"Kenapa harus sedih kalau kamu ternyata bukan orang yang tepat baginya?"

Akhir-akhir ini mungkin saya terlalu sering membuat tulisan yang berkaitan hubungan pria-wanita. Khususnya hubungan saya dengan pria itu, hehehe... Tolong dimaklumi saja ya. Seperti kerap disinggung Mas Kere: "Saya juga pernah muda." Saya memang selalu merasa muda, walau usia sudah di atas 30 tahun. Bagi beberapa kawan chatting saya, yang umurnya masih dalam rentang belasan tahun, saya terasa "tuaaaaaaaaa...". Tapi karena di kantor saya tergolong yang paling yunior, dan memang kalau dilihat-lihat tingkat kedewasaan saya tidak sepadan dengan usia saya, wajar dong kalau saya masih merasa muda, terlebih saya juga sedang berbunga-bunga (repetisi, repetisi).

Jadi apa hubungannya dengan topik tulisan kali ini? Tidak ada. Pembukaan tadi hanya sekedar eksplanasi, mungkin juga apologi, sekiranya ada yang mulai merasa sebal dengan tendensi muatan blog saya, hehehe...

Dari judulnya saya kira mudah ditebak apa yang hendak saya singgung kali ini. Saya hanya tadi teringat ucapan salah seorang teman dekat saya dalam salah satu sesi curhat, setelah saya berpisah dengan seorang pria, beberapa tahun lalu:

"Kenapa harus sedih kalau kamu ternyata bukan orang yang tepat baginya?"

Saya baru saja mendengar kalau pria ini pernah bertutur kepada kawan kami yang lain bahwa ia merasa menyesal harus berpisah dengan seorang mantannya lain (sebelum dengan saya!) padahal mereka sangat sepadan. Wajar jika saya kemudian mempertanyakan ketulusan perasaannya selama setengah tahun hubungan kami, apalagi dia tidak mengutarakan kalimat yang sama tentang saya.

Saat itu saya merasa tertohok dengan kalimat teman saya, walaupun logika saya sebenarnya menerimanya. Apa gunanya meneruskan hubungan bila salah satu pihak tidak menginginkannya lagi? Harga diri saya pun terlalu tinggi untuk meminta agar dia (atau siapapun yang saat itu berstatus, ehm, teman pria saya) memikirkan kembali keputusannya/keinginannya, jangan lagi meminta dia agar tidak meninggalkan saya.

Di sisi lain, ego ini juga yang membuat saya tersinggung dengan kenyataan bahwa orang yang telah berbagi perasaan dengan saya selama beberapa saat ternyata tidak melihat saya sebagai pasangan yang tepat baginya.

Walaupun kedengarannya seperti kebanyakan lirik lagu Indonesia yang super gombal (maaf Mas Kere!), kini semua itu hanya sepenggal kisah dalam perjalanan hidup saya. Artinya, saya bisa melihat kembali peristiwa tersebut tanpa perlu merasa sakit hati, marah, atau sedih. Dan bisa dengan wajar menerima bahwa dia tidak perlu merasa cocok dengan saya.

Karena dia memang bukan untuk saya.

Saya teringat kelanjutan ungkapan teman saya:

"Kamu akan bertemu dengan orang yang merasa cocok denganmu. Yang merasa kamulah pasangan jiwanya. Kepadanyalah pantas kamu berikan hatimu, karena dia tidak akan menyia-nyiakannya."

Kala itu pun saya sudah tahu bahwa teman saya benar. Kini saya bisa mengamininya, karena perjalanan waktu membuktikan bahwa saya memang kemudian menemukan orang-orang yang merasa cocok dengan saya.

Dan bukannya tidak mungkin kita mengambil posisi sebaliknya: kita merasa orang yang berada dalam hidup kita pada kurun waktu tertentu bukanlah pasangan kita, walaupun dia berkeras bahwa kita memiliki masa depan dengannya.

Ungkapan "waktu akan menyembuhkan luka hati" mungkin klise, apalagi bila kita baru saja mengakhiri suatu perjalanan bersama, di luar kehendak kita. Memang ada kasus-kasus khusus ketika rasa sakit tak tertangani dan mengambil kompensasi dalam bentuk yang berbeda-beda: ratapan seumur hidup, kebencian yang tak tersembuhkan, dan sebagainya. Namun, sekali lagi, ini kasus khusus. Kenyataannya pada umumnya fase itu bisa dilalui, dan manusia melanjutkan kehidupannya masing-masing. Meskipun lama yang diperlukan bagi masing-masing orang untuk melewatinya sangat relatif.

5 comments:

Apey said...

Hmm..."looking for the half of our soul" emang not that easy ya. Kalo emang dia bukan yg cocok untukmu, kenapa harus dipaksakan? biar setelah itu ada rasa sakit yg tertinggal. Aku mengamini kalimat terakhirmu bahwa "Meskipun lama yang diperlukan bagi masing-masing orang untuk melewatinya sangat relatif". Aku percaya bahwa dlm kehidupan seseorang, waktu terus bergerak mengarah ke kebenaran & kodratnya masing2, so menurutku "waktu" akan menunjukkan kepada siapa kita akan menjatuhkan pilihan.

topan said...

yang penting skrg kan udah nemuin yang cocok ...? jadi....? (selanjutnya terserah anda )

Anonymous said...

when it comes to feeling... nothing is exact... it's so hard 'n painful sometimes... but then again, someone once said to me that what doesn't kill you will make you stronger...

it IS painful when things don't work out the way we want it, but there're way too many times in life that we just need to pick up ourselves and move on...

Anonymous said...

apey: betul bu. seratus persen. setuju.

topan: ya, aku rasa sih aku udah menemukan yang cocok :). ini sekedar berbagi pengalaman ke teman-teman. klise mungkin, tapi aku harap bisa bermanfaat bagi seseorang.

'ka: indeed, what doesnt kill you will make you stronger. it did to me (and i hope it does to everybody else). but of course, you can't deny that in certain cases, the pain is unbearable, and might destruct or even kill the weaker souls... so sad, isnt it? *sighs* especially when there is no support and encouragement from people you're close with.

guario said...

I don't believe in soulmate;) if it is interpreted so early in a relationship. you can only call someone your soulmate when, after years and years, he/she is still the one you want to grow old with.

and someone who used his/her past relationship as an excuse to break the current one is nothing but a seriously incapable of making decision, means a child.

don't ever have a relationship with a child unless you are pedophiliac;).