Tanpa Tarian Hujan


Pertama-tama, saya ingin mengucapkan terima kasih pada para teman dan komentator atas ungkapan simpati maupun upaya menghibur saya. Sebenarnya posting itu bukan dimaksudkan untuk meratap-ratap, walau saya akui kegundahan saya pasti terlihat di dalamnya. Yang jelas, saya merasa beruntung bahwa banyak yang memperhatikan saya, walaupun mungkin kita belum pernah bertemu dalam kehidupan nyata. Tapi pertemanan adalah masalah kedekatan jiwa, percakapan antar pikiran pula, sehingga wujud fisik kerap tidak lagi diperlukan.

Bagi saya, sudah cukup segala kegalauan ini. Waktu dan hidup terus berjalan, dan saya tidak bisa terperangkap selamanya dalam rasa gundah yang menghalangi langkah saya selanjutnya. Dunia tidak akan berhenti menunggu saya siap bangkit lagi, terlebih ada amanah 230 juta rakyat Indonesia di pundak saya, hehehee.... Lagipula bercerita mengenai pengalaman saya bertemu dengan komunitas Indian Quileute (baca: ku-li-ut) rasanya lebih menyenangkan.

Dan agak mengejutkan, karena ternyata mereka... biasa-biasa saja.

Jangan membayangkan kumpulan tenda wigwam dengan asap mengepul dari pucuk-pucuknya, tiang totem di tengah-tengah, seorang kepala suku dengan nama eksotis, wajah tanpa ekspresi namun kharismatik, dan tarian hujan. Meskipun judulnya "reservasi" tapi perkampungan Indian pertama yang saya lihat ini benar-benar perkampungan: sebuah lahan seluas 1 mil persegi yang dihuni sekitar 300 jiwa, dalam rumah-rumah kayu.

Perjalanan menuju kediaman mereka sendiri tidak kalah menariknya buat saya. Untuk pertama kalinya saya menumpang pesawat kecil, Cessna 208B, yang berkapasitas 9 orang (tidak termasuk supir alias pilot). Kala melihat tangga lipat diturunkan, saya sempat berpikir apakah tangga itu cukup kuat menahan tubuh gajah saya dan barang-barang berat yang saya bawa. Saya menenangkan diri dengan berkata sendiri bahwa kalau toh saya jatuh, rasanya tidak akan terlalu sakit atau membahayakan nyawa saya, karena jarak pintu pesawat ke tanah cuma sekitar satu setengah meter, hehehe...

Kursi penumpang kecil-kecil dan saya agak kesulitan memakai seatbelt yang memang agak berbeda dari yang berada di jenis pesawat yang biasa saya tumpangi. Namun akhirnya saya "terpasang" juga dan siap menikmati perjalanan saya. Naik pesawat kecil ini rasanya hampir seperti naik bajaj: bergetar dengan suara memekakkan telinga. Ibu saya yang takut pada ketinggiannya sudah mencapai taraf akut pasti pingsan sepanjang perjalanan.

David Umansky, konsultan Yahudi yang menjadi juru bicara masyarakat Indian Quileute di DC serta sekaligus pemandu saya untuk perjalanan ini, sebelumnya telah mengiming-imingi saya dengan pemandangan menakjubkan dari atas hamparan Semenanjung Olympic tempat komunitas Quileute berdiam. Selain pantai-pantai yang cantik, gunung-gunung biru, kehijauan hutan pada Taman Nasional Olympic, danau-danau dan aliran sungai yang seperti benang perak, menurut David kita akan bisa melihat kumpulan perumahan masyarakat asli negara ini. Di samping Quileute, suku-suku Indian yang mendiami daerah ini adalah S’Klallam, Ozette, Quinault, Hoh, Skokomish, Lower Elwha Klallam, dan Makah.

Ternyata saya harus kecewa, karena awan yang cukup tebal menghalangi pemandangan itu. Tapi David meyakinkan saya bahwa di darat nanti saya akan tetap dapat menyaksikan kecantikan alam Semenanjung Olympic juga. Saya mengiyakan, walau dalam hati agak kecewa karena lenyapnya kesempatan melihat perkampungan suku Indian yang lain. Kira-kira empat puluh menit kemudian kami telah tiba di bandara Fairchild, Port Angeles. Mobil sewaan David telah menunggu untuk membawa kami ke La Push yang jaraknya kurang lebih 60 mil dari Port Angeles.

