A Cliche Posting

A long lost friend asked me in our cyber conversation the kind of man I am looking for.

It did not take seconds for me to answer: "A man who makes me comfortable."

"How?" he insisted. "Give me some explanation."

"You see," I replied, "it is actually an inexplicable thing."

"Ouch. Women are so complicated!"

"Not really. Men are." (Otherwise we women wouldn't be discussing how we shall interpret their gestures, right? Right?).

"Well, he will be the one who I can talk to about anything without ever thinking whether I'm still in the safe zone; the one that I can kiss even before I brush my teeth; and my emotional haven. When I am comfortable with him, his physical appearence doesn't count."

(Smiling icon).

"Let me put it this way. When the beauty has faded away, the world turned into rash, and his presence remains being my source of happiness, then he is The One."

(Hand clapping icon. Geeze! Come on, man! It's sooo cliche!)

Cliche or not, it did inspire me to write a short letter to my future partner.

My dear future partner, wherever you are now, or whether you exist or not:

When I lay my eyes on you, I know I am the luckiest woman for having found a soul that clenches mine so perfectly. Around you I feel like the way I am now, and I will be full with excitement for being me. As you love me for who I am, and will love me for what I am going to be.

But better than that, I love you for who you are and will love you for what you are going to be.

You may not wear the latest trend, have the idol look, speak the "gaul" way, sing like Peabo Bryson, or come with Brad Pitt's body (and his awesome firm butt).

You may be that ordinary guy with glasses, missed by passers-by.

You may forget my birthday, never send flowers/chocolates/sejenisnya, and prefer nasi goreng Menteng to Blowfish because it's much cheaper. (And therefore never understand why one should spend almost a hundred thousand rupiah for a seat at EX while the same amount of money can pay for five tickets in TIM).

But the sparkles in your eyes when I come out wearing something different than usual always manages to buoy me. No word is necessary, since time usually stops when our eyes lock and our fingers intertwined.

Your short compliments and encouraging words are all I need to rise my spirit. You are willing to be the shadow, but you are actually the light.

I may not always like you. I may hate it when you refuse to put on a more sophisticated outfit. I might despise your obsession with football games. I may yearn for you to be more attentive -- MY standard of attentiveness, of course.

I can be sure, however, that you will remain being my source of happiness most of the times.

And that years from now, when our wrinkled hands hold each other, it is the eternal comfort that I have always been familiar with. Around you.




Love,
Your future partner

Batman

Just got back from the theatre for "Batman Begins". Love it (usually not really my kind of movie). The second time seeing Christian Bale. The first one? When he was only a kid, in "Empire of the Sun" (my all-time fave flick).

I wonder whether anyone would be interested in making ... er ... "Alf Begins"?

Tentang Orang Hilang...

Dari Bisnis Indonesia, Selasa, 14 Juni 2005:

WIRANTO UNGKAP 14 AKTIVIS YANG DICULIK SUDAH MENINGGAL

Oleh Bambang Dwi Djanuarto


JAKARTA (Bisnis): Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Wiranto mengakui bahwa 14 korban penghilangan paksa pada 1997-1998 yang sampai saat ini tidak diketahui nasibnya semuanya sudah meninggal.
Hal itu diungkapkan oleh ketua tim Ikatan Orang Hilang Indonsia (Ikohi) Mugianto dalam konferensi pers di Jakarta hari ini.

Mugianto menjelaskan pengakuan Wiranto itu terjadi dalam pertemuan antara ketua tim Pengungkapan Korban Penculikan dan Penghilangan Secara Paksa Komnas HAM Ruswiyati Suryasaputra dan Wiranto yang bersifat tertutup pada 10 Juni 2005.

Menurut Mugiyanto, dalam pertemuan itu Ruswiyati sempat menanyakan bagaimana nasib 14 aktivis yang masih hilang, para anggota keluarga ingin mengetahui nasib mereka. Wiranto lalu menjawab dengan singkat., "Mereka sudah tidak ada", kata Wiranto kepada Ruswiyati.

Menurut Mugi, jawaban cukup mengagetkan karena sejak terbongkarnya kasus penculikan aktivis 1998 pihak TNI hanya mengakui menculik sembilan orang aktivis yang semuanya sudah dibebaskan.

Pernyataan Wiranto, katanya, merupakan fakta baru yang dapat membuka harapan untuk menguak misteri hilangnya para aktivis periode 1997-1998.

Mereka yang hilang adalah Yani Afri, Soni, Dedi Hamdun, Noval Alkatiri, Ismail, Wiji Tukul, Suyat, Herman Hendrawan, Petrus Bima Anugrah, M Yusuf, Ucok Munandar Siahaan, Yadin Muhidin, Hendra Hambali dan Abdun Naser.

Ikhoi, katanya, meminta kepada Tim Komnas HAM agar memanggil Wiranto ke Komnas HAM karena pertemuan tertutup yang lalu merupakan pertemuan konspiratif.


Kabar itu bisa saja cuma menjadi salah satu dari sejumlah tulisan yang saya baca untuk mencari tahu informasi dari Tanah Air. Bahan perdebatan komunitas Indonesia di D.C. yang biasanya saya pantau dari milis. Tapi ketika saya membaca nama Herman Hendrawan, saya tercenung.

Herman senior saya di kampus dulu, satu angkatan di atas saya. Sama-sama FISIP, tapi beda jurusan. Orang yang cukup ramah dengan rasa humor tinggi, dan jelas seorang aktivis. Tapi karena begitu banyak aktivis politik di lingkungan universitas, terutama di fakultas kami yang cenderung memberikan kelonggaran bagi para mahasiswanya untuk memilih organisasi dan kegiatan yang pada masa itu -- awal '90-an -- menyerempet kekuasaan, waktu itu saya melihatnya sekedar satu di antara sekian nama. Apalagi lebih banyak yang (setahu saya) lebih vokal dari Herman. Entah itu memang cara yang dipilih Herman, entah saya yang kurang memperhatikan lingkungan karena sibuk dengan kegiatan saya sendiri di UKM (rasanya sih yang terakhir lebih tepat). Tapi memang masa-masa tersebut adalah masa yang dapat menggairahkan imajinasi, karena kampus menjadi wahana klandestin "terbuka"-- maafkanlah penggandengan dua kata yang sebenarnya berbentrokan arti ini, namun buat saya lebih pas menggambarkan suasana dewasa itu. Sudah biasa saya mendengar isu bahwa si A tampaknya seorang anggota LSM yang sudah tenar, tapi sebenarnya mata-mata penguasa; atau si X aktif dalam kegiatan diskusi mengenai Marxisme. Seorang teman saya malah pernah diseret malam-malam oleh beberapa sesama mahasiswa anggota Pemuda Pancasila, karena menolak menggunakan jasa mereka untuk keamanan acara kampus yang saat itu diketuainya.

Kembali ke soal Herman. Saya ingat, ketika berita tentang para aktivis politik muda yang hilang masih banyak menghiasi halaman depan surat-surat kabar maupun laporan utama majalah-majalah berita tujuh atau delapan tahun lampau, saya sempat heran melihat nama Herman tercantum. Saya tidak menyangka bahwa dia sudah sedemikian menjadi "pentingnya" dan "berbahayanya" bagi kelompok tertentu yang memiliki akses pada kekuasaan maupun perlengkapan itu. Terlebih sudah jamak bila seseorang yang selama kuliah aktif dalam pergerakan kemudian menjelma menjadi pribadi yang jauh lebih lunak setelah lulus. Mana saya tahu bahwa sampai saat menghilangnya ternyata Herman memang masih sedang menggarap skripsinya?

Dan sekarang, kelihatannya Herman memang sudah tiada. Pernyataan ini sebenarnya telah pernah dilontarkan beberapa tahun lampau, saya lupa oleh siapa. Tapi bila yang mengemukakan Wiranto, saya kira hal itu sudah harus diterima sebagai fakta. Mungkin orang tua Herman, dan ke-13 terculik lain, telah lama berusaha menguburkan keinginan mereka untuk bisa melihat lagi anak-anak mereka. Namun toh di tengah ketidakjelasan itu, saya yakin mereka masih menyimpan secercah harap. Kini boleh dikata semuanya sirna.

Saya bukan kawan dekat Herman; kami kenal begitu saja. Toh perut saya bergolak membaca konfirmasi ketiadaannya. Memang benar, tanpa mengenal sendiri suatu atau seorang subyek, sulit bagi kita merasa empati. Seperti halnya membaca berita perkosaan di koran: kalau korbannya bukan diri sendiri/teman/saudara/rekan, berita itu hanyalah sepotong kolom di rubrik kriminil.

Di atas semuanya itu, saya sedih memikirkan sejarah berdarah negeri ini. Keadilan memang harus ditegakkan. Di sisi lain, saya juga mengkhawatirkan kemungkinan terjadinya rentetan kejadian ala cerita silat: semua pihak saling membalas dendam. Penguasa sekarang harus mempunyai kemauan untuk mengungkapkan kebenaran. Bila memang pernah terlibat atau terserempet dalam tindakan-tindakan yang dulu dipakai untuk memagari kekuasaan, harus berani mengakuinya -- dan bila memang dituntut untuk mundur, bersedia mundur. Tapi pihak korban idealnya memiliki kelapangan dada untuk memaafkan, dengan catatan ada upaya signifikan untuk memaparkan fakta kepada publik, permintaan maaf, dan tindakan-tindakan perbaikan. Utopis, memang, sebab penguasa pada skenario di atas -- kendati telah dimaafkan oleh keluarga korban, misalnya -- akan dijatuhkan oleh lawan-lawan politik yang haus peluang.

I cry when I see your name

I hate it when people see the wound in my heart. I have to stay strong, appear as if nothing can ever hurt me and tear me apart. Because I don't want to be torn apart.

Of course there are times when I cannot stop tears from falling down my cheeks. Like when I see your name popping up on my computer monitor.

I miss you. A lot. My heart bled when you didn't reply to my messages, because I needed to talk to you, despite the thousand of miles separating us. Because your words always manage to warm me up. Because I ought to feel your presence that keeps me strong.

Because you have been, and will always be, a very dear friend to me. You've owned a special place in me.

Deep inside my heart, I know that you care for me. That your love endures, the philia love. That you wish you could be there for me. Therefore, I sometimes detest myself for not understanding it and for letting myself feel rejected, while it is totally not true.

Your name is right there, in front of me. Your window. I still can't decide whether I am going to call you and take the risk of once again feeling turned down because you don't answer me immediately. Or whether I shall just leave you there, no risks, but I will lose the chance to express how I long to chat with you.

Please stay with me, Brother. I need you.


Especially to my sister in Ciudad de Mexico. Don't be afraid to wear your heart on your sleeve!

Dialek lokal dan logat nasional

Terus terang, isian kali ini terinspirasi oleh posting seorang blogger mengenai gegar budaya. Lepas dari seringnya topik ini dibahas di berbagai forum formal dan informal, termasuk dengan berbagai referensi dan kiat untuk mengatasinya, saya kira isu ini tidak akan pernah terlalu basi karena hampir semua dari kita pernah mengalaminya. Terlebih setelah revolusi teknologi membuat bumi semakin tak terbatas. (Entah beberapa tahun lagi, setelah kita mungkin bisa menjalin percakapan maya dengan makhluk planet lain -- dengan catatan: mereka benar-benar ada)

Saya termasuk orang yang beruntung karena memiliki orang tua dengan pekerjaan yang menuntut untuk berpindah tempat beberapa kali, sehingga saya dapat melihat sendiri berbagai perbedaan bahasa, cara pikir, makanan, dan sebagainya, dan kondisi demikian memaksa saya untuk menyesuaikan diri dengan hal-hal tersebut secara relatif cepat. Dulu tidak terpikir oleh saya bahwa pekerjaan saya sekarang akan memiliki nuansa serupa, dengan tantangan yang lebih besar lagi, bukan saja karena saya tidak hanya berpindah propinsi melainkan berpindah negara, namun juga karena orang dewasa pada umumnya membutuhkan waktu lebih lama untuk beradaptasi dibandingkan anak-anak. Namun saya bersyukur karena kekayaan pengalaman itu, yang sangat membantu saya menghadapi berbagai perubahan lingkungan.

Yang ingin saya sorot di sini sebenarnya bukan masalah gegar budaya per se, apalagi cerita diri sendiri yang bisa-bisa makin menonjolkan narsisisme saya, hehehehe... Saya ingin membahas sedikit mengenai logat bicara, yang waktu itu baru saya singgung dalam percakapan dengan Apey, kawan lama yang berhasil saya hasut untuk menjadi seorang blogger juga. Sejalan dengan stereotip umum bahwa obrolan antar perempuan diwarnai cerita tentang orang lain, waktu itu pembicaraan kami memunculkan nama seorang teman bersama, yang sudah cukup lama tidak kami temui. Kebetulan Apey memiliki kesempatan untuk bertukar kata dengannya sejenak, yang kemudian mendorong saya untuk bertanya: "Bagaimana logat bicaranya? Semakin 'Jakarta', kah?"

"Begitulah... aku sampai hampir-hampir tidak mengenali suaranya."

Kalau saya sampai mengangkat isu logat bicara, tidak lain karena saya mencurigai bahwa teman kami tersebut sudah sedemikian menyesuaikan diri dengan Jakarta, kota yang sekarang ditempatinya, sampai menganggap diri "anak Jakarta" lengkap dengan logat Jakarta. Hal yang saya temui di banyak teman saya yang lain.

Sebenarnya toh tidak ada yang salah dengan itu. Di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung. Tinggal di Jakarta, bicaralah dengan logat Jakarta. Saya pun menggunakan dialek ini di lingkungan saya sekarang, kecuali bila bertemu dengan teman-teman "sekampung". Surabaya, maksud saya. Otomatis saya lebih suka bicara dengan cara Surabaya, yang rasanya kok lebih pas. Mungkin karena itu saya kerap tergelitik bila mendengar orang daerah, Surabaya khususnya, yang berbicara dengan logat yang sangat Jakarta di kotanya sendiri.

Menjadi pusat hampir segala-galanya di Tanah Air, Jakarta memang akan selalu dijadikan parameter kemajuan, sekaligus target pencapaian. Terlebih buat "putera-puteri daerah". Apalagi yang masih berada dalam rentang usia remaja. Menggunakan busana atau perlengkapan lain yang dikenakan para remaja Jakarta berarti menjadi bagian dari kelompok yang sadar mode. Dan tengoklah radio-radio dengan pangsa pasar remaja di daerah-daerah: sangat lumrah bila para penyiarnya bicara dengan logat Jakarta. Majalah-majalah remaja akan menggunakan ungkapan khas remaja Jakarta dalam penulisannya. Sebuah kuis berbasis polling pernah mengungkapkan bahwa acara televisi dengan muatan "lokal" yang paling banyak diingat adalah yang menggunakan dialek Betawi, yang walaupun tidak sama persis tapi jelas merupakan sumber logat Jakarta yang dikenal saat ini. Dalam kaitan ini, saya teringat seorang kenalan lain di Surabaya dengan dialek Jakarta yang cukup kental. Saya dengan lempang pernah mempertanyakan hal itu kepadanya, dan dijawab: "Oh, soalnya saya memang baru pindah ke Surabaya sih."

"O ya? Sejak kapan?"

"Kelas 6 SD".

Saat percakapan ini berlangsung, kami sudah sama-sama kuliah. Di Surabaya, jelas.

Pendek kata, dialek Jakarta menjadi dialek nasional. Memang, sempat timbul kekuatiran sejumlah pihak di daerah bahwa logat daerah akan semakin menyurut penggunaannya, sehingga muncullah konsep penggunaan dialek lokal untuk acara-acara stasiun televisi yang berpusat di daerah, seperti JTV. Yang unik dari JTV adalah bahwa suplai acara dengan bahasa pengantar dialek Surabaya ini diperoleh juga dari Voice of America. (Catatan: Nadia Madjid lumayan lancar menggunakan dialek ini, walau telinga saya agak-agak gatal mendengarnya).

Di sisi lain, sebenarnya tidak ada yang salah dengan nasionalisasi dialek Jakarta. Sama seperti sah-sah saja bila orang tidak memiliki keterikatan emosional dengan tempat di mana ia dibesarkan, sehingga memilih untuk seratus persen menjadi bagian dari wilayah barunya; dan hal ini berlaku di manapun. Bila saya habis-habisan mengecam orang yang memilih untuk menggunakan dialek nasional ini di kotanya sendiri, orang lain boleh mengkritik saya yang hampir-hampir tidak bisa menggunakan bahasa Batak, daerah asal keluarga saya.

Pertanyaan berikut, yang tidak secara langsung mengenai bahasa, tapi menjadi konsekuensi logis dari perdebatan mengenai dialek adalah: apa sebenarnya manfaat pemeliharaan bahasa daerah? Sebabnya, hal tersebut dapat mengarah pada pertanyaan lain: apa manfaat pemeliharaan budaya? Ketika berbagai jargon mengenai pemeliharaan warisan budaya dikembangkan, saya belum melihat banyak penelitian mengenai kegunaannya. Kecuali bila dipandang budaya tertentu secara signifikan mendukung aspek-aspek penting dalam kehidupan manusia, misalnya adat suku tertentu yang melarang penebangan pohon selama beberapa tahun, yang tentunya sangat relevan dengan upaya pemeliharaan lingkungan hidup.

Saya beberapa kali membaca pendapat yang mengatakan bahwa identitas kultural penting bagi orang untuk memahami siapa dirinya, asal-usulnya, dan apa tujuan hidupnya. Terus terang, saya meragukan hal tersebut, terlebih dewasa ini, ketika dunia semakin tak berbatas (mengulang apa yang sudah saya tulis di atas). Saya tidak menyangkal bahwa saya selalu mengasosiasikan diri saya dengan atribut-atribut yang senantiasa mengikuti saya: suku saya, agama saya, marga saya, sekolah saya, tempat saya dibesarkan, dan -- sesuai dengan tuntutan pekerjaan -- negara saya. Tapi saya tidak merasa bahwa atribut-atribut tersebut menjadikan saya seorang manusia yang lebih baik, baik terhadap sesama manusia maupun terhadap bumi ini. Yang bisa dikecualikan barangkali adalah agama, dengan catatan bahwa implementasi perintah Tuhan sebagaimana diyakini dalam agama saya itu -- yang menekankan masalah kasih -- benar-benar saya laksanakan.

Ah, jangan-jangan saya semakin skeptis pada banyak hal. Dan tulisan ini semakin tidak fokus pada topiknya, hehehehe...

I'm not posting something about the Deep Throat...

.... too many blogs already dedicate an entry on that.