Busana Adipahlawan

Maksud saya kostum para superhero. Saya kan berusaha berbicara dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dan moga-moga Polisi EYD yang terhormat berkenan tidak mencela gaya bahasa saya secara terang-terangan. *Duh!*

(Eh, tapi apa benar superhero bisa diterjemahkan dengan "adipahlawan"? Atau malah "adipendekar"? "Adipejuang"? Istilah-istilah memang suka bikin pusing. Ah, sudahlah!)

Kalau diperhatikan, kostum (saya pilih istilah ini saja, rasanya lebih pas) para pahlawan pembela kebenaran itu jarang yang praktis. Superman dengan celana dalam di luar; Batman... tidak kelihatan di mana letak celananya, soalnya hitam semua; Spiderman yang tidak jelas di mana letak lubang untuk hidungnya, kendati sudah pasti mulutnya tertutup semua -- bagaimana dia akan bernapas? Lewat seluruh pori-pori pakaiannya?

Selain kelihatan unik, gaya, menarik perhatian, kostum mereka bagi saya tidak banyak manfaatnya, malah membuat ribet. Apa gunanya, misalnya, jubah untuk Superman dan Batman? Waktu Clark Kent pertama kali menyadari kemampuannya terbang, dia pasti sedang mengenakan busananya sehari-hari -- barangkali kemeja kotak-kotak dan celana denim sebagaimana digambarkan dalam cerita bergambar karya Jerry Siegel dan Joe Shuster itu. Kalau tidak salah, kostum Superboy yang pertama dijahit oleh ibunya. Jadi mungkin saya harus mencurigai selera sang ibu, yang -- sebagaimana lazimnya para ibu -- ingin anaknya tampil se-TAMPIL mungkin, alias menjadi pusat perhatian. Namanya juga bangga. Hm, jadi ingat ibunya Agus.

Pahlawan-pahlawan rekaan para komikus dalam negeri sama saja. Er... sebenarnya saya harus mengakui, tidak banyak tokoh sains fiksi domestik yang saya ketahui. Saya cuma kenal Gundala Putera Petir, dan... Sri Asih *tersipu-sipu*, yang populer di era remaja ibu saya, karangan RA Kosasih, komikus wayang yang belum tergantikan itu.

Sri Asih boleh dikatakan juara busana pahlawan salah kaprah. Saya pertama kali membaca petualangan Sri Asih di perpustakaan sekolah saya di Surabaya, dan entah kenapa merasa terpikat pada kisah-kisah keberaniannya selanjutnya. Sebagai anak-anak, bisa dimaklumi kalau saya waktu itu tidak melihat kejanggalan pada kostumnya yang ala... wayang orang! Padahal Sri Asih hidup di jaman modern, sehingga kalau dia muncul bisa-bisa dia dikira pemain ketoprak kesasar, walaupun kekuatan fisiknya dahsyat.

Saya berpikir-pikir: seandainya ketika tengah menjalankan tugasnya, tahu-tahu para pembela kebenaran yang gagah berani ini ingin membuang hajat (hajat 'kecil' ataupun hajat 'besar'), bagaimana dia akan melakukannya secepat mungkin dengan kostum yang sedemikian ruwetnya ya? Apalagi kalau di sekitar lokasi kejahatan tidak ada wc umum. Para pahlawan wanita pasti menghadapi tantangan yang lebih besar. Wonder Woman yang punya pesawat sendiri mungkin tidak terlalu mengalami masalah, dengan asumsi pesawatnya memiliki kamar kecil. Tapi bagaimana dengan, misalnya, Supergirl (sepupu Superman) atau Catwoman? Bisakah kita membayangkan Supergirl terbang dengan membawa-bawa gulungan tisyu?

Ibu ini lain lagi cara pandangnya. Dia tidak habis pikir, komentarnya dalam satu sesi obrolan maya dengan saya, kenapa para pahlawan itu merasa perlu berganti pakaian ketika akan menumpas kejahatan. Memangnya mereka tidak bisa melakukannya dengan menggunakan pakaian harian mereka?

Saya mencoba berargumentasi bahwa barangkali pergantian busana itu dimaksudkan sebagai representasi kerendahatian mereka, yang tidak ingin menjadi individu yang dikultuskan. Selain untuk menghindari mudahnya mereka menjadi sasaran para penjahat yang biasanya memiliki akses pada teknologi canggih, meskipun tidak memiliki "adikekuatan" (alias kekuatan super, hehehe...). Tapi dalam hati sebenarnya saya sependapat dengannya, apalagi -- seperti saya sebutkan di atas -- kostum para pahlawan ini pada dasarnya tidak praktis.

Jangan-jangan ini kemauan ibu mereka...

PS. Sondi, mungkin kamu benar, saya sedang terserang blogging frenzy.

Star Trek: Energize!

On the way to a dining venue a couple of days ago, I found out that some colleagues and I have something in common, Star Trek: The Next Generation.

Looooongg... time ago, when I was still in kindergarten, my friends and I were avid fans of the original Star Trek (Captain Kirk, Mr. Spock, remember?). We often reminisced an episode, and I used to be the bad guy, hehehhe...

But later, after I got hooked up to The Next Generation, I decided that the succeeding series are far more interesting than the original version, and the best of them all, even compared to the later offsprings, Star Trek: Deep Space Nine and Star Trek: Voyager. Perhaps because Gene Roddenberry, the creator, was not around anymore when the latter two were in production.

Anyway, a colleague argued that The Next Generation's elemental appeal is its logical traits. It's science fiction, but the technology and phenomena displayed were based on actual science (with lots of imagination, of course). The character Q, for example, is widely believed as the materialization of the quantum principle in the relativity theory. Q can hop from one universe to the other, and is not impeded by time. Even the so-called wormhole is a concept that is also recognized in astronomy (if I'm not mistaken), though its existence is still debatable.

One of The Next Generation's most popular device among the Trekkies seems to be the Holodeck. You know, the holographic amusement room in which everyone can fulfill their wildest dream by, well, using another dream. Okol -- apparently another fellow Trekkie! -- says that she sometimes fantasizes being a local heroine (sorry, the heroine's name is confidential, hehehe...) in the Holodeck. Holodeck isn't actually my thing, though if I got the opportunity to try one, I'd certainly opt for being... hm. Funny. I can't think of one. Maybe I'm already satisfied being myself, hehehe...

My favorite USS Enterprise's apparatus is the transporter, to bring me anywhere I want. A single order: "Energize!", and I'd be in Bakoel Koffie in a second (ok, make it 5 seconds).

To boldly go where noone has gone before...

Questions, questions

I'm the kind of person who gets disturbed by unanswered questions, unreasonable statements and/or situation (unless those related to spiritual thingies), and illogical explanations, or -- worse yet -- inexplicabilities! That applies to almost anything, from movie storylines to relationships, hehehe...

The above was my comment to Eda Nana's scribble about -- you guessed -- dealing with unanswered questions. It's amazing how similar we are when it comes to the nuisance, anger and sometimes (ok, many times) despair generated by the non-existence of rational, logical explanations. And, yes, I often find myself awake until dawn, my eyes locked on a certain page of a book for almost fifteen minutes; or in the dark lying on my bed -- with my thoughts wandering. Why? How? How could I/she/he/them? When? Was it...?

And before I realize it, the next morning has come and I have to induce myself with a cup or two of coffee to make a go for the day. I am fortunate enough to possess such physical strength which helps me through weeks of limited sleeps. Of course there was time when the pyschological suppression was getting on me so forcefully that it seemed like I had a flu or severe coughs forever (I'm glad it's over!). But mostly a brief-but-nice chat with God prevents me from further devastation or overwhelming impuissance.

As probably implied in my recent postings, lately I've been wondering whether I'm asking unnecessary questions and sweating the small stuffs. The thing is, I don't even know which stuff could be considered "small" and which ones are not. I'm happy to say that I am not fussing over some certain things anymore -- lots and constancy of prayers are my ultimate reliever AND mode of distraction from negative emotions. I have to admit that I still have unpleasant thoughts lingering my mind occasionally, but I don't let them bother me like I used to.

Experience has taught me that some questions will be left unanswered, curiousity kills and is sadly never fed, yet in time we will forget them and move on with our lives. No, of course I'm not talking about a suspense-thriller script, silly! I remember a long time ago, when my sister and I were merely teenagers, she got mad about something and refused to speak to everyone in the house, and locked herself in her room for several days. I still don't know what caused it. Back then (when things had returned to normal), I asked my sister, and she would remain silent and be all smiles. Now she couldn't even recall the incident, let alone her motive. But who cares, it's not important anymore.

Life enlightens me in a lot of ways. These days I learnt that patience and self-restraint -- including and particularly related to the unanswered questions -- can lead to yielding to whatever God is planning for you, and eventually you may gain peace and comfort.

Tentang Lalu Lintas dan Efek Macet

Di tengah-tengah kemacetan 16th Street, pukul setengah tujuh malam...

Saya:
"Kenapa sih harus klakson melulu dari tadi?"

Renata: "Loh, bukannya di Jakarta kamu sudah sering diklaksonin?"

Saya: "Tapi ini kan bukan Jakarta! Orang-orang di sini harusnya lebih sopan! Masak dalam jangka waktu setahun mereka sudah semakin Jakartanis!"

*&%#@#)*#

Renata: "Eh, kurang ajar! Main belok saja tanpa lihat-lihat samping kanan dan belakangnya!"

Saya: "Di Jakarta kan sering juga..." (sambil senyum-senyum kecil).

Renata: (tatapan membunuh)


Diam beberapa saat.

Renata dan saya: Kita pulangnya kecepatan!

Renata dan saya: Wah! Bisa bersamaan begini kita bicara!


Diam lagi.

Saya: Ngopi aja yuk.

Renata: Ide bagus. Mana ada Starbucks di sini?

Saya: Ya balik lagi ke Dupont Circle.


Bertatapan sejenak.

Renata: Langsung lewat Rock Creek kalau begitu.

Saya: (membelokkan mobil).


Di Starbucks. Pelayan yang sudah sangat mengenal wajah kami langsung menyarankan, "One tall mocha and one tall macchiato?". Kami hanya nyengir lebar sambil mengangguk.

Renata: (berbisik) Dia sampai hapal begitu...

Saya: (tidak merasa perlu berbisik, lah wong kami bicara dalam Bahasa Indonesia) Ya jelas! Hampir tiap sore kita ke sini, dan pasti itu yang kita pesan.


Di meja kami, sambil memandang orang lalu lalang di balik jendela.

Renata: Kenapa juga tidak dari tadi tidak terpikir untuk ke sini? Malah pulang, sudah tahu kalau jam begini macet di mana-mana.

Saya: Karena kita sedang bego. Atau mungkin kita pikir kita di Nebraska, hihihi...


Catatan tambahan:

Tampaknya tanda-tanda ketuaan makin jelas. Dari sekian ratus tempat hiburan di DC dan sekitarnya, kami memilih kedai kopi yang hanya berjarak satu blok dari kantor, dan rela mengambil jalan memutar kembali. Lalu dari sekian banyak yang ditawarkan kedai tersebut, kami pasti mengambil pilihan yang itu-itu lagi. Tidak kreatif!

Flying... er.. comfortably?

First of all, I'd like to apologize to Indians -- or Indian sympathizers -- everywhere who happen to stumble upon my blog and read this particular entry. I got this from a friend and it's so hilarious that I can't resist the temptation to post it here, in addition to sending it to my closest buddies. Well, perhaps to make you feel better, this is applicable to Indonesian flag carriers to, hehehe... you could change the subject's name to Garuda Indonesia or Lion Air or whatever you like... Peace!

So.. here it goes.

"Good morning, Ladies and Gentlemen. This is your captain PATEL (Boniface) welcoming both seated and standing passengers on board of Air India.

We apologize for the four-day delay in taking off, it was due to bad weather and some overtime I had to put in at the bakery.


This is flight 717 to Mumbai. Landing there is not guaranteed, but we will end up somewhere in India. And, if luck is in our favor, we may even be landing on your village!

Air India has an excellent safety-record.. In fact, our safety standards are so high, that even terrorists are afraid to fly with us! It is with pleasure; I announce that, starting this year, over 30% of our passengers have reached their destination. If our engines are too noisy for you, on passenger request, we can arrange to turn them off!

To make your free fall to earth pleasant and memorable, we serve complimentary DHARU and Wada pavw. For our not-so-religious passengers, we are the only airline who can help you find out if there really is a God!

We regret to inform you, that today's in-flight movie will not be shown as we forgot to record it from the television. However, for our movie buffs, we will be flying right next to Emirates Airline, where their movie will be visible from the right side of the cabin window.There is no smoking allowed in this airplane. Any smoke you see in the cabin is only the early warning system on the engines telling us to slow down!

In order to catch important landmarks, we try to fly as close as possible for the best view. If however, we go a little too close, do let us know. Our enthusiastic co-pilot sometimes flies right through the landmark!

Kindly be seated, keep your seat in an upright position for take-off and fasten your seat-belt. For those of you who can't find a seat-belt, kindly fasten your own belt to the arm of your seat. And, for those of you who can't find a seat, do not hesitate to get in touch with a stewardess who will explain how to fasten yourself to your suitcase."

"Thanking you all for choosing Air-India to fly for the first and last time."

Tanpa Tarian Hujan


Pertama-tama, saya ingin mengucapkan terima kasih pada para teman dan komentator atas ungkapan simpati maupun upaya menghibur saya. Sebenarnya posting itu bukan dimaksudkan untuk meratap-ratap, walau saya akui kegundahan saya pasti terlihat di dalamnya. Yang jelas, saya merasa beruntung bahwa banyak yang memperhatikan saya, walaupun mungkin kita belum pernah bertemu dalam kehidupan nyata. Tapi pertemanan adalah masalah kedekatan jiwa, percakapan antar pikiran pula, sehingga wujud fisik kerap tidak lagi diperlukan.

Bagi saya, sudah cukup segala kegalauan ini. Waktu dan hidup terus berjalan, dan saya tidak bisa terperangkap selamanya dalam rasa gundah yang menghalangi langkah saya selanjutnya. Dunia tidak akan berhenti menunggu saya siap bangkit lagi, terlebih ada amanah 230 juta rakyat Indonesia di pundak saya, hehehee.... Lagipula bercerita mengenai pengalaman saya bertemu dengan komunitas Indian Quileute (baca: ku-li-ut) rasanya lebih menyenangkan.

Dan agak mengejutkan, karena ternyata mereka... biasa-biasa saja.

Jangan membayangkan kumpulan tenda wigwam dengan asap mengepul dari pucuk-pucuknya, tiang totem di tengah-tengah, seorang kepala suku dengan nama eksotis, wajah tanpa ekspresi namun kharismatik, dan tarian hujan. Meskipun judulnya "reservasi" tapi perkampungan Indian pertama yang saya lihat ini benar-benar perkampungan: sebuah lahan seluas 1 mil persegi yang dihuni sekitar 300 jiwa, dalam rumah-rumah kayu.

Perjalanan menuju kediaman mereka sendiri tidak kalah menariknya buat saya. Untuk pertama kalinya saya menumpang pesawat kecil, Cessna 208B, yang berkapasitas 9 orang (tidak termasuk supir alias pilot). Kala melihat tangga lipat diturunkan, saya sempat berpikir apakah tangga itu cukup kuat menahan tubuh gajah saya dan barang-barang berat yang saya bawa. Saya menenangkan diri dengan berkata sendiri bahwa kalau toh saya jatuh, rasanya tidak akan terlalu sakit atau membahayakan nyawa saya, karena jarak pintu pesawat ke tanah cuma sekitar satu setengah meter, hehehe...

Kursi penumpang kecil-kecil dan saya agak kesulitan memakai seatbelt yang memang agak berbeda dari yang berada di jenis pesawat yang biasa saya tumpangi. Namun akhirnya saya "terpasang" juga dan siap menikmati perjalanan saya. Naik pesawat kecil ini rasanya hampir seperti naik bajaj: bergetar dengan suara memekakkan telinga. Ibu saya yang takut pada ketinggiannya sudah mencapai taraf akut pasti pingsan sepanjang perjalanan.

David Umansky, konsultan Yahudi yang menjadi juru bicara masyarakat Indian Quileute di DC serta sekaligus pemandu saya untuk perjalanan ini, sebelumnya telah mengiming-imingi saya dengan pemandangan menakjubkan dari atas hamparan Semenanjung Olympic tempat komunitas Quileute berdiam. Selain pantai-pantai yang cantik, gunung-gunung biru, kehijauan hutan pada Taman Nasional Olympic, danau-danau dan aliran sungai yang seperti benang perak, menurut David kita akan bisa melihat kumpulan perumahan masyarakat asli negara ini. Di samping Quileute, suku-suku Indian yang mendiami daerah ini adalah S’Klallam, Ozette, Quinault, Hoh, Skokomish, Lower Elwha Klallam, dan Makah.

Ternyata saya harus kecewa, karena awan yang cukup tebal menghalangi pemandangan itu. Tapi David meyakinkan saya bahwa di darat nanti saya akan tetap dapat menyaksikan kecantikan alam Semenanjung Olympic juga. Saya mengiyakan, walau dalam hati agak kecewa karena lenyapnya kesempatan melihat perkampungan suku Indian yang lain. Kira-kira empat puluh menit kemudian kami telah tiba di bandara Fairchild, Port Angeles. Mobil sewaan David telah menunggu untuk membawa kami ke La Push yang jaraknya kurang lebih 60 mil dari Port Angeles.

Sepanjang perjalanan dalam mobil, David bercerita mengenai pekerjaannya mengangkat isu-isu kepentingan suku Indian Quileute untuk memperoleh perhatian masyarakat maupun pemerintah Federal di DC. Seluruh daerah seluas 900 mil persegi yang kini menjadi taman nasional Olympic, tutur David, sebenarnya adalah tanah adat masyarakat Quileute. Setelah wilayah tersebut dijadikan taman nasional, suku Quileute dipaksa mendiami lahan seluas 1 mil persegi yang sekarang menjadi reservasi mereka. Masyarakat Quileute sedang memperjuangkan untuk memperoleh tambahan 1 mil persegi lagi, yang akan dimanfaatkan mereka untuk membuka satu usaha untuk meningkatkan perekonomian mereka.

"Kamu akan melihat bahwa mereka hidup dengan sangat sederhana," kata David. "Tapi mereka adalah orang-orang paling pemurah yang pernah saya kenal. Tiap saya mengunjungi mereka, saya tidak pernah pulang dengan tangan kosong. Pasti ada saja oleh-oleh yang mereka berikan pada saya, walaupun saya telah mereka bayar untuk pekerjaan saya sekarang. Tarif yang saya kenakan pada mereka separuh dari yang biasa saya minta dari klien saya yang lain, dan untuk itupun mereka harus berusaha keras mencari pendanaannya."

Sampai di sana, David meninggalkan saya sejenak di kantor ketua Dewan Suku Quileute -- alias kepala suku -- Russell Woodruff. Lupakan gambaran seorang kepala suku Indian seperti yang saya sebut di atas; Russell yang bersuara lembut, berambut pendek yang hampir semuanya sudah kelabu dan berkemeja kotak-kotak, tidak beda dengan orang-orang setengah baya lain seantero Amerika. Saya berbincang sejenak dengan seorang wartawan lokal yang tengah mewawancarai mereka, sebelum keluar untuk melihat-lihat kantor Dewan Suku Quileute dan membuat potret-potret di luar kantor.

Pemukiman Indian Quileute terletak di pinggir laut. Penghasilan mereka, selain dari resort yang mereka bangun di Second Beach, juga dari penangkapan dan penjualan produk salmon asap dan kepiting. Yah, mereka memang tergolong "kurang mampu" untuk ukuran AS, tapi tentunya jangan dibandingkan dengan golongan kurang mampu di negara kita, karena banyak di antara mereka yang memiliki kapal-kapal penangkap ikan yang cukup canggih. Ada satu tiang totem, tapi karena letaknya di depan sebuah rumah makan, nilai sakralnya jadi berkurang di mata saya, hehehe...

Acara yang akan diselenggarakan suku Quileute dan saya hadiri ini adalah peringatan setahun tsunami sekaligus pelatihan rutin mereka untuk evakuasi diri. Karena lokasinya, daerah tempat mereka tinggal cukup rentan terhadap dampak tsunami sekiranya terjadi gempa bawah laut di wilayah itu. Di daerah mereka memang telah dipasang sistem peringatan terhadap tsunami, dan mereka perkirakan sekiranya hal itu benar-benar terjadi, mereka akan memiliki waktu kurang lebih 15 menit untuk naik ke tempat penampungan sementara yang letaknya di dataran yang lebih tinggi. Bahaya dampak tsunami ini pula yang menjadi salah satu concern mereka dalam menyuarakan keinginan mereka untuk memperoleh tambahan lahan, karena area yang mereka minta letaknya di dataran tinggi.

Puas potret-memotret, Russell dan David memanggil saya untuk berpindah ke gedung tempat diselenggarakannya acara, yang difungsikan juga sebagai tempat penampungan sementara yang saya sebutkan tadi.

Acaranya sendiri terdiri dari rangkaian sambutan (termasuk dari saya, tentunya, mewakili KBRI, cieeeeeee...) yang memakan waktu cukup lama, sebab sepertinya hampir semua orang ingin mengucapkan sepatah kata, yang kemudian ditutup dengan upacara tradisional. Nah, upacara adat ini yang cukup menarik.

Sejumlah orang yang umumnya manula dengan membawa semacam beduk kecil dan pemukulnya maju ke depan, dan bersama-sama dengan beberapa remaja membentuk setengah lingkaran. Saya sebagai representasi dari negara yang dilanda tsunami tahun lalu didudukkan di tengah-tengah mereka. Kemudian seseorang -- yang rupanya kepala kelompok drumming untuk upacara-upacara adat Quileute -- berbicara.

Sang pemimpin drumming menyebutkan bahwa mereka sekarang akan menyampaikan doa bagi para korban tsunami, untuk mengangkat kesakitan dan kepedihan mereka. Doa tersebut dalam bentuk nyanyian yang konon diwariskan pada keluarga-keluarga tertentu. Jadi masing-masing keluarga memiliki nyanyian magis mereka sendiri, yang telah diturunkan dari generasi ke generasi. Sang pemimpin drumming mengisahkan pula bahwa nyanyian ini telah menyertai nenek-nenek moyang mereka beratus-ratus tahun lampau dalam menyeberangi sungai dan lautan untuk menolong sanak saudara mereka yang membutuhkan bantuan di tempat lain. Bila dipercaya, katanya, ode yang akan mereka panjatkan dapat menyembuhkan luka batin para korban tsunami di Aceh.

Selama beberapa saat mereka menyanyikan doa mereka, yang ditujukan kepada "Pencipta" sembari memukul beduk-beduk kecil mereka dalam irama tertentu, sedangkan saya duduk diam mendengarkan mereka. Nyanyian mereka unik karena tanpa syair, hanya seperti seruan "aiueo" yang dilagukan dengan khas. Sepertinya bagi mereka kata-kata tidak penting, karena seruan berlagu itu sudah mengekspresikan harapan mereka. Sementara kelompok drumming memainkan musik ritual mereka, kelompok remaja menggerakkan tangan dan tubuh mereka dalam tarian yang di mata saya mirip tortor, dari daerah asal saya.

Kemudian saya dipanggil untuk berdiri dan bergabung dengan mereka. Salah satu anggota kelompok drumming menyerahkan beduknya kepada saya dan meminta saya untuk ikut memukul beduknya, serta mengarahkan saya kapan saya harus berhenti bersama-sama dengan anggota lain. (Belakangan saya tahu dari David bahwa meminta saya untuk ikut memukul beduk demikian adalah bentuk penghormatan tertinggi yang dapat mereka berikan kepada tamu mereka). Setelah selesai, mereka melingkarkan sehelai selimut khas Indian ke seluruh tubuh saya seperti tengah memberkati. Kemudian dua orang remaja memberikan kepada saya selembar poster bertuliskan alfabetikal Quileute sebagai cendera mata, dan saya diminta sang pemimpin drumming untuk berbicara.

Sulit bagi saya saat itu untuk berkata-kata, tidak saja karena saya belum menyiapkan pidato pendek untuk upacara ini *ehem*, tapi terlebih karena saya terharu atas sambutan mereka. Akhirnya dengan terbata-bata saya mengucapkan terima kasih, dan terbirit-birit ke tempat duduk saya semula untuk mengambil cenderamata yang sudah saya siapkan untuk mereka.

Upacara selesai juga. Waktu saya melipat selimut yang sudah dihadiahkan ke saya itu, Russell mendekati saya sambil menyerahkan sekantong plastik besar ikan salmon asap yang ia buat sendiri serta sekeranjang oleh-oleh. Sambil malu-malu (tapi senang) saya menerima pemberiannya. Apa yang saya bawa untuk mereka sangat tidak berarti dibandingkan yang saya terima, karena saya hanya memberikan suvenir khas KBRI, berupa koin keemasan yang bergambar Garuda Pancasila dan bangunan KBRI di sisi baliknya, di samping sejumlah buku, kalender KBRI, dan map-map Indonesia untuk anak-anak yang saya maksudkan untuk para siswa sekolah dasar mereka. Barang-barang tak berjiwa dan tanpa makna, tidak seperti yang mereka berikan untuk saya.

Kemudian seorang ibu setengah baya berjalan ke arah saya. Russell mengenalkannya ke saya sebagai guru adat sekolah di lingkungan reservasi tersebut, yang mengajar sejarah dan kebudayaan Quileute kepada generasi muda mereka. Sang ibu menyampaikan rasa simpatinya pada saya, kemudian memberikan seuntai kalung manik khas mereka yang cantik. Waduh, tambah hadiah lagi. Saya ribut mengucapkan terima kasih padanya sambil memeluknya.

Pendeknya hari itu saya menjadi seorang pesohor (kata baku selebriti :P) di sebuah desa penduduk asli Amerika.

David mengajak saya makan siang di klub para orang tua Quileute. Dewan Suku telah mendirikan sebuah tempat khusus bagi manula Quileute untuk berkumpul, membaca-baca, mengobrol sesamanya, dan makan siang gratis. Di sana Russell mengenalkan saya pada para manula dan memamerkan koin KBRI yang diterimanya.

Seorang perempuan manula yang semeja dengan saya mengenalkan diri sebagai Beverly Lowdown. Sebenarnya saya sudah bercakap-cakap dengannya di kantor Russell, tapi baru di klub manula inilah saya berkesempatan mengobrol lebih lama dengannya. Saya tertarik pada aksennya yang unik, yang justru mengingatkan saya pada cara bicara para imigran Vietnam.

"Saya campuran Amerika dan Kanada," jelasnya. Ayahnya Quileute, ibunya dari salah satu suku Indian di Kanada. "Kami punya logat sendiri."

Selanjutnya Beverly bercerita mengenai konferensi antar suku yang digelar beberapa waktu lalu. "Saya bernyanyi di sana, dan banyak di antara peserta yang menangis setelah itu, karena syair lagu saya menyentuh permasalahan mereka, "katanya. Ia kemudian menyanyikan lagu ciptaannya itu dengan suara yang tidak terlalu lirih: lagu dengan irama khas Indian lama, mendayu, berkisah tentang sakit hati mereka atas diskriminasi yang mereka alami, hak-hak yang tidak mereka peroleh, warisan budaya yang hilang. Keprihatinan karena banyaknya saudara sebangsanya yang tenggelam dalam alkoholisme dan obat-obatan. Dan kepasrahan pada Sang Pencipta.

Oh Pencipta, peganglah tanganku
Tuntunlah aku dalam jalanku menuju Engkau
Kuatkan bangsaku
Lindungi bangsaku

Saya hanya bisa mendengarkan dan menyimak lirik lagu itu, yang walaupun tidak dibuat dalam rima yang sepadan tiap kalimatnya, namun menyiratkan kesedihan dan ratapan. Alkoholisme dan ketergantungan pada obat-obatan adalah masalah yang hampir selalu muncul di reservasi-reservasi Indian, buah dari perasaan tidak berdaya, tertekan, dibedakan, frustrasi berkepanjangan. Banyak di antara para keturunan Indian yang memilih untuk tinggal di luar reservasi untuk mencari kesempatan dan hidup yang lebih baik, tapi banyak juga yang lalu kembali untuk memperoleh ketenteraman dan perasaan mengenal lingkungan tempatnya bertumbuh. Ini menjadi seperti lingkaran setan, karena kembali berarti masuk lagi ke kondisi tertekan dan (relatif) terbelakang. Betapa pun banyaknya konvensi dan kovenan internasional mengenai penduduk asli (indigenous people), pada kenyataannya sukar bagi mereka untuk mencari sumber-sumber yang memungkinkan mereka untuk maju: ruang gerak mereka dipersempit dalam reservasi-reservasi, lahan mereka menjadi milik negara atau dijual konsesinya kepada pihak swasta. Persis seperti yang terjadi di Indonesia: tanah adat yang justru dimanfaatkan oleh para pemegang HPH dengan modal beratus-ratus juta, dan manfaat yang hampir tidak ada bagi para pewaris yang sesungguhnya.

Dalam perjalanan pulang, saya merenung sambil melihat keindahan alam yang kami lewati. Gunung kebiruan menjulang gagah, puncaknya diliputi salju dan diselimuti awan-awan, memberikan kesan mistis, jauh, tak tergapai, perkasa. Saya membayangkan, beribu-ribu tahun lampau, ketika orang Eropa belum mencapai benua ini, para penduduk asli menata kehidupan mereka di sekitar gunung-gunung itu, yang mungkin mereka puja sebagai tempat bersemayam para dewa-dewa mereka. Dalam kepala saya tercipta bayangan sekumpulan orang sedang memanggang elk (sejenis rusa yang hidup di daerah itu) di api unggun besar pada malam hari, wigwam mengelilingi mereka. Mereka bercakap-cakap, tertawa, bercerita, bernyanyi dengan pemujaan pada Pencipta yang mereka yakini dan nenek moyang mereka. Rasa khawatir mereka hanya pada pergantian musim, ketika mereka mungkin harus menyesuaikan cara hidup mereka dengan perubahan alam, atau ketika mereka harus mempertahankan wilayahnya dari invasi kelompok lain. Saya seperti mendengar gema suara mereka di kejauhan, terbawa oleh semilir angin.

Sleepless (on the way to) Seattle

"You will enjoy it, trust me," kawan saya Renata meyakinkan saya.

Saya sendiri tidak begitu yakin. Masalah pribadi yang masih membebani saya membuat prospek terbang sendiri selama 5 jam kurang begitu cerah. Bisa-bisa saya melamun dan sesenggukan di pesawat, dan menjadikan diri sendiri tontonan gratis penumpang yang duduk di sebelah saya. Dalam situasi seperti ini rasanya lebih menyenangkan bersibuk-sibuk ria menyambut kedatangan kepala kantor yang baru, di tengah khalayak ramai. "Ya, moga-moga saja," sahut saya sambil menghela napas.

Padahal sejak diberitahukan bahwa saya di"perintahkan" atasan tercinta untuk mewakili kantor saya di acara yang diselenggarakan komunitas Indian Quileute di negara bagian Washington, antusiasme saya meluap-luap. Maklum, sudah lama saya berniat melihat perkampungan penduduk asli negara raksasa ini, dan tahu-tahu kesempatan tersebut muncul.

Keraguan sebenarnya sudah dimulai sejak saya tahu rute yang harus saya tempuh untuk mencapai tempat diselenggarakannya acara ini. Dari DC saya harus terbang ke Seattle, yang memakan waktu 5 jam. Dari Seattle sendiri saya masih harus pergi dengan pesawat kecil ke pelabuhan udara lain yang terdekat dengan perkampungan Indian Quileute, Port Angeles. Selanjutnya saya akan bermobil sejauh 72 mil!

Mbak Dewi yang membantu saya memesankan tiket pesawat sudah menyatakan kepesimisannya. "Yakin?"

Saya tidak yakin sebenarnya. Tapi rasa ingin tahu, hasrat melarikan diri dari persoalan, dan tekad untuk membuktikan kegagahan saya (hahaha...) membuat saya menganggukkan kepala dengan mantap. (Padahal dalam hati sih, sangsiiiiiiii....). Selanjutnya saya banyak bercanda dengan teman-teman saya, mengkhayalkan nama-nama Indian yang mungkin akan dianugerahkan kepada saya (kalau memang begitu, kurang kerjaan sekali ya sukunya, hehe...). Yang mengharukan, teman-teman kantor yang biasanya acuh saja kalau saya akan berdinas keluar kota atau ke luar negeri, kemarin banyak memberikan pelukan dan ucapan selamat jalan. Hm, kalau saya percaya takhayul, saya sudah mempertanyakan apakah itu semua menandakan sesuatu. Apalagi seorang teman kantor -- dengan semangat melucu yang malah bikin takut -- memperingatkan mengenai kemungkinan tanah longsor karena hujan terus-menerus di daerah itu.

Walaupun kota berkabut tebal, namun pesawat yang saya tumpangi akhirnya berada di atas awan juga, dan ternyata kondisi di sini lebih cerah! Dan ternyata pula saya memperoleh tempat duduk di tengah, yang biasanya sebisa mungkin saya hindari. Saya agak gembira ketika penumpang di sebelah kiri dan kanan saya adalah, ehm, pria-pria muda yang tampaknya sopan-sopan. Rapi pula.

Sampai saya bertanya kepada salah satu dari mereka, ke mana tujuan mereka. Ketika dijawab, "Kodiak, Alaska," teman di sisi lain langsung menyahut, "O ya? Kapal apa?"

Selanjutnya mereka berdua terlibat percakapan seru mengenai kapal masing-masing (jangan tanya saya bagaimana pembicaraan yang dimulai dengan "mau ke mana" bisa berujung pada obrolan mengenai spesifikasi kapal). Yang seorang marinir, yang lain penjaga pantai. Karena pembicaraan sudah sangat teknis, saya memilih menenggelamkan diri di balik buku sambil tetap menguping. Ada juga yang menarik, karena si penjaga pantai sudah lama tinggal di Alaska, sedangkan si marinir baru akan ditempatkan di sana. Jadilah si penjaga pantai bercerita mengenai hal-hal yang bisa dilakukan di Alaska -- rupanya tidak banyak. Apalagi di Kodiak, pada musim dingin pula. Saya membuat catatan mental atas ceritanya, karena Alaska adalah salah satu tempat yang ingin saya kunjungi satu saat nanti, walaupun saya khawatir di sana orang bisa keliru memisahkan saya dari paus-paus, hehehe... Pengetahuan saya tentang Alaska terbatas pada apa yang saya peroleh dari Northern Exposure!

Kekhawatiran saya bahwa perjalanan ke Seattle akan saya habiskan dalam kedukaan (ckckckck...) ternyata tidak beralasan, sebab baru beberapa saat membaca mata saya sudah terasa berat. Saya cuma tidur tiga jam malamnya, karena harus bangun sebelum subuh untuk menyiapkan koper dan bawaan lain. Celoteh teman-teman seperjalanan saya (walaupun saya merasa jadi nyamuk) ikut menjadi kidung pengantar lelap saya, sampai saya dibangunkan untuk makan.

Sampai di Seattle saya mendapati salah satu suvenir yang saya bawa untuk komunitas Indian itu tidak ada. Saya tidak ingat bahwa suvenir itu ikut saya masukkan ke kompartemen barang di atas tempat duduk, jadi kemungkinan besar terjatuh di bandara Reagan atau di belalai gajah. Rasa kesal pada diri sendiri, panik karena ingat harus mengubah jadwal perjalanan ke Port Angeles, serta residu masalah pribadi membuat saya mau menangis. Langsung saya telepon keponakan tercinta untuk menumpahkan unek-unek saya. Anak cantik itu seperti biasa berhasil menenangkan saya dengan mengingatkan bahwa saya selalu bisa mencek ke Lost and Found. Kalau memang tidak ada ya, apa boleh buat, harus impor lagi dari Jakarta. Ah, bodohnya saya. Begitu saja bingung. Padahal biasanya saya bisa berpikir lebih jernih.

Beres pengubahan jadwal perjalanan berikutnya membuat saya lebih tenang, sehingga saya memutuskan untuk mencari kendaraan shuttle ke hotel yang telah saya pesan sebelumnya. Yang tidak saya perkirakan adalah ternyata saya harus menunggu cukup lama sampai kendaraan tersebut muncul. Saya bahkan sempat membuat foto diri sendiri, dengan raut wajah kecapekan dan kesal.

Yang kemudian cukup menghibur saya adalah karyawan hotel tempat saya menginap sangat ramah. Apalagi begitu masuk kamar saya melihat sudah tersedia kabel internet kecepatan tinggi, yang bermanfaat sekali untuk membuat entry blog kali ini, hehehe...

Mengingat waktu yang agak terbatas di Seattle, saya berpikir-pikir untuk melihat kota ini malam nanti. Tapi hujan yang belum berhenti sejak tadi membuat saya ragu apakah saya bisa merealisasikan keinginan itu.

Saya lirik kedua ranjang ukuran twin di kamar saya.

Saya benci kesunyian ini.

Friends in low places

These days, my close friends and confidantes (including my soulmate/sister and the best nieces in the world!:)) are telling me to be more patient, stay calm, and keep my head clear. And again, be patient. Give it some time for things to be explicable. Don't do anything that I may regret in the future.

I am trying, guys. Just wish me the best, OK? I know I am impulsive, but I'm a bit wiser with age. Or so I think :P.

*Taking deep breath*

Thank you very much for being there for me, folks. Thanks for the supporting words and the heartwarming hugs.

Thank you for the usual silly jokes.

Thank you for trying to keep up with my numerous furious sms' (which consumed your phone credits to its limit!) and offering me your calming tones.

Thank you for cheering me up, boosting up my spirit, and -- again -- the encouraging advises. This reaffirms my opinion that your maturity way exceeds your age and even those who are several years your senior! (You know whom I'm talking about, right? *green eyed monster mode on*).

But most of all, thank you all for helping me rediscover myself. And to remind me that I deserve what I deserve. (You didn't say it out loud, but somehow I found it during our conversations).

I am going back to me, full-paced. :)