Sepanjang perjalanan dalam mobil, David bercerita mengenai pekerjaannya mengangkat isu-isu kepentingan suku Indian Quileute untuk memperoleh perhatian masyarakat maupun pemerintah Federal di DC. Seluruh daerah seluas 900 mil persegi yang kini menjadi taman nasional Olympic, tutur David, sebenarnya adalah tanah adat masyarakat Quileute. Setelah wilayah tersebut dijadikan taman nasional, suku Quileute dipaksa mendiami lahan seluas 1 mil persegi yang sekarang menjadi reservasi mereka. Masyarakat Quileute sedang memperjuangkan untuk memperoleh tambahan 1 mil persegi lagi, yang akan dimanfaatkan mereka untuk membuka satu usaha untuk meningkatkan perekonomian mereka.

"Kamu akan melihat bahwa mereka hidup dengan sangat sederhana," kata David. "Tapi mereka adalah orang-orang paling pemurah yang pernah saya kenal. Tiap saya mengunjungi mereka, saya tidak pernah pulang dengan tangan kosong. Pasti ada saja oleh-oleh yang mereka berikan pada saya, walaupun saya telah mereka bayar untuk pekerjaan saya sekarang. Tarif yang saya kenakan pada mereka separuh dari yang biasa saya minta dari klien saya yang lain, dan untuk itupun mereka harus berusaha keras mencari pendanaannya."

Sampai di sana, David meninggalkan saya sejenak di kantor ketua Dewan Suku Quileute -- alias kepala suku -- Russell Woodruff. Lupakan gambaran seorang kepala suku Indian seperti yang saya sebut di atas; Russell yang bersuara lembut, berambut pendek yang hampir semuanya sudah kelabu dan berkemeja kotak-kotak, tidak beda dengan orang-orang setengah baya lain seantero Amerika. Saya berbincang sejenak dengan seorang wartawan lokal yang tengah mewawancarai mereka, sebelum keluar untuk melihat-lihat kantor Dewan Suku Quileute dan membuat potret-potret di luar kantor.

Pemukiman Indian Quileute terletak di pinggir laut. Penghasilan mereka, selain dari resort yang mereka bangun di Second Beach, juga dari penangkapan dan penjualan produk salmon asap dan kepiting. Yah, mereka memang tergolong "kurang mampu" untuk ukuran AS, tapi tentunya jangan dibandingkan dengan golongan kurang mampu di negara kita, karena banyak di antara mereka yang memiliki kapal-kapal penangkap ikan yang cukup canggih. Ada satu tiang totem, tapi karena letaknya di depan sebuah rumah makan, nilai sakralnya jadi berkurang di mata saya, hehehe...

Acara yang akan diselenggarakan suku Quileute dan saya hadiri ini adalah peringatan setahun tsunami sekaligus pelatihan rutin mereka untuk evakuasi diri. Karena lokasinya, daerah tempat mereka tinggal cukup rentan terhadap dampak tsunami sekiranya terjadi gempa bawah laut di wilayah itu. Di daerah mereka memang telah dipasang sistem peringatan terhadap tsunami, dan mereka perkirakan sekiranya hal itu benar-benar terjadi, mereka akan memiliki waktu kurang lebih 15 menit untuk naik ke tempat penampungan sementara yang letaknya di dataran yang lebih tinggi. Bahaya dampak tsunami ini pula yang menjadi salah satu concern mereka dalam menyuarakan keinginan mereka untuk memperoleh tambahan lahan, karena area yang mereka minta letaknya di dataran tinggi.

Puas potret-memotret, Russell dan David memanggil saya untuk berpindah ke gedung tempat diselenggarakannya acara, yang difungsikan juga sebagai tempat penampungan sementara yang saya sebutkan tadi.

Acaranya sendiri terdiri dari rangkaian sambutan (termasuk dari saya, tentunya, mewakili KBRI, cieeeeeee...) yang memakan waktu cukup lama, sebab sepertinya hampir semua orang ingin mengucapkan sepatah kata, yang kemudian ditutup dengan upacara tradisional. Nah, upacara adat ini yang cukup menarik.

