Sleepless (on the way to) Seattle

"You will enjoy it, trust me," kawan saya Renata meyakinkan saya.

Saya sendiri tidak begitu yakin. Masalah pribadi yang masih membebani saya membuat prospek terbang sendiri selama 5 jam kurang begitu cerah. Bisa-bisa saya melamun dan sesenggukan di pesawat, dan menjadikan diri sendiri tontonan gratis penumpang yang duduk di sebelah saya. Dalam situasi seperti ini rasanya lebih menyenangkan bersibuk-sibuk ria menyambut kedatangan kepala kantor yang baru, di tengah khalayak ramai. "Ya, moga-moga saja," sahut saya sambil menghela napas.

Padahal sejak diberitahukan bahwa saya di"perintahkan" atasan tercinta untuk mewakili kantor saya di acara yang diselenggarakan komunitas Indian Quileute di negara bagian Washington, antusiasme saya meluap-luap. Maklum, sudah lama saya berniat melihat perkampungan penduduk asli negara raksasa ini, dan tahu-tahu kesempatan tersebut muncul.

Keraguan sebenarnya sudah dimulai sejak saya tahu rute yang harus saya tempuh untuk mencapai tempat diselenggarakannya acara ini. Dari DC saya harus terbang ke Seattle, yang memakan waktu 5 jam. Dari Seattle sendiri saya masih harus pergi dengan pesawat kecil ke pelabuhan udara lain yang terdekat dengan perkampungan Indian Quileute, Port Angeles. Selanjutnya saya akan bermobil sejauh 72 mil!

Mbak Dewi yang membantu saya memesankan tiket pesawat sudah menyatakan kepesimisannya. "Yakin?"

Saya tidak yakin sebenarnya. Tapi rasa ingin tahu, hasrat melarikan diri dari persoalan, dan tekad untuk membuktikan kegagahan saya (hahaha...) membuat saya menganggukkan kepala dengan mantap. (Padahal dalam hati sih, sangsiiiiiiii....). Selanjutnya saya banyak bercanda dengan teman-teman saya, mengkhayalkan nama-nama Indian yang mungkin akan dianugerahkan kepada saya (kalau memang begitu, kurang kerjaan sekali ya sukunya, hehe...). Yang mengharukan, teman-teman kantor yang biasanya acuh saja kalau saya akan berdinas keluar kota atau ke luar negeri, kemarin banyak memberikan pelukan dan ucapan selamat jalan. Hm, kalau saya percaya takhayul, saya sudah mempertanyakan apakah itu semua menandakan sesuatu. Apalagi seorang teman kantor -- dengan semangat melucu yang malah bikin takut -- memperingatkan mengenai kemungkinan tanah longsor karena hujan terus-menerus di daerah itu.

Walaupun kota berkabut tebal, namun pesawat yang saya tumpangi akhirnya berada di atas awan juga, dan ternyata kondisi di sini lebih cerah! Dan ternyata pula saya memperoleh tempat duduk di tengah, yang biasanya sebisa mungkin saya hindari. Saya agak gembira ketika penumpang di sebelah kiri dan kanan saya adalah, ehm, pria-pria muda yang tampaknya sopan-sopan. Rapi pula.

Sampai saya bertanya kepada salah satu dari mereka, ke mana tujuan mereka. Ketika dijawab, "Kodiak, Alaska," teman di sisi lain langsung menyahut, "O ya? Kapal apa?"

Selanjutnya mereka berdua terlibat percakapan seru mengenai kapal masing-masing (jangan tanya saya bagaimana pembicaraan yang dimulai dengan "mau ke mana" bisa berujung pada obrolan mengenai spesifikasi kapal). Yang seorang marinir, yang lain penjaga pantai. Karena pembicaraan sudah sangat teknis, saya memilih menenggelamkan diri di balik buku sambil tetap menguping. Ada juga yang menarik, karena si penjaga pantai sudah lama tinggal di Alaska, sedangkan si marinir baru akan ditempatkan di sana. Jadilah si penjaga pantai bercerita mengenai hal-hal yang bisa dilakukan di Alaska -- rupanya tidak banyak. Apalagi di Kodiak, pada musim dingin pula. Saya membuat catatan mental atas ceritanya, karena Alaska adalah salah satu tempat yang ingin saya kunjungi satu saat nanti, walaupun saya khawatir di sana orang bisa keliru memisahkan saya dari paus-paus, hehehe... Pengetahuan saya tentang Alaska terbatas pada apa yang saya peroleh dari Northern Exposure!

Kekhawatiran saya bahwa perjalanan ke Seattle akan saya habiskan dalam kedukaan (ckckckck...) ternyata tidak beralasan, sebab baru beberapa saat membaca mata saya sudah terasa berat. Saya cuma tidur tiga jam malamnya, karena harus bangun sebelum subuh untuk menyiapkan koper dan bawaan lain. Celoteh teman-teman seperjalanan saya (walaupun saya merasa jadi nyamuk) ikut menjadi kidung pengantar lelap saya, sampai saya dibangunkan untuk makan.

Sampai di Seattle saya mendapati salah satu suvenir yang saya bawa untuk komunitas Indian itu tidak ada. Saya tidak ingat bahwa suvenir itu ikut saya masukkan ke kompartemen barang di atas tempat duduk, jadi kemungkinan besar terjatuh di bandara Reagan atau di belalai gajah. Rasa kesal pada diri sendiri, panik karena ingat harus mengubah jadwal perjalanan ke Port Angeles, serta residu masalah pribadi membuat saya mau menangis. Langsung saya telepon keponakan tercinta untuk menumpahkan unek-unek saya. Anak cantik itu seperti biasa berhasil menenangkan saya dengan mengingatkan bahwa saya selalu bisa mencek ke Lost and Found. Kalau memang tidak ada ya, apa boleh buat, harus impor lagi dari Jakarta. Ah, bodohnya saya. Begitu saja bingung. Padahal biasanya saya bisa berpikir lebih jernih.

Beres pengubahan jadwal perjalanan berikutnya membuat saya lebih tenang, sehingga saya memutuskan untuk mencari kendaraan shuttle ke hotel yang telah saya pesan sebelumnya. Yang tidak saya perkirakan adalah ternyata saya harus menunggu cukup lama sampai kendaraan tersebut muncul. Saya bahkan sempat membuat foto diri sendiri, dengan raut wajah kecapekan dan kesal.

Yang kemudian cukup menghibur saya adalah karyawan hotel tempat saya menginap sangat ramah. Apalagi begitu masuk kamar saya melihat sudah tersedia kabel internet kecepatan tinggi, yang bermanfaat sekali untuk membuat entry blog kali ini, hehehe...

Mengingat waktu yang agak terbatas di Seattle, saya berpikir-pikir untuk melihat kota ini malam nanti. Tapi hujan yang belum berhenti sejak tadi membuat saya ragu apakah saya bisa merealisasikan keinginan itu.

Saya lirik kedua ranjang ukuran twin di kamar saya.

Saya benci kesunyian ini.

7 comments:

Pojok Hablay said...

hate twin beds banget. entah kenapa. oya, ada masanya suka deng, waktu harus pergi dengan tumpukan kerjaan, tempat tidur yang satu akhirnya jadi tempat numpukin berkas dan segala macem tetek bengek deh.

enjoy the trip, have a great one

Anonymous said...

was it raining when u were there?

Anonymous said...

hmmm kesunyian...

Hedi said...

Semoga kesunyian itu bisa membuat anda tidur nyenyak di ranjang berukuran twin itu.

Dindajou said...

nama indianku yang ditranslate ke bahasa indonesia: terperangkapdalamtubuhanakkecil tapicute. wahwhahwah... cheer up! you're going to meet six pack indian guys!!! helooooo!!!

Anonymous said...

Entah apa yg telah terjadi dgn hubungan Meg Ryan dan Tom Hanks. Dua-duanya udah dewasa, dan dari profil,postingan dll, sepertinya keduanya punya karakter yg bisa jadi suri teladan, punya karakter yg kuat!!...tapi koq sekarang????
Ga habis pikir saya ini... Gara-gara LDR kah? "Level selanjutnya"? Ego??
Klo ada masalah, sbg orang yg udah dewasa!!!!!, bukankah selalu ada solusi klo dirembukin?
Ga tau saya ini apa yg telah terjadi, cuma bisa berkata ," macam-macam saja pun kisah2 romansa di planet yg fana ini."
Buat yang punya blog, jangan ampe minum valium, yak.

ps: tanpa bermaksud tidak mempunyai empati atas kesusahan orang lain, tapi gimana kalo majang foto lagi sedih atau nangis? ...hehehe
Penasaran,deh, abisnya selama ini fotonya ketawa mulu :) ah,ga lucu.

ps2: hey, buuu, itu semua ga ada hubungannya dgn guyonan2 konyol itu kan?? Cuma orang konyol yg nanggapin itu dg serius!

ps3: benci kesunyian? Mau denger bunyi trompet lagi ga?
Ah, ga lucu {lagi!!!}, tapi ga tau lagi gimana cara menghibur orang. Mati gaya,deh.

Anonymous said...

Oh dear ... I think you should see this thing as a blessing in disguised. Who knows you'll be stranded in a better situation after this loneliness that captured you at the moment (I don't want to assume I can smell the sadness ...)