Lessons from the American Idol

I notice and I do share the feeling of a great number of people who were shocked that gifted singers got voted out of the American Idol. Nadia, Anwar, and Constantine being the latest prey of the principle of majority rules. The fact that the rude-forever-talent-questioned Scott Savol and sweet-yet-deadly-boring-in-need-of-voice-enhancer Anthony Ferodov still made it to the next step is so disheartening. I guess this pretty much gives us the impression that in order to win the hearts of American people -- at least in this fourth season -- you've got to possess this qualification:

1. Have a killing appearence, better combined with a good voice. Applicable for female only. Anyway, I've always loved Carrie Underwood and I personally think she'd get the crown this time. And I am a bit certain it's only a matter of time before Vonzell bits her goodbye to her millions of fans.

2. The "I-hate-Simon" factor. Thanks to William Hung, it is now considered cool to be the one "Idol" dissed by Simon. Nobody ever wants to be humiliated in public, thus more votes would be given to the those being put down by the sharp tongued Englishman and daring to hit back. It's sort of a public revenge to Simon, and at the same time it's about giving opportunities to those who love to sing but know that they lack many things, voice in particular. Kicking out talented singers subsequently constitutes as masturbation.

But after the war against blunt-speaking judges is over and reality takes back, the "eliminated" ones would return to spotlight. After all, it is the music industry that dictates public taste, not the other way around.

Ah, that maternal glow...

Being a woman did not stop me from checking out Asia Carrera's site once I discovered that she develops and maintains the site herself -- despite her busy schedule -- and that she is actually a Mensa member. (No, I don't believe she gained her membership by, well, entertaining the directors.) While I didn't find the site's appearence quite fancy, it is still amusing to read Asia's daily scoop, always written in a witty way. So I pay occasional visits to it.

Asia just gave birth to a baby girl, whom she and hubby Don Lemmon named Catalina. Like most new mothers in the world, she is so proud with her baby, and can't stop writing about her, and taking pictures of her. And like other blogging mothers, she created a website for her.

Anyway, seeing below photograph of Asia showing off Catalina, I think Asia looks way beautiful than ever. She definitely radiates that maternal glow. And Catalina is cute!

A Smile that Launches a Thousand Heartbeats

It was two days ago. Amid the Friday night commuters who were crowding the wagons, he was there with his two friends, a couple. The minute he came into my sight, I was taken. It took a full effort not to stare at him the entire 20 minute-ride home.

One of his friends joked. And he smiled.

Oh my God.

Whenever I see your smiling face, I have to smile myself
Because I love you, oh yes, I do

It was not love, of course. Yet, when he smiled, I couldn't help smiling too. Got to move my head towards other direction so others wouldn't notice. Somehow I felt like he caught me. (Or perhaps I hoped that he did). Whatever it is, the room suddenly lit up.

It's not like everyday that you have an exciting experience of encountering God's creature with a beautiful face framed by copper-brown hair and a smile that launches a thousand heartbeats.

Programmer Tunanetra

Seorang teman saya mengirimkan email, yang rupanya berasal dari halaman situs ini. Isinya demikian:

Punya banyak teman memang mengasikkan dan merupakan berkah tersendiri.
Punya teman politisi, itu biasa...
Punya teman pedagang, itu juga biasa...
Punya teman dokter, itu juga biasa...
Punya teman pejabat, itu juga biasa
Punya teman tukang ojek, itu juga biasa...
Punya teman konglomerat, itu juga biasa...
Punya teman orang IT, itu sangat biasa lagi karena memang profesi dan bidang yang se-hari2 saya geluti adalah IT.

Nah kalau punya teman orang IT, programer yang tunanetra? Itu baru ruarrrrbiasa...
Terus terang, pengalaman baru bagiku, berkenalan dan akhirnya bisa berteman dengan teman baruku ini. Dari namanya tidak ada yang aneh, Rama, nama orang Indonesia kebanyakan. Lengkapnya, Eko Ramaditya Adikara.

Perkenalan ini terjadi pada saat launching website tunanetra pertama di Indonesia, www.mitranetra.or.id yang diselenggaran oleh Depkominfo bekerjasama dengan Yayasan Mitra Netra, Hari Kamis, 31 Maret 2005 di Gedung LIN, Jl. Merdeka Jakarta.

Awalnya, pembukaan yang dilakukan oleh Menteri Kominfo, Bp Sofyan Djalil terasa biasa2 saja dan membosankan. Berangkat pagi2 dari kantor Pacific Link (www.pacific.net.id, yang terletak di kawasan kuningan) tidak begitu bersemangat. Maklumlah, dari undangan yang dikirimkan, tidak ada yang istimewa dari acara ini. Apalagi judul acara dan agenda acara terasa biasa2 saja. Seremonial peluncuran website seperti ini sudah hilang gregetnya bagi saya dan juga teman2 di kantor. Ditambah lagi asumsi2 kami yang sempat negative thinking... Ah... paling2 proyek2an pemerintah... ah paling2 website pemerintah yg isinya meng-eksploitir kegiatan orang2 (maaf) cacat... proyek fiktif apalagi ini? (hehehe... maaaf... bagian yang ini mohon di sensor...)

Yang akhirnya (sedikit) membuat saya bersemangat untuk hadir adalah diantara pembicara dalam seminar (yang juga merupakan bagian dalam acara tsb) adalah Onno. W Purbo dan Roy Suryo.

Setelah seluruh sambutan, tibalah saatnya untuk demo yang dilakukan oleh Rama... yang sebelumnya saya duduk dibagian tengah kemudian pindah kebagian paling depan, berdiri, ingin menyaksikan demo tersebut dari jarak yang dekat.

Penasaran dan kagum, pikiran itulah yang memenuhi otak saya. Allahu akbar... ckckckckkkk... hebat... seorang tunanetra bisa melakukan semua hal yang sama sekali tidak terpikirkan oleh kami. Ternyata... website tsb adalah hasil karya mereka, orang2 IT yang tunanetra.

Terharu, trenyuh, kagum, salut dan masih banyak lagi perasaan dan pikiran yang ada pada saya pada saat itu.

Setelah demo berlangsung, kebetulan Rama duduk persis disebelah saya. Itulah awalnya kami berkenalan. Salah seorang temannya yang juga dikenalkan adalah Suratin. Suratin pernah mengirimkan email ke Pak Onno yang juga membuat Pak Onno terkejut dan heran atas pengakuan Suratin bahwa dirinya adalah tunanetra. Email ini sempat di tampilkan pada saat sesi presentasi.

Banyak hal yang kami bicarakan. Rama atau aurora (demikian nicknamenya di i-net) adalah tunanetra sejak dari lahir. Seorang yang mandiri, potensial, rajin menulis dan lain-lain yang bisa anda baca sendiri di website pribadinya di http://www.ramaditya.com/. Rama juga biasa chating menggunakan Yahoo Mesenger, selain menggunakan email. Atau jika ingin berkenalan lebih jauh, anda bisa juga mengubunginya via HP selain mengunjungi websitenya.

Demikian cerita singkat mengenai perkenalan kami yang akhirnya saya tulis dalam blog ini. Sampai hari inipun, setelah 1 minggu perkenalan dan beberapa kali melakukan kontak (hp, email dan chating), kesan yang mendalam tsb masih tetap melekat kuat di otak saya.

Pesan dan hikmah yang bisa diambil dari cerita ini adalah kemauan dan kerja keras akan membuat hal yang menurut orang kebanyakan tidak mungkin akan menjadi kenyataan. Masing2 orang memiliki kekurangannya sendiri2 disamping kelebihan yang harus bisa ditonjolkan. Kekurangan menjadi tidak berarti ketika keunggulan seseorang bisa ditampilkan dengan se-baik2nya.

Dan satu hal penting yang harus disampaikan dan disosialisasikan dalam hal launching dan seminar website tunanetra tsb adalah mengenai "Web Accessibility". Sebagai pemerhati dunia IT, programer, developer, ataupun pengguna internet di Indonesia, ada baiknya kita ikut mensosialisikan web yang dimana kita berkontribusi didalamanya, agar ditambahkan kode khusus sehingga web tsb dapat di akses oleh teman2, saudara2, rekan2, keluarga ataupun kerabat kita yang tunanetra. Untuk lebih jelas mengenai referensi bagaimana membuat "Web Accessibility". bisa anad baca di http://www.w3.org/WAI/, www.microsoft.com/enable, www.microsoft.com/enable/training/default.aspx, www.cew.wisc.edu/accessibility/tutorials/default.htm,
www.wright.edu/web/access/, www.nomensa.com/resources/ articles/web-accessibility.html. Sedangkan perangkat lunak, screen reeader yang paling populer digunakan (paling tidak untuk mencoba apakah website tsb sudah layak untuk ditampilkan) adalah Jaws. Atau bahkan di i-net banyak terdapat tool2 untuk melkuan pengecekan terhadap web yg sudah mendukung Web Accessibility. Untuk yang versi Indonesia mungkin ada yang pernah buat? Atau ada yang tahu URLnya, mohon diinformasikan dan disosialisaikan ke teman IT. Bagi yang berminat untuk membuat dokumentasi, tutorial ataupun tulisan dalam bahasa Indonesia sangat diharapkan, mungkin kita bisa bekerjasama? :)

Mereka (teman2 tunanetra) tidak butuh dikasihani, tidak butuh pertolongan kita. yang mereka butuhkan adalah pengakuan kita akan eksistensi mereka. Hal ini juga terungkap dan menjadi pertanyaan yang dilontarkan oleh Bp. Encep Kastroni (Ketua KAPCI) dan Ismail yang menanyakan kepada pembicara seminar. Paling tidak, bentuk kepedulian kita adalah mau memikirkan bagaimana mereka bisa mndapatkan informasi dari i-net, bagaimana mereka bisa mendapatkan info dari web. Salah satunya Mensosialisasikan Web Accessibility.

Terima kasih buat Rama dan teman2, secara tidak langsung anda dan teman2 memberikan motivasi lain bagi kami yang bukan tunanetra agar lebih terpacu dan dapat berkarya, terutama yang berguna buat orang lain. Karya terbaik apapun menjadi tidak berarti ketika karya itu tidak gunanya bagi orang lain.

Terimakasih buat Depkominfo dan Yayasan Mitra Netra yang telah mau peduli dengan mereka dan berkenan mengundang kami, Pacific Internet Indonesia. Dan saya mohon maaf karena sebelumnya sempat berprasangka kurang baik (padahal kl gak terus terang gini juga mereka kan gak tahu ya? Biar fair ajalah apa yang ada di isi hati... :) ).
Dan juga terimakasih dengan Mas Roy atas bincang2nya walaupun cuma sebentar, yang sedikit-banyak juga memberikan inspirasi bagi saya kalau suatu saat bisa jadi pembicara seperti mas Roy. Dan juga pak Onno yang selama acara terlihat sekali sibuk dengan digicamnya, foto sana, foto sini.... (kamera baru ya pak? Saya sempat difoto juga gak pak? hehehehehe...:) )

Semoga Allah swt selalu melindungi dan memberikan rahmatnya bagi Rama, Suratin, teman2nya dan juga kita semua... amiiiinnn...

Maju terus Telematika (ICT) di Indonesia... Semoga...

Jakarta, 6 April 2005

@dH1

Saya selalu senang melihat orang yang punya keinginan untuk maju. Bravo, Rama!

PS:
Maaf buat Mas Adi Rachdian yang blognya saya sontek habis-habisan, tanpa permisi pula. Tadinya akan saya edit, tapi rasanya seperti vandalisme; bagaimanapun ini kan tulisan Mas Adi.

Api! Api!

Suara sirene di kejauhan tidak terlalu mengganggu saya. Saya biasa tidur di tengah keriuhan. Saya hanya sempat berpikir: ini mimpi. Dan: kok suaranya makin lama makin keras?

Seruan ibu saya membangunkan kami semua.

"Bangun! Bangun! Ambil dokumen, turun ke bawah! Apartemen East terbakar!"

Yang muncul di benak saya hanya satu. Apartemen yang dirubung api adalah yang berada di seberang kompleks apartemen kami. Saya meneruskan tidur sejenak, sampai kemudian saya membuka kelopak mata saya sedikit, dan melihat nyala berwarna jingga dari jendela kamar saya yang besar. Astaga.

Apartemen saya berada dalam kompleks yang terdiri dari empat bangunan apartemen: Blair Tower, Blair East, Blair Plaza, dan Blair Townhouse. Bangunan tempat saya bangun tiap pagi, Blair Plaza, berhadap-hadapan dengan Blair East, yang terbakar.

Saya sempat terheran-heran dan merasa mimpi melihat kobaran di depan mata saya. Saya lihat ke bawah: tidak ada kumpulan orang. Benar-benar terjadikah peristiwa ini? Atau semuanya sudah tertangani? Tapi kenapa saya tidak melihat gerakan-gerakan pemadaman?

