The Attack of the NewYork Girls

Tadi aku baru lihat Oprah di Metro TV (ya ya.. pasti lah ketinggalan banget dibanding di Kabel.. tapi gimana lagi, lah wong rumahku di daerah yg belom ada kabelnya), kali ini wawancara dengan keempat cewek "Sex and The City" untuk menandai berakhirnya serial yang telah mempengaruhi persepsi maupun gaya berpakaian cewek-cewek metropolitan dan kosmopolitan seluruh dunia.

Ikatan emosional dengan peranan mereka, kenyataan bahwa keterlibatan mereka dalam serial itu telah meningkatkan status sosial di masyarakat Tinseltown, dan mungkin pengaruh peran itu juga dalam cara pandang mereka, mendorong keluarnya percikan-percikan yang - menurutku - tampak wajar di depan TV.

Terpisah dari apa yang mereka rasakan setelah mereka harus melepaskan "Sex and the City", serial ini sendiri telah menjadi satu fenomena yang tidak bisa dipandang sebelah mata, atau sekedar dijajarkan dengan serial lain. "Friends", misalnya. Sitkom yg telah bertahan +/- 7 tahun, mengangkat nama para pemerannya, sekaligus menawarkan model rambut layer ala Jennifer Anniston (yang sampai sekarang masih bertahan dengan berbagai variasinya), menurutku belum memiliki pengaruh seperti "Sex and the City". Isu tentang seks hanya salah satunya. Menjadikan seks sebagai tema atau bumbu utama cerita tidak hanya dilakukan "Sex and the City" -- sebelumnya kita kenal serial lain, "Melrose Place", misalnya. Tidak sekedar membicarakan casual sex, "Sex and the City" melangkah lebih jauh dengan membahas berbagai format seks: fetishism, threesome, dll., dengan humor. (Remember Samantha?). Menurutku "Melrose Place" jadi terasa sangat kuno, paling banter yang dibahas soal homosexuality - mungkin karena ceritanya sendiri sudah dibuat sangat berbelit2.

Pengaruh "Sex and The City" yang lebih utama adalah, seperti disinggung Kim Cattrall, pemeran Samantha, dalam wawancara dengan Oprah itu, adalah perubahan cara pandang wanita terhadap dirinya sendiri, dan opini publik terhadap kejombloan! Dulu seorang wanita yang masih single dan berusia di atas 30 akan dianggap "tidak laku". Now they will hold their head up and say proudly: "I am single, I love my career, and I don't need a man to be cool/attractive/etc." Ini memang masih bicara tentang Amerika, dan kota-kota besar di dunia, termasuk Jakarta. But I am of the view that what "Sex and the City" had started will become lifestyle of many women across the country -- in time.

Sebenarnya menarik untuk dipelajari apakah gerakan pengarusutamaan gender (gender mainstreaming) juga terefleksikan di serial tv. Aku pernah membaca sebuah tulisan yang membahas soal ini, walaupun dibuat pada masa pra- "Sex and the City". Pada tahun 70-an "Charlie's Angels" membahana: tiga cewek cantik dan seksi yang gagah dan pintar - walaupun masih bekerja di bawah instruksi Charlie yang jelas-jelas pria. Pada dekade yang sama dikenal juga "Bionic Woman" dan "Wonder Woman" -- yang terakhir ditujukan pada segmen pasar anak2. Apapun itu, benang merahnya adalah wanita memiliki kemampuan fisik yang sama dengan pria.

Dekade 80-an tampaknya wanita-wanita dengan kemampuan otak dan uang yang lebih menonjol. Lihat saja Alexis di "Dynasty", dan mungkin Pam di "Dallas". But at this era, bitches ruled. :)

Memasuki abad 21? Lebih beragam, dan kekuatan supranatural (atau perlawanan terhadap kekuatan supranatural) lebih menonjol. Ini bisa dilihat pada wanita-wanita cantik penyihir di "Charmed", "Buffy the Vampire Slayer" -- dan dari generasi yang lebih muda tentunya "Sabrina the Teenage Witch". Sedangkan wanita dengan kekuatan fisik model para cewek Charlie bisa dilihat pada "Alias" dan "Dark Angel", tapi dua yang terakhir ini boleh dikatakan lebih independen. More politically correct? Maybe. Dan trend lainnya adalah mengenai cewek-cewek karir, dan lucunya lebih banyak disampaikan dengan jenaka. Selain "Sex and the City" tentunya tidak bisa dilupakan "Ally McBeal" yang cukup influensial juga.

Sayangnya aku belum punya cukup referensi untuk menguatkan uraianku di atas. Tapi aku rasa cukuplah buat pijakan awal.

0 comments: