Tentang Orang Hilang...

Dari Bisnis Indonesia, Selasa, 14 Juni 2005:

WIRANTO UNGKAP 14 AKTIVIS YANG DICULIK SUDAH MENINGGAL

Oleh Bambang Dwi Djanuarto


JAKARTA (Bisnis): Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Wiranto mengakui bahwa 14 korban penghilangan paksa pada 1997-1998 yang sampai saat ini tidak diketahui nasibnya semuanya sudah meninggal.
Hal itu diungkapkan oleh ketua tim Ikatan Orang Hilang Indonsia (Ikohi) Mugianto dalam konferensi pers di Jakarta hari ini.

Mugianto menjelaskan pengakuan Wiranto itu terjadi dalam pertemuan antara ketua tim Pengungkapan Korban Penculikan dan Penghilangan Secara Paksa Komnas HAM Ruswiyati Suryasaputra dan Wiranto yang bersifat tertutup pada 10 Juni 2005.

Menurut Mugiyanto, dalam pertemuan itu Ruswiyati sempat menanyakan bagaimana nasib 14 aktivis yang masih hilang, para anggota keluarga ingin mengetahui nasib mereka. Wiranto lalu menjawab dengan singkat., "Mereka sudah tidak ada", kata Wiranto kepada Ruswiyati.

Menurut Mugi, jawaban cukup mengagetkan karena sejak terbongkarnya kasus penculikan aktivis 1998 pihak TNI hanya mengakui menculik sembilan orang aktivis yang semuanya sudah dibebaskan.

Pernyataan Wiranto, katanya, merupakan fakta baru yang dapat membuka harapan untuk menguak misteri hilangnya para aktivis periode 1997-1998.

Mereka yang hilang adalah Yani Afri, Soni, Dedi Hamdun, Noval Alkatiri, Ismail, Wiji Tukul, Suyat, Herman Hendrawan, Petrus Bima Anugrah, M Yusuf, Ucok Munandar Siahaan, Yadin Muhidin, Hendra Hambali dan Abdun Naser.

Ikhoi, katanya, meminta kepada Tim Komnas HAM agar memanggil Wiranto ke Komnas HAM karena pertemuan tertutup yang lalu merupakan pertemuan konspiratif.


Kabar itu bisa saja cuma menjadi salah satu dari sejumlah tulisan yang saya baca untuk mencari tahu informasi dari Tanah Air. Bahan perdebatan komunitas Indonesia di D.C. yang biasanya saya pantau dari milis. Tapi ketika saya membaca nama Herman Hendrawan, saya tercenung.

Herman senior saya di kampus dulu, satu angkatan di atas saya. Sama-sama FISIP, tapi beda jurusan. Orang yang cukup ramah dengan rasa humor tinggi, dan jelas seorang aktivis. Tapi karena begitu banyak aktivis politik di lingkungan universitas, terutama di fakultas kami yang cenderung memberikan kelonggaran bagi para mahasiswanya untuk memilih organisasi dan kegiatan yang pada masa itu -- awal '90-an -- menyerempet kekuasaan, waktu itu saya melihatnya sekedar satu di antara sekian nama. Apalagi lebih banyak yang (setahu saya) lebih vokal dari Herman. Entah itu memang cara yang dipilih Herman, entah saya yang kurang memperhatikan lingkungan karena sibuk dengan kegiatan saya sendiri di UKM (rasanya sih yang terakhir lebih tepat). Tapi memang masa-masa tersebut adalah masa yang dapat menggairahkan imajinasi, karena kampus menjadi wahana klandestin "terbuka"-- maafkanlah penggandengan dua kata yang sebenarnya berbentrokan arti ini, namun buat saya lebih pas menggambarkan suasana dewasa itu. Sudah biasa saya mendengar isu bahwa si A tampaknya seorang anggota LSM yang sudah tenar, tapi sebenarnya mata-mata penguasa; atau si X aktif dalam kegiatan diskusi mengenai Marxisme. Seorang teman saya malah pernah diseret malam-malam oleh beberapa sesama mahasiswa anggota Pemuda Pancasila, karena menolak menggunakan jasa mereka untuk keamanan acara kampus yang saat itu diketuainya.

Kembali ke soal Herman. Saya ingat, ketika berita tentang para aktivis politik muda yang hilang masih banyak menghiasi halaman depan surat-surat kabar maupun laporan utama majalah-majalah berita tujuh atau delapan tahun lampau, saya sempat heran melihat nama Herman tercantum. Saya tidak menyangka bahwa dia sudah sedemikian menjadi "pentingnya" dan "berbahayanya" bagi kelompok tertentu yang memiliki akses pada kekuasaan maupun perlengkapan itu. Terlebih sudah jamak bila seseorang yang selama kuliah aktif dalam pergerakan kemudian menjelma menjadi pribadi yang jauh lebih lunak setelah lulus. Mana saya tahu bahwa sampai saat menghilangnya ternyata Herman memang masih sedang menggarap skripsinya?

Dan sekarang, kelihatannya Herman memang sudah tiada. Pernyataan ini sebenarnya telah pernah dilontarkan beberapa tahun lampau, saya lupa oleh siapa. Tapi bila yang mengemukakan Wiranto, saya kira hal itu sudah harus diterima sebagai fakta. Mungkin orang tua Herman, dan ke-13 terculik lain, telah lama berusaha menguburkan keinginan mereka untuk bisa melihat lagi anak-anak mereka. Namun toh di tengah ketidakjelasan itu, saya yakin mereka masih menyimpan secercah harap. Kini boleh dikata semuanya sirna.

Saya bukan kawan dekat Herman; kami kenal begitu saja. Toh perut saya bergolak membaca konfirmasi ketiadaannya. Memang benar, tanpa mengenal sendiri suatu atau seorang subyek, sulit bagi kita merasa empati. Seperti halnya membaca berita perkosaan di koran: kalau korbannya bukan diri sendiri/teman/saudara/rekan, berita itu hanyalah sepotong kolom di rubrik kriminil.

Di atas semuanya itu, saya sedih memikirkan sejarah berdarah negeri ini. Keadilan memang harus ditegakkan. Di sisi lain, saya juga mengkhawatirkan kemungkinan terjadinya rentetan kejadian ala cerita silat: semua pihak saling membalas dendam. Penguasa sekarang harus mempunyai kemauan untuk mengungkapkan kebenaran. Bila memang pernah terlibat atau terserempet dalam tindakan-tindakan yang dulu dipakai untuk memagari kekuasaan, harus berani mengakuinya -- dan bila memang dituntut untuk mundur, bersedia mundur. Tapi pihak korban idealnya memiliki kelapangan dada untuk memaafkan, dengan catatan ada upaya signifikan untuk memaparkan fakta kepada publik, permintaan maaf, dan tindakan-tindakan perbaikan. Utopis, memang, sebab penguasa pada skenario di atas -- kendati telah dimaafkan oleh keluarga korban, misalnya -- akan dijatuhkan oleh lawan-lawan politik yang haus peluang.

5 comments:

abhirhay said...

sejarah bangsa ini dari dahulu sdh berpercik darah. mulai dari masa praindonesia hingga pasca indonesia. yg tercatat sejarah pertama adalah ken angrok, berlanjut ke imperialisme majapahit, pertarungan trah demak bersambung ke mataram, lalu banten, cirebon dll. pascamerdeka, ada peristiwa madiun, di/tii, gestapu, priok, talangsari, sampai peristiwa mei. ini sekedar contoh. kini hantu terorisme membayangi. muncul polemik menghidupkan gurita intelijen sampai ke sudut-sudut kampung. belum punah rasa pedih oleh tragedi masa silam yg masih gelap, kini telah ditambah mendung hitam menggantung. rasanya bangsa ini tak pernah benar-benar belajar dari sejarah kelam dirinya. mungkin buku sejarah sudah waktunya tak hanya memuat kejayaan masa silam, tapi juga kepiluan. agar semua tak terulang.

Anonymous said...

tragis banget sih...udah kayak pki...apakah mereka ini *ke-14 org* bener" bahaya laten untuk negara ato untuk orang" tertentu saja...

Radite said...

hey there,
jadi herman kakak kelas elo di fisip? berarti elo dulu kuliah di salah satu dari sekian jurusan di fisip dan pasti di airlangga, surabaya?

berarti ada dua kemungkinan: either elo kakak kelas gue atau kita ada di angkatan yang sama?

kalo salah, maap yak.

ardita
dulu di HI. masuk 92. lulus 2000. airlangga.

Anonymous said...

Hi,

just amazing 4 me krn apa yang aku tulis bisa memberikan kenangan tertentu bagi orang lain.
aku tadinya berfikir akua dalah sosok tidak terlalu banyak berarti u orang lain.

btw...kesaksianmu tentang kawanmu sangat menarik karena betapa 'biasanya' para orang-orang yang diculik itu. tapi penguasa justru menganggapnya berbahaya. betapa mengerikannya ketika hal yang 'biasa' spt berbeda pendapat, demonstrasi, membagikan selebaran dibalas dengan penculikan dan pembunuhan.

saya merinding menulis ini...

Wiranto, prabowo, sjafrie dan para jenderal harus bertanggungjawab!

saya akan menjalankan tugas itu meski kecil sekali peran saya dalam penegakan demokrasi.

btw..just FYI
besok ada pertemuan tertutup di rumah Wiranto yang akan dihadiri tokoh-tokoh politik indonesia. Mau apa dia ya?

regard,
dwi.djanuarto@bisnis.co.id

Anonymous said...

wah, kehormatan bagi saya, penulis artikelnya memberi komentar pada blog yang tidak berarti ini.

Makasih mas Dwi!