Rupanya truk-truk pemadam kebakaran sudah berada di bawah. Kondisi pukul lima pagi yang masih gelap dan mata saya yang masih berat membuat saya tidak memperhatikannya.

Kemudian saya ingat: ada empat keluarga teman saya sekantor yang tinggal di bangunan itu. Dan kami teringat bahwa apartemen salah seorang di antaranya adalah yang dipasangi bendera bintang-dan-garis milik negara ini. Ya Tuhan. Apartemen yang terbakar berada persis di sebelah apartemen teman kami itu, di lantai berikutnya.

Dengan panik kami menelepon teman-teman saya, melalui telepon rumah maupun genggam. Sebagian besar ternyata sudah keluar dari rumah masing-masing, walau ada juga yang tidak menjawab. Kemudian teman saya yang apartemennya berbendera bintang-dan-garis itu minta tolong menitipkan istri dan anak-anaknya ke saya.

Untung isteri teman saya tidak kelihatan tertekan, malah masih bisa tertawa-tawa. Bagus, karena anak-anaknya menjadi tenang. Bahkan anak-anaknya lebih asyik melihat truk-truk pemadam kebakaran dan mobil-mobil polisi. Teman-teman yang tinggal di gedung yang sama ada yang memilih untuk menunggu di apartemen teman kami yang lain, yang kebetulan segedung dengan saya.

Dalam waktu dua jam, kebakaran sudah bisa diatasi, dan teman-teman saya sudah boleh memasuki rumah mereka. Korban meninggal dua orang, namun bukan karena terbakar. Mungkin lebih karena tidak tahan asap atau shock.

Ini berarti sudah kedua kalinya saya menjadi tetangga rumah atau gedung terbakar. Beberapa tahun lampau, rumah di depan rumah kami di Jakarta terbakar habis. Ibu saya yang melihat dengan mata kepala sendiri kejadian tersebut sampai sekarang menyimpan trauma. Untung rumah kami sudah diasuransikan.

Yang saya perhatikan, kerja pemadam kebakaran di sini profesional, padahal anggotanya tidak dibayar. Artinya, mereka menjadi pemadam kebakaran sukarela, karena menganggap itu tugas sosial. Saya ingat, waktu di Jakarta, Ketua RT kami habis kesabaran karena -- masya Allah -- petugas pemadam kebakaran masih tawar-menawar ongkos pekerjaannya. Akhirnya memang rumah tetangga kami itu tidak bisa diselamatkan. Dan petugas pemadam kebakaran yang mata duitan itu gagal menjadi pahlawan tanpa tanda jasa.

Saya tahu, kecenderungan ini tidak bisa digeneralisir. Tapi menambah lagi keyakinan saya bahwa bangsa kita yang selalu dibangga-banggakan kegotong-royongannya sering tidak memiliki kesadaran sosial. Sedih.

"Kelirumologi" Tidak Penting Yang Kerap Bikin Sebal

#1. "(Tertawa). Wah, orang Batak memang pasti bisa menyanyi. Suara kamu bariton ya?"

Pertama, tidak semua orang Batak bisa menyanyi. Sama seperti tidak semua orang Bali bisa memahat atau menari Bali, atau tidak semua orang Padang bisa berdagang (pelit sih iya ... er... mungkin...). Dan tidak semua orang Jawa berbakat jadi pembantu, hehehehe... *maaf, maaf* Nenek saya, yang seratus persen Batak, memiliki suara paling fals yang pernah saya dengar. Stereotip memang suka mengesalkan ya, terutama bila menambah beban pekerjaan. ("Kamu yang nyanyi ya? Orang Batak kan pasti bisa nyanyi?")

Kedua, sejak kapan ada perempuan punya suara bariton? Kecuali Dorce dan Ru Paul, mungkin. Biasanya saya hanya menjawab sambil tersenyum manis (tentunya manis menurut versi saya): Bukan, kalau untuk perempuan namanya alto. Bariton suara laki-laki, dan seingat saya jarang sekali terpakai di partitur paduan suara, yang biasanya hanya membagi kelompok suara atas S-A-T-B. (Mungkin karena suara saya memang berat ya. Kalau sedang flu, orang yang menelepon saya menyapa dengan sebutan "Pak").