Sejumlah orang yang umumnya manula dengan membawa semacam beduk kecil dan pemukulnya maju ke depan, dan bersama-sama dengan beberapa remaja membentuk setengah lingkaran. Saya sebagai representasi dari negara yang dilanda tsunami tahun lalu didudukkan di tengah-tengah mereka. Kemudian seseorang -- yang rupanya kepala kelompok drumming untuk upacara-upacara adat Quileute -- berbicara.

Sang pemimpin drumming menyebutkan bahwa mereka sekarang akan menyampaikan doa bagi para korban tsunami, untuk mengangkat kesakitan dan kepedihan mereka. Doa tersebut dalam bentuk nyanyian yang konon diwariskan pada keluarga-keluarga tertentu. Jadi masing-masing keluarga memiliki nyanyian magis mereka sendiri, yang telah diturunkan dari generasi ke generasi. Sang pemimpin drumming mengisahkan pula bahwa nyanyian ini telah menyertai nenek-nenek moyang mereka beratus-ratus tahun lampau dalam menyeberangi sungai dan lautan untuk menolong sanak saudara mereka yang membutuhkan bantuan di tempat lain. Bila dipercaya, katanya, ode yang akan mereka panjatkan dapat menyembuhkan luka batin para korban tsunami di Aceh.

Selama beberapa saat mereka menyanyikan doa mereka, yang ditujukan kepada "Pencipta" sembari memukul beduk-beduk kecil mereka dalam irama tertentu, sedangkan saya duduk diam mendengarkan mereka. Nyanyian mereka unik karena tanpa syair, hanya seperti seruan "aiueo" yang dilagukan dengan khas. Sepertinya bagi mereka kata-kata tidak penting, karena seruan berlagu itu sudah mengekspresikan harapan mereka. Sementara kelompok drumming memainkan musik ritual mereka, kelompok remaja menggerakkan tangan dan tubuh mereka dalam tarian yang di mata saya mirip tortor, dari daerah asal saya.

Kemudian saya dipanggil untuk berdiri dan bergabung dengan mereka. Salah satu anggota kelompok drumming menyerahkan beduknya kepada saya dan meminta saya untuk ikut memukul beduknya, serta mengarahkan saya kapan saya harus berhenti bersama-sama dengan anggota lain. (Belakangan saya tahu dari David bahwa meminta saya untuk ikut memukul beduk demikian adalah bentuk penghormatan tertinggi yang dapat mereka berikan kepada tamu mereka). Setelah selesai, mereka melingkarkan sehelai selimut khas Indian ke seluruh tubuh saya seperti tengah memberkati. Kemudian dua orang remaja memberikan kepada saya selembar poster bertuliskan alfabetikal Quileute sebagai cendera mata, dan saya diminta sang pemimpin drumming untuk berbicara.

Sulit bagi saya saat itu untuk berkata-kata, tidak saja karena saya belum menyiapkan pidato pendek untuk upacara ini *ehem*, tapi terlebih karena saya terharu atas sambutan mereka. Akhirnya dengan terbata-bata saya mengucapkan terima kasih, dan terbirit-birit ke tempat duduk saya semula untuk mengambil cenderamata yang sudah saya siapkan untuk mereka.

Upacara selesai juga. Waktu saya melipat selimut yang sudah dihadiahkan ke saya itu, Russell mendekati saya sambil menyerahkan sekantong plastik besar ikan salmon asap yang ia buat sendiri serta sekeranjang oleh-oleh. Sambil malu-malu (tapi senang) saya menerima pemberiannya. Apa yang saya bawa untuk mereka sangat tidak berarti dibandingkan yang saya terima, karena saya hanya memberikan suvenir khas KBRI, berupa koin keemasan yang bergambar Garuda Pancasila dan bangunan KBRI di sisi baliknya, di samping sejumlah buku, kalender KBRI, dan map-map Indonesia untuk anak-anak yang saya maksudkan untuk para siswa sekolah dasar mereka. Barang-barang tak berjiwa dan tanpa makna, tidak seperti yang mereka berikan untuk saya.

Kemudian seorang ibu setengah baya berjalan ke arah saya. Russell mengenalkannya ke saya sebagai guru adat sekolah di lingkungan reservasi tersebut, yang mengajar sejarah dan kebudayaan Quileute kepada generasi muda mereka. Sang ibu menyampaikan rasa simpatinya pada saya, kemudian memberikan seuntai kalung manik khas mereka yang cantik. Waduh, tambah hadiah lagi. Saya ribut mengucapkan terima kasih padanya sambil memeluknya.

Pendeknya hari itu saya menjadi seorang pesohor (kata baku selebriti :P) di sebuah desa penduduk asli Amerika.

David mengajak saya makan siang di klub para orang tua Quileute. Dewan Suku telah mendirikan sebuah tempat khusus bagi manula Quileute untuk berkumpul, membaca-baca, mengobrol sesamanya, dan makan siang gratis. Di sana Russell mengenalkan saya pada para manula dan memamerkan koin KBRI yang diterimanya.

Seorang perempuan manula yang semeja dengan saya mengenalkan diri sebagai Beverly Lowdown. Sebenarnya saya sudah bercakap-cakap dengannya di kantor Russell, tapi baru di klub manula inilah saya berkesempatan mengobrol lebih lama dengannya. Saya tertarik pada aksennya yang unik, yang justru mengingatkan saya pada cara bicara para imigran Vietnam.

"Saya campuran Amerika dan Kanada," jelasnya. Ayahnya Quileute, ibunya dari salah satu suku Indian di Kanada. "Kami punya logat sendiri."

Selanjutnya Beverly bercerita mengenai konferensi antar suku yang digelar beberapa waktu lalu. "Saya bernyanyi di sana, dan banyak di antara peserta yang menangis setelah itu, karena syair lagu saya menyentuh permasalahan mereka, "katanya. Ia kemudian menyanyikan lagu ciptaannya itu dengan suara yang tidak terlalu lirih: lagu dengan irama khas Indian lama, mendayu, berkisah tentang sakit hati mereka atas diskriminasi yang mereka alami, hak-hak yang tidak mereka peroleh, warisan budaya yang hilang. Keprihatinan karena banyaknya saudara sebangsanya yang tenggelam dalam alkoholisme dan obat-obatan. Dan kepasrahan pada Sang Pencipta.

Oh Pencipta, peganglah tanganku
Tuntunlah aku dalam jalanku menuju Engkau
Kuatkan bangsaku
Lindungi bangsaku

Saya hanya bisa mendengarkan dan menyimak lirik lagu itu, yang walaupun tidak dibuat dalam rima yang sepadan tiap kalimatnya, namun menyiratkan kesedihan dan ratapan. Alkoholisme dan ketergantungan pada obat-obatan adalah masalah yang hampir selalu muncul di reservasi-reservasi Indian, buah dari perasaan tidak berdaya, tertekan, dibedakan, frustrasi berkepanjangan. Banyak di antara para keturunan Indian yang memilih untuk tinggal di luar reservasi untuk mencari kesempatan dan hidup yang lebih baik, tapi banyak juga yang lalu kembali untuk memperoleh ketenteraman dan perasaan mengenal lingkungan tempatnya bertumbuh. Ini menjadi seperti lingkaran setan, karena kembali berarti masuk lagi ke kondisi tertekan dan (relatif) terbelakang. Betapa pun banyaknya konvensi dan kovenan internasional mengenai penduduk asli (indigenous people), pada kenyataannya sukar bagi mereka untuk mencari sumber-sumber yang memungkinkan mereka untuk maju: ruang gerak mereka dipersempit dalam reservasi-reservasi, lahan mereka menjadi milik negara atau dijual konsesinya kepada pihak swasta. Persis seperti yang terjadi di Indonesia: tanah adat yang justru dimanfaatkan oleh para pemegang HPH dengan modal beratus-ratus juta, dan manfaat yang hampir tidak ada bagi para pewaris yang sesungguhnya.

Dalam perjalanan pulang, saya merenung sambil melihat keindahan alam yang kami lewati. Gunung kebiruan menjulang gagah, puncaknya diliputi salju dan diselimuti awan-awan, memberikan kesan mistis, jauh, tak tergapai, perkasa. Saya membayangkan, beribu-ribu tahun lampau, ketika orang Eropa belum mencapai benua ini, para penduduk asli menata kehidupan mereka di sekitar gunung-gunung itu, yang mungkin mereka puja sebagai tempat bersemayam para dewa-dewa mereka. Dalam kepala saya tercipta bayangan sekumpulan orang sedang memanggang elk (sejenis rusa yang hidup di daerah itu) di api unggun besar pada malam hari, wigwam mengelilingi mereka. Mereka bercakap-cakap, tertawa, bercerita, bernyanyi dengan pemujaan pada Pencipta yang mereka yakini dan nenek moyang mereka. Rasa khawatir mereka hanya pada pergantian musim, ketika mereka mungkin harus menyesuaikan cara hidup mereka dengan perubahan alam, atau ketika mereka harus mempertahankan wilayahnya dari invasi kelompok lain. Saya seperti mendengar gema suara mereka di kejauhan, terbawa oleh semilir angin.

7 comments:

Sontoloyo said...

Pasti yang terpikir oleh gue adalah perkampungan Hiawata lengkap dengan tenda seperti bawang dan topi2 bulu yang mereka pakai.
Kemaren gue sempet denger dikit bahwa di dalam perkampungan indian ada sebuah selimut yang di sakralkan.Selimut itu dirajut oleh 1 orang yang harus melalui beragam ritus dan upacara untuk menenun selimut tersebut.

Di ceritakan bahwa orang yang menenun selimut tersebut tidak boleh mati sebelum selesai.Konon setelah selesai maka jiwa penenun tersebut akan selama lamanya tinggal di dalam selimut tersebut.

It was a really great story...
Tentang menjadi seorang pemenang, menyelesaikan apa yang sudah di mulai,mencurahkan seluruh jiwa raga kita untuk hal yang kita percaya dan kerjakan

Boe said...

waaaa.... pocahontas!!!!

Okol said...

..................
*speechless secara antropolog, karena sirik* (I believe that your notes is more beyond this!!!)

Dindajou said...

huhuhuh... indian modern di kepala gw adalah karakter yang nemenin Lorenzo Lamas di renegade itu loh... sapa sih namanya? Nggak gitu2 amat yak? huhuhuh...

gw ada tiga buku winnetou di rumah, tapi belum gw jamah sedikitpun. karena kayaknya boring. tapi, mungkin akan mencoba dibuka lagi kali ya...

Anonymous said...

Dulu saya pikir si Ermy Kulit itu orang Manado, rupanya orang Indian ya?? Oooooo... [sambil ngangguk2...duh,begonya] :D

btw, saya sbg salah satu rakyat Endonesah berterima kasih atas pengabdianmu mu, tapi tolong kalo bertutur itu jangan pake bumbu2 "keliru memisahkan saya dari paus2" atau "menahan tubuh gajah saya".
Buuuuu,kamu cakeeeeeeeeepppp!!!
[dan pergombalan pun dimulai lagi...hihihihihi]
Tapi itu serius, pesinden, eh, presiden, eh, preseden buruk buat generasi muda seperti saya ini (muda???...hehehehe) kalo perempuan secerdas dirimu [cieee...gombal-garombal lagi,jek!] masih "tersisa" hal2 yg berbau purbakala itu.
Iya, tak elok nian, walaupun cuma sekedar berkelakar.

O ya, karangan mu bagus, saya kasih ponten mmmm...mmmm... 6!
(Lohh, pelit buangeett?!)
Habisnyaaaa, ga ada cerita ttg berburu bison, atau nyari jejak, atau cara2 ngulitin kepala...hiiiii...hororrrr...:D

Selamat datang,yak! [untuk proses pemulihan yg cepat, saya kasih ponten 9!]

Anonymous said...

Looooh, diriku dgn si "Awesome girl" barengan gitu mosting komen-nya..hmmm... Jodoh kali,yak? kuakakakakakakakakakakakakak....:D

Ketawa,dong,bu...nah, gitu,doooooong!

Udahan,ah, mo betulin genteng bocor...
huh, sebel banget ama Dewi Gerimis! :)

dwiAgus said...

what an amazing experience....!!!