisahan kami. Dia lalu menelepon saya.

"Saya mendengar tentang perpisahan kamu dengan Peter. Saya turut bersimpati denganmu."

"Terima kasih. Yah, mungkin itu yang terbaik bagi kami..."

"Saya rasa begitu. Omong-omong...," nada suaranya sedikit ragu, "mau makan bersama siang ini?"

Saya mengiyakan.

Barangkali tanpa saya sadari, kami telah memasuki zona yang cukup rawan, karena makan siang pertama itu diikuti dengan beberapa kesempatan makan siang lain, serta minum kopi bersama. Saya seperti terhentak ketika kemudian ia mengusulkan makan malam. "Saya akan menjemputmu, seperti biasa."

Saya tercenung sebelum menjawab, "Saya tidak bisa lagi, Mike. Kamu telah beristri. Saya juga sebenarnya saat ini hidup bersama dengan kekasih saya." Tentu saja saya berbohong.

Ada selang waktu beberapa menit sebelum akhirnya ia berbicara lagi. "Baiklah, saya mengerti."

Keesokan harinya, sebuah buket mawar tiba di kantor saya, dengan sepucuk kartu terselip. Bertuliskan: Karena saya mencintaimu, saya tidak akan mengganggu kehidupanmu lagi.

Dia memang tidak menghubungi saya kembali. Namun sejak saat itu, setiap Valentine's Day, setiap ulang tahun, atau momen penting lain seperti Natal dan Paskah, saya selalu menerima rangkaian mawar dengan kartu berinisial M.

Selalu demikian selama tujuh tahun berikutnya, sampai kemudian saya menerima berita mengejutkan dari seorang teman saya. Istrinya meninggal karena kanker. Saya tahu, sebagai seorang teman seharusnya saya meneleponnya untuk menyampaikan belasungkawa saya. Entah apa yang saya pikirkan saat itu, saya hanya mengirimkan bunga padanya.

Selang dua minggu, ia menelepon saya untuk mengucapkan terima kasih atas ungkapan simpati saya.

"Bukan masalah. Seharusnya saya menghadiri pemakaman isterimu, tapi waktu itu pekerjaan saya tidak bisa ditinggalkan," sahut saya.

Itulah kabar terakhir darinya, sebelum ia menghilang lagi dari kehidupan saya. Saya juga tidak berusaha mencarinya. Saya sibuk dengan pekerjaan yang saya cintai ini, dan kegiatan-kegiatan sosial saya. Begitu penuhnya jadwal sosial saya, sampai saya tidak menyadari bahwa saya boleh dikatakan tidak punya waktu untuk percintaan.

Tapi, yah, itulah. Mungkin kami memang sudah digariskan bersama. Dua tahun kemudian, ia membuka komunikasi lagi dengan saya, dan kami tak terpisahkan setelahnya. Delapan belas bulan lalu kami menikah.

(Umur perempuan menarik ini 55 tahun, dan suaminya 63 tahun, ketika mereka akhirnya mengikat janji.)

Melihat pengalaman saya itu, saya bisa berkata begini kepada kalian perempuan-perempuan muda: biarkan saja cinta mencarimu. (Celetukan iseng keponakan saya: "Terus, gimana dong kalau cintanya tidak bisa menemukan kita? Apa enggak sebaiknya kita bantu?"). Waktu akan membuktikan kesungguhan rasa seorang laki-laki.

Yah, Ibu, kau memang beruntung bahwa kau akhirnya dipersatukan dengan orang yang selalu mencintaimu selama tiga puluh tahun. Tapi apa iya kami juga harus menunggu selama itu? Hehehehe...

[Penuturan seorang teman sekantor, di rumahnya yang menyenangkan. Ditimpali masakan buatannya yang sangat menggelitik lidah. Kami mengelilingi meja makan, di dapur dengan jendela yang menghadap ke kebun, menyajikan kehijauan yang membelai mata.]

Nature's Call?

Lately I've had the strangest feeling. (Quoting Mr. Richie).

I want my own offspring.
I'm dreaming of taking care of a newborn, my flesh and blood. The apple of my eye.
I'm picturing myself going home in a rush, can hardly wait to see the cute little one in need of my help, my arms, my very presence.

Nature's call? Maybe. Funny, because I thought I've past that stage. Well, though I've always liked children and babies, I don't think I'm mature enough -- mental wise -- to be a good mom (despite my "mature" age), hehehe... I'm the poster girl for disorganization, for a start! I've always had this firm belief that parents should be role models for their children -- and with me being a careless person and everything else, how could I fulfill this task? (Oh, this thought is already so depressing!)

Second, I still can't figure out how I'm going to have one. Tube baby? Sperm donor? Or the more exciting, traditional way: one night of fun. The latter one is so tempting, but that would definitely be the last choice - I've to make sure that I'm fertile at that time and it has to be safe. Chances are, I have to find a virgin, which is even rarer in my age group, and I might end up getting busted for devirginizing an underager!

I haven't even given a thorough observation on the social factor: our so-called values. Our hypocrite society is still totally resentful of a single women conceiving her own baby. And I am not so much of a breakthrough person. Not yet.

Of course, I could always opt for the safest, and the most noble choice: adopting a child of a disadvantaged family. But why oh why this option doesn't really attract me? Hm, perhaps I've lost my compassion.

I've even come to lunatic ideas, like putting on a banner in my friendster page: "WANTED: A MAN TO BEGET A BABY. NO STRINGS ATTACHED. CALL 202*******". I don't have to spare some time to write down an ad, prospective males can already check out my profile. Or simply accept the first marriage proposal, ANY marriage proposal. Huhuhu. Things that I wouldn't normally do, ever.

But, who knows? I completely understand how impulsive I can be at times! Though, like all other moodswingers in the world, I could regret it later, hehehe...

Bersatu kita teguh! Bercerai kita.. aduh!

Dear teman (juga),

Kita dibiasakan untuk menerima tanpa bertanya, sebab kalo diakomodasi semua pertanyaan itu bisa2 ketauan kalo yang ditanyain gak pernah merasa perlu menyiapkan jawaban dan alasan logis kenapa sesuatu harus dilakukan atw dilarang. (btw, mengenai logis/tidak logisnya sesuatu bisa dilihat juga dengan kepercayaan bahwa kita "menang" berjuang melawan penjajah hanya dengan menggunakan bambu runcing!).

Apalagi dari kecil kita juga dicekoki bahwa bangsa kita memiliki semangat gotong royong yg tinggi, yg berarti semuanya harus dilakukan bersama2 (bolos rame2, misalnya) dan dengan toleransi yg tinggi (membiarkan atw bahkan memberikan contekan ke teman kita waktu ujian, hehehe...).

Semangat gotong royong ini tampak sekali dari adagium yg kita junjung tinggi ("bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh"), sehingga kita tidak yakin bahwa kita bisa berhasil kalau bekerja sendiri, dan bahkan kerap menerapkan semangat persatuan dan loyalitas pada teman secara membabi buta. misalnya, tawuraaannnn.... (iya kan? sering orang tawuran gak tau masalahnya di mana).

Saking gotong royongnya kita, kita takut berbeda. Gak usah jauh2, liat aja di mal2, mulai model rambut, baju, sepatu, sampe gaya dandan sama semua. Kita udah jadi manekin keluaran pabrik.. Mungkin akhirnya kita gak perlu nama, kasih aja nomor identitas, hehehe...

Bisa diubah gak? Mungkin bisa, mungkin enggak. Yang perlu direformasi bukan cuma sistem regulasi, tapi juga mental, dan -- ya -- bahkan budaya. Knp harus mengecam individualisme kalo toh ternyata individualisme itu sudah diterapkan? Misalnya, ya, misalnya, waktu kita marah2 jalan kita diserobot, waktu kita gak ngasih kesempatan pejalan kaki nyeberang, bahkan waktu kita dengan seenaknya menjalankan motor di trotoar dan bahkan ngerasa berhak utk mengklakson pejalan kaki untuk minggir. Helooo..????

Temanmu.

PS: Soal kedinginan -- loh, kita kan penganut paham Biar Dingin Asal Gaya! hihihi...

Catatan:
Ini jawaban saya atas surat dari ibu ini. Saking narsisnya, saya muat juga di blog saya sendiri! Hehehe...