Kemudian soal penggunaan istilah falsette dan diva. Beberapa artikel yang saya baca di koran menuliskan bahwa penyanyi perempuan tertentu mampu memainkan falsette-nya. Falsette memang teknik menyanyi untuk nada-nada tinggi, namun yang digunakan oleh penyanyi pria. Walaupun kesalahan begini sering menggelitik, tapi saya sebenarnya rada maklum, mengingat tidak semua jurnalis punya waktu dan kesempatan untuk mengasah pengetahuan mengenai bidang yang harus ditulisnya. Apalagi setelah membaca blog-blog yang ditulis para mantan wartawan di sebuah koran besar di Jawa Timur.

Sedangkan pemakaian istilah diva untuk penyanyi-penyanyi perempuan terkemuka Indonesia menurut saya sudah agak berlebihan. Di sini pun tidak semua penyanyi perempuan dijuluki diva -- hanya mereka yang dipandang sudah mempunyai reputasi dalam rentangan waktu yang relatif panjang. Itu pun sudah menuai banyak kritikan, terutama oleh kelompok yang bolehlah dikatakan konservatif, yang tegas bahwa julukan diva hanya patut diberikan pada mereka yang jelas-jelas menggunakan teknik menyanyi yang benar. Latah memang salah satu kelebihan kita di Indonesia, hehehe...

#2. "Sekretaris Atase Kedutaan Besar"

Saya pernah membaca satu tulisan fiksi yang menyebutkan pekerjaan seorang tokohnya sebagai "Sekretaris Atase Kedutaan Besar" untuk menggambarkan tingkat kepentingan dan mobilitas yang tinggi dari sang tokoh. Sekali lagi, bukan ketidakmengertian si penulis itu mengenai penyebutan teknis sebuah jabatan yang membuat saya sebal, melainkan fakta bahwa penulis ini tidak membuat riset mengenai apa yang ditulisnya.

Untuk kepentingan diri sendiri, dan teman-teman yang mungkin ingin menulis topik serupa, seperti inilah peringkat pejabat diplomatik di seluruh dunia, mulai dari yang terendah: Atase, Sekretaris III, Sekretaris II, Sekretaris I, Counselor, Minister Counselor, Minister. Ambassador? Gelar itu baru diperoleh setelah memperoleh persetujuan presiden dan DPR.

Mengenai atase, ada perbedaan antara atase diplomatik dengan atase teknis. Atase diplomatik tentunya merujuk pada peringkat diplomatik tertentu, sedangkan atase teknis adalah pejabat dari departemen teknis tertentu (non-Deplu) yang menjadi pejabat diplomatik karena ditempatkan di perwakilan negaranya di luar negeri, misalnya atase pertahanan, perdagangan, dan seterusnya. Perbedaan yang pasti adalah untuk atase diplomatik ada kenaikan peringkat diplomatik, sedangkan atase teknis tidak.

Cerita fiksi yang lain menggambarkan kehidupan tokohnya, yang dikisahkan memiliki ayah diplomat, hidup di delapan negara yang berbeda "mengikuti tugas ayahnya". Wah. Saya kok tidak pernah mendengar ada diplomat Indonesia yang sudah berada di delapan pos yang berbeda sepanjang karirnya. Penempatan pertama umumnya diperoleh setelah sedikitnya empat tahun bekerja, dan biasanya berlangsung tiga setengah tahun. Setelah rampung masa tugas tersebut, yang bersangkutan harus kembali ke Jakarta untuk dua tahun, sebelum memperoleh penempatan berikutnya. Begitu seterusnya: empat tahun di luar negeri, dua tahun di dalam negeri. Pegawai negeri pensiun pada usia 55 tahun, atau katakanlah 65 tahun kalau beruntung bisa menjadi duta besar (bersaing dengan sesama pegawai Deplu dan penunjukan politik presiden). Pada penempatan pertama rata-rata diplomat rendahan ini berumur 30 tahun. Jadi dengan perhitungan bodoh-bodohan, paling-paling seorang pegawai urusan luar negeri ditempatkan di empat atau lima pos perwakilan.

#3. "West Wing"

Ini masih ada hubungannya dengan Sumber Sebal #2. Salah satu episodenya -- mungkin teman-teman yang lain pernah melihat juga -- menceritakan kunjungan Presiden Indonesia. Namanya persisnya saya lupa, tapi katanya keturunan Jawa. Seingat saya nama yang diberikan untuk "Presiden Indonesia" itu tidak ada bau-bau Jawanya sama sekali. Satu-satunya hal yang memperlihatkan bahwa presiden itu dari Indonesia adalah pecinya. Kemudian lihatlah pengetahuan mereka mengenai Indonesia: Indonesia tidak punya bahasa nasional, yang ada hanyalah 600 dialek lokal. Kalaupun penulis skenario episode itu tidak punya waktu untuk mencari bahan tentang Indonesia, logikanya pun pasti tidak ada.

INTINYA? Internet ternyata tidak selalu dipakai para penulis untuk mencari informasi untuk meningkatkan akurasi tulisannya. Indonesia, Amerika, sama saja.

Happy Birthday, Sis!


To my little sister:

When we were kids, we fought a lot. We yelled at each other, punched each other, grabbed each other's hair, kicked each other... It was quite unbelievable, wasn't it, considering we're only one and a half year apart. And we don't have other siblings. Back then each of us would always think that the other was mom's favorite daughter. (Why we would ever think that way still amazes me, because as far as I can picture it right now, we were both very naughty, and shared the equal number of pinches!).

I must confess that I had always envied you. You were Grandma's golden child (for reasons that we only came to understand after we grew up), you seemed to be always surrounded by heaps of friends, yet you followed me everywhere I went, and I felt like I couldn't have my own space with you around. You happened to be the brave one, never afraid to be the center of attention, while I shied away. There was a time when we were invited to a friend's birthday party, in which I was told to sing, then we ended up with you insisting to sing too.

And of course, the unforgettable moment when you were baptized. The congregation had just finished the song and the pastor was just going to start her sermon when the whole people realized that the baptized child was still singing "Sepanjang Jalan Kenangan", a popular song at that time. As always, you cared less. (Yes, yes, you got it from mom!)

No wonder wherever you are, you've always been very popular. And I kept silently envying you, throughout our teen years, the usually complicated and difficult period of a human life circle. You blossomed into a beautiful young woman, tall, lean, light skinned, with friendly nature and guys chasing after you. You also happened to be a bright student, a basketball player, and a member of a modelling agency in our town. (Ah, those years...)

Then you went to Bandung to continue your study. And we became good friends. Distance and maturity helped this process a great deal. Never had I realized that I could miss you badly until the day you flew to Singapore. I looked at your things and somehow tears were flowing down my eyes. Funny, because you would only be in Singapore for six months, and we had been living separately for two years. Of course, when I had the chance to visit you, it was a bliss.

(By the way, you were also very popular in your college. And smart. You graduated with honor, and got plenty of job offers, even before your graduation date)

I can say now that I am so proud of you. You have accomplished a lot. You have gone through millions of things, ups and downs that I could never imagine. You have always been a strong lady, though at times you are so bullheaded! I got mad at you, yelled at you again at some certain times (you do know which times I'm referring to, right?), when I thought you were heading the wrong direction. But after that, seeing you asleep with tired lines and traces of tears on a once full of joy face, I was overwhelmed with sadness. Why should you have such painful life? If only I could take over all your burden! You are my best friend, the one I turn to in difficult times, the keeper of my secrets.

I am proud of you, Sister. You are now standing tall. You have conquered your world, and is reaching another world. May God bless you in your attempts, in your way, in your everything.

I miss you. And I love you Sis. Happy birthday.

Coupling = Marriage?

A blogpal, Melly, is deeply concerned about her relationship. Why should she be? Anyway, I think her posting is worth my million-dollar advise, hehehehe.... I kinda liked my comment, so I decide to put it here.

Tough issue! But for now, I hate complicating things and really feel that we should live for today, and stick to that very notion. I have friends (men, women) who keep saying things like, "I don't want dates. I want a future wife/husband." Silly, because you never know a person if you NEVER even date them. While THERE ARE cases where the couple never meet prior to their wedding and end up being together forever, but there are more -- especially now -- couples who badly need communication skill. How would they know how to communicate after they are married when they never do that BEFORE they get married? Your wedding date is not merely a one-off event -- it's the beginning of a longer process of tolerating, understanding, and cooperating, in addition to co-habitating!

Besides, in line with what Dear Freddy had said: there must be more to life than this. Marriage, that is!

Why I Love "Grey's Anatomy"

1. A sort of new formula for another MD serial. To begin with, this is a serial about interns, residents. Complete with messy hair, puffy eyes, sharp tongued seniors and unhelpful nurses, constant fear and mistakes. No sophisticated looking doctors who seem intact amids awfully busy environment. And the storytelling uses the comedy-drama approach, the likes of "Ally McBeal", "Sex and the City", "Desperate Housewives". You know, those without that people-laughing sound in the background.

2. Flowery surgeons caps. Should be enough said, but I can't help commenting anyway. The doctors here are not afraid to look uncool, to say the least. Bye bye blahness!

3. Sandra Oh. Finally, a serial starring an ordinary looking actress with extraordinary acting. While I also love Lucy Liu and her edgy character in "Ally", she's still considered a babe. Sandra makes us believe that talent does count. One stealing scene in "Grey's Anatomy" is when Sandra's character, Cristina, was asked by her intern colleague, Meredith (played by Ellen Pompeo), to translate for a Chinese-speaking patient. Cristina just blankly stared at Meredith, and after a few seconds reply: "How would I know? The only Chinese I hear was in Hollywood." She then left Meredith stunned.

4. Welcome back, Katherine Heigl. I remember this beautiful lady from her modelling time back in 1990s, when she was a regular on Seventeen's glossy covers and pages. Though she's appeared in countless movies, I'm pretty sure most Indonesians will only refer to "My Father, The Hero" and the "Roswell" serial. I also love it that she has, well, a deep voice (makes her sound - and look - more intelligent. Right?). I like the way she developed her teenage star image to a more mature persona. Not forever being entrapped in being too young like Reese Witherspoon or Alicia Silverstone, or playing - and LOOKING like - a waaaaay older woman a la Scarlett Johanssen. Just being normal, period. But of course, she has that deep voice.

5. The Nurse's Blog. Clever marketing strategy. Check it out at this.

Selamat Jalan, Romo Paus

Akhirnya saat itu datang juga. Dihantar doa satu milyar penganut Katolik di seluruh dunia, dan mungkin berjuta umat kepercayaan lain -- termasuk keluarga saya -- Paus Yohanes Paulus II akhirnya berangkat menemui Sang Pencipta pada tanggal 2 April 2005, 09.37 waktu Roma.*) Kondisi tubuhnya yang memburuk serta spekulasi mengenai waktu kematiannya selama beberapa hari ini telah terus menerus memenuhi halaman muka surat-surat kabar dan televisi di seluruh dunia.

Lepas dari segala kekurangannya -- Paus juga manusia! -- kharismanya menembus batas negara, agama, dan isu. Beliau memiliki sikap yang tak tergoyahkan atas isu-isu tertentu (aborsi, homoseksualitas, peran wanita dalam ordonansi) yang dalam pandangan orang tidak sejalan lagi dengan realitas saat ini, dan bahkan seolah-olah mengingkari perjalanan waktu; namun beliau menyampaikannya dengan cara yang tidak ofensif. Dan citranya sebagai orang yang mengedepankan perdamaian, memberikan perhatian besar pada negara-negara berkembang, dan lebih membumikan Gereja Katolik, akan lebih diingat dibandingkan dengan kekolotannya. Paus Yohanes Paulus II akan juga diingat sehubungan dengan perannya dalam kemerosotan peran Uni Soviet menuju keruntuhan komunisme di Eropa Timur, perbaikan hubungan Gereja Katolik dengan institusi Yahudi dan Islam, perdamaian Argentina dan Chile, dan kritiknya terhadap globalisme.

Ijinkanlah saya mengaturkan doa bagi Bapa umat Katolik, dan figur yang dihormati seluruh dunia ini,

Domine Jesu Christe, Rex gloriae,
Libera animas defunctorum de poenis inferni, et de profundo lacu.
Libera eas de ore leonis, ne absorbeat eas tartarus, ne cadant in obscurum.
Hostias et preces tibi, Domine, laudis offerimus.
Tu suscipe pro animabus illis quarum hodie memoriam facimus.
Fac eas, Domine, de morte transire ad vitam, quam olim Abrahae promisisti, et semini eius

In nominae Patri, et Filii, et Spiritus Sancti. Amen.


----
*) Catatan: Suatu kebetulan yang masih mengherankan saya. Kira-kira pada jam kematian Paus sebagaimana diumumkan Vatikan, saya dan keluarga sedang mendoakan sang Paus. Bukan agar beliau disehatkan, tapi agar kehendak Tuhan yang berlaku baginya. Dan agar pekerjaan Tuhan yang diamanahkan kepadanya, yang telah dicoba dilakukannya melalui cara-cara yang dirasakannya terbaik, dapat diteruskan dan membawa kebaikan bagi seluruh umat manusia.