Salute to Koes Plus/Bersaudara

Posting ini boleh dianggap promosi bagi kerja Erwin Gutawa untuk album "Salute to Koes Plus/Bersaudara". Saya kira saya beruntung karena waktu kecil masih sempat mendengar musik mereka (generasi baru yang lahir setelah dekade 80-an mungkin hanya kebagian "membaca nama mereka").

Tapi bukan karena hasrat bernostalgia saya lalu beli CD "Salute" ini. Tadinya saya cuma ingin menikmati lagi tafsiran ulang Rio Febrian untuk "Why Do You Love Me". In the end, I fell in love with the whole album. Pemilihan Erwin Gutawa untuk pembawa lagu, lengkap dengan aransemen yang berbeda sesuai karakter pembawanya, buat saya sudah mendekati sempurna. Mulai dari nama-nama yang sudah dikenal pecinta musik negeri ini seperti Rio Febrian dan Ruth Sahanaya, sampai yang hanya diketahui komunitas terbatas (Jamaican Cafe), bahkan yang namanya baru "terdengar" (Swara 17).

Walaupun rata-rata para penyanyi dan pemusik (untuk aransemen instrumentalia) menembangkan masing-masing lagu dengan sangat baik, tapi saya justru merasa paling tersentuh waktu menyimak Duta Sheila on 7 dalam "Bunga di Tepi Jalan".

Suatu kali kutemukan
bunga di tepi jalan
Siapa yang menanamnya
tak seorangpun mengira

Bunga di tepi jalan
alangkah indahnya
Oh kasihan
Kan kupetik sebelum layu

Di sekitar belukar
dan rumput gersang
Seorangpun takkan
mau memperhatikan

Biarlah kan kuambil
penghias rumahku
Oh kasihan
Kan kupetik sebelum layu

Cara Duta (bukan Cara Nita, hehehehe...) menyanyikannya benar-benar membuat saya membayangkan melihat sekuntum bunga di tepi jalan yang kering dan berdebu. Orang-orang yang lalu lalang tidak memperhatikan kecantikan mungil yang diciptakan Tuhan itu. (Masing-masing terlalu sibuk bergegas mengejar berbagai kepentingan, mana ada waktu untuk melirik benda-benda kecil yang tidak bisa memberikan keuntungan baginya?). Bunga itu sendirian, dan kesepian. Batangnya yang kurus tidak cukup tegak menopangnya dan daun yang hanya tumbuh satu-dua helai. Warnanya bercampur semburat kuning kecoklatan karena debu dan waktu.

Mungkin ketika tangan yang iba menyentuh dan mengangkatnya, ia sudah pasrah. Ia tahu bahwa sebagaimana ciptaan lain yang tidak diberi kehendak sendiri oleh Sang Pemilik Kehidupan, hari-harinya sudah mendekati akhir. Setidaknya ia tidak

Ia tidak mengira bahwa tangan itu memperpanjang waktu hidup dan keindahannya. Saat batangnya dicelupkan ke air dan jari-jemari dengan kasih sayang membersihkan dan memercikkan air ke arahnya, ketika ia dikumpulkan dengan bunga dan daun-daun lain, bersama-sama membentuk keelokan yang baru, ia tahu bahwa ia tidak sendirian lagi. Keriangannya lalu memancar dari kelopak-kelopaknya yang mekar, lebih dari saat kuntumnya membuka.

*Duh, susah banget jadi puitis dan romantis. Maap ya, kalo jadinya malah gombal!




0 